CNN Indonesia
Minggu, 13 Jul 2025 16:19 WIB

Jakarta, CNN Indonesia --
Konfederasi Serikat Buruh Muslimin Indonesia atau K-Sarbumusi mengungkapkan lebih dari 15 ribu kendaraan logistik terlibat dalam aksi mogok nasional yang dimulai, Minggu (13/7).
Aksi demo hari ini dilakukan sebagai respons terhadap "arogansi" Kementerian Koordinator Bidang Infrastruktur dan Bagian Kewilayahan (Kemenko IPK) dan Kementerian Perhubungan dalam menyusun rencana penerapan kebijakan nol kelebihan muatan dan dimensi atau Zero Overdimension Overload (ODOL) tanpa melibatkan sopir dan buruh logistik.
"Secara nasional estimasi kami ada 15 ribu lebih kendaraan logistik yang berpartisipasi. Baik yang ada di titik kumpul aksi maupun yang mogok di tempat/gudang/rumah masing-masing," kata Presiden Konfederasi Sarbumusi Irham Ali Saifuddin saat dikonfirmasi melalui pesan tertulis, Minggu (13/7).
Dia menuturkan aksi tersebut digelar tanpa menyekat jalan, dan sejauh ini berjalan dengan lancar.
"Aksi senantiasa kami juga untuk damai dan tanpa penyekatan jalan. Salah satu strateginya dengan memarkir truk di tempat luas biar tidak mengganggu pengguna jalan lain," ujar Irham.
Dia menambahkan aksi mogok nasional dilakukan secara serentak di beberapa titik di antaranya Sumatera Utara, Lampung, Banten, Jabodetabek, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Sulawesi Selatan.
"Ada beberapa titik aksi tambahan karena solidaritas dukungan terus berdatangan," imbuh Irham.
"Besok kami akan merilis potensi economic loss atas mogok nasional transportasi logistik hari ini," sambungnya.
Adapun organisasi yang terlibat antara lain Rumah Berdaya Pengemudi Indonesia (RBPI), Aliansi Perjuangan Pengemudi Nusantara (APPN), Asosiasi Sopir Logistik Indonesia (ASLI), dan Konfederasi Sopir Logistik Indonesia (KSLI).
Mereka menuntut Pemerintah dan DPR untuk segera merumuskan Undang-undang Perlindungan Pengemudi/Sopir.
UU tersebut diharapkan memuat skema upah yang layak bagi pengemudi, hubungan industrial yang berkeadilan, hingga jaminan sosial tanpa biaya bagi para sopir yang memiliki risiko kerja tinggi.
Selain itu, mereka juga meminta agar Undang-undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan dikaji ulang. Revisi ini perlu dilakukan dengan melibatkan pengemudi dan pelaku usaha logistik agar kebijakan yang lahir tidak merugikan pihak-pihak di lapangan.
Penerapan Zero ODOL, menurut mereka, terlalu tergesa-gesa dan tidak mempertimbangkan kesiapan industri transportasi, terutama armada kecil dan menengah yang belum bisa menyesuaikan spesifikasi teknis kendaraan sesuai aturan baru.
(ryn/rds)