8 Penjelasan Psikologis Kenapa Orang Rela Beli Barang Mewah

4 hours ago 2

Daftar Isi

Jakarta, CNBC Indonesia - Di tengah naik-turunnya ekonomi global, industri fesyen mewah tetap kuat dan diminati. Tapi apa sebenarnya yang membuat orang rela mengeluarkan uang puluhan hingga ratusan juta rupiah hanya demi tas, jam tangan, atau pakaian dari merek ternama?

Melansir laman Fashion and Law Journal, jawabannya terletak pada kompleksitas psikologi konsumen barang mewah.

1. Simbol Status dan Gengsi Sosial

Barang mewah bukan sekadar soal gaya, tapi juga lambang status. Memiliki tas Louis Vuitton atau jam tangan Rolex menandakan keberhasilan, kekayaan, dan posisi sosial.

Dalam banyak kasus, konsumen memilih produk mahal bukan karena kebutuhan, tapi karena ingin terlihat "berkelas" di mata lingkungan sosialnya. Brand besar menjadi simbol prestise yang membedakan penggunanya dari kelompok lain.

2. Pengalaman Emosional: Antara Kepuasan dan Hadiah untuk Diri Sendiri

Membeli barang mewah sering kali bukan keputusan rasional, melainkan emosional. Proses memilih, membeli, dan memakainya bisa memberi rasa bahagia, bangga, dan merasa dihargai.

Tak sedikit konsumen yang menjadikan pembelian ini sebagai bentuk self-reward setelah bekerja keras. Di sinilah mengapa tas branded bisa terasa lebih dari sekadar tas, tapi ia jadi bagian dari perjalanan emosional.

3. Reputasi Merek dan Efek 'Halo'

Reputasi brand memainkan peran besar dalam keputusan membeli. Ini dikenal dengan istilah "halo effect", di mana citra positif merek mempengaruhi persepsi konsumen terhadap semua produknya. Contohnya, karena Rolex dikenal presisi dan elegan, semua jam tangannya langsung dianggap berkualitas tinggi meskipun calon pembeli belum pernah mencobanya langsung.

4. Kelangkaan dan Eksklusivitas

Barang yang langka biasanya lebih diinginkan. Prinsip ini dimanfaatkan banyak brand mewah dengan memproduksi edisi terbatas atau hanya tersedia di lokasi tertentu.

Strategi ini menciptakan kesan eksklusif dan mendesak semisal kalau tidak beli sekarang, bisa tidak kebagian. Semakin langka barangnya, semakin tinggi pula nilai sosialnya.

5. Ekspresi Diri dan Personal Branding

Di era digital, barang mewah juga jadi alat ekspresi diri. Tas, sepatu, atau baju branded bisa merepresentasikan gaya hidup, nilai, dan citra pribadi seseorang. Tak heran, banyak orang menggunakan fesyen mewah sebagai bagian dari "personal branding", terutama di media sosial.

6. Kualitas dan Keahlian Tangan Pertama

Barang mewah memang dibuat dengan bahan berkualitas tinggi dan proses produksi yang teliti. Konsumen menghargai craftsmanship, keahlian dan warisan budaya di balik setiap produk. Harga mahal sering dianggap setimpal dengan kualitas dan eksklusivitas yang ditawarkan.

7. Reaksi Otak: Dopamin dan Rasa Puas

Secara neurologis, membeli barang mewah bisa memicu pelepasan dopamin, zat kimia otak yang memberi rasa senang dan puas. Jadi, bukan hanya benda fisiknya yang dicari, tapi juga sensasi emosional yang muncul setelah pembelian.

8. Pengaruh Digital: Media Sosial dan Influencer

Hari ini, influencer punya pengaruh besar dalam membentuk persepsi tentang brand mewah. Dukungan dari figur publik membuat suatu produk terlihat lebih diinginkan.

Kehadiran merek di Instagram atau TikTok bisa meningkatkan eksposur dan menciptakan tren konsumsi baru.

Di balik harga fantastis barang mewah, terdapat perpaduan kuat antara faktor emosional, sosial, dan psikologis. Dari pencarian status sosial hingga kepuasan pribadi, dari brand image hingga kelangkaan produk, keputusan membeli produk mewah mencerminkan lebih dari sekadar kebutuhan, melainkan juga identitas, pengalaman, dan aspirasi.

Brand yang memahami motivasi ini akan lebih mudah membangun koneksi dengan konsumennya dan bertahan dalam pasar yang terus berubah. Sebab di dunia fesyen mewah, setiap produk bukan hanya barang, tapi juga simbol prestise dan perjalanan personal.


(hsy/hsy)
[Gambas:Video CNBC]

Read Entire Article
Perekonomian | Teknologi | Alam | Otomotif | Edukasi | Lifestyle |