Ada Pengumuman The Fed-Musim Laporan Keuangan, IHSG Bakal Strong?

1 hour ago 1

Jakarta, CNBC Indonesia - Pekan terakhir Juli akan menjadi pekan yang sangat sibuk, banyak data dinanti pelaku pasar, mulai dari pengumuman suku bunga the Fed sampai musim laporan keuangan dan rebalancing indeks.

Pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yang sudah reli dalam beberapa hari juga patut menjadi perhatian. Pada pekan ini, Jumat (27/7/2025), IHSG berhasil tembus 7500, posisi tertinggi pada tahun ini.

IHSG dalam sepekan berhasil terbang 3,17%. Secara teknikal, IHSG berhasil breakout dari resistance 7470. Level itu kini menjadi support terdekatnya, sementara resistance kini berada di 7787. 

IHSGFoto: Tradingview
IHSG

Sayangnya, kami melihat penguatan IHSG ini masih rapuh. Reli pasar saham Tanah Air dalam beberpaa hari ini lebih banyak didorong saham konglomerat, bisa dibilang belum banyak didukung fundamental yang solid.

Saham konglo sebut saja dari grup Prajogo Pangestu yang naik signifikan usai MSCI mencabut perlakuan khusus, membuat pelaku pasar kembali berspekulasi saham-saham dari grup itu bisa masih pada rebalancing Agustus mendatang.

Belum lagi, saham dari grup itu yang baru IPO, PT Chandra Daya Investasi Tbk (CDIA), kurang dari dua minggu sudah bisa menyabet peringkat 13 market cap tertinggi di bursa.

CNBC Indonesia Research juga mencatat ada 15 emiten konglomerat menguasai IHSG saat ini di deretan 20 teratas market cap. Lima diantaranya, masih berhubungan dengan taipan Prajogo Pangestu.

Sementara, jika menarik data emiten di luar sektor perbankan dan BUMN ada 13 emiten konglomerat. Jumlah ini mewakili 42% kontribusi terhadap indeks.

Dominasi saham konglo tanpa fundamental solid yang menggerakan IHSG kIni bisa diumpamakan seperti seseorang yang berjalan di atas es tipis, sewaktu-waktu bisa saja pecah.

Beralih ke data ekonomi, ada sejumlah data yang akan dinantikan pasar pada pekan depan, berikut rinciannya :

Seputar Ekonomi AS - Pengumuman The Fed

Sejumlah data penting dari AS akan dirilis, mulai dari pertumbuhan ekonomi kuartal II/2025, Core PCE Price Index terbaru, hingga pengumuman suku bunga terbaru oleh The Fed.

Pelaku pasar dan analis akan mencermati apakah sinyal pelemahan ekonomi akan mendorong bank sentral AS mulai melakukan pelonggaran moneter lebih awal dari ekspektasi sebelumnya.

Pada kuartal I/2025, tekanan terhadap ekonomi AS makin terasa setelah produk domestik bruto (PDB) mengalami kontraksi sebesar 0,5% secara tahunan (yoy). Angka ini lebih dalam dari estimasi sebelumnya yakni -0,2%, dan menjadi kontraksi pertama dalam tiga tahun terakhir.

Pelemahan tersebut sebagian besar disebabkan oleh revisi ke bawah pada belanja konsumen dan ekspor. Konsumsi rumah tangga hanya tumbuh 0,5%, melambat tajam dari estimasi awal 1,2%, dan menjadi laju terlemah sejak puncak pandemi tahun 2020. Di saat yang sama, ekspor juga hanya tumbuh 0,4%, jauh lebih rendah dari proyeksi sebelumnya 2,4%, mencerminkan permintaan eksternal yang lesu.

Meskipun impor juga direvisi turun dari 42,6% menjadi 37,9%, hal ini tidak cukup menutupi lemahnya sisi permintaan domestik dan global.

Lonjakan impor yang masih tinggi disebut terjadi akibat aksi penimbunan barang oleh pelaku usaha dan konsumen, menyusul kekhawatiran akan kenaikan harga akibat serangkaian kebijakan tarif baru.

Tekanan juga datang dari sektor publik. Belanja pemerintah federal anjlok 4,6%, mencatatkan penurunan terbesar sejak kuartal I/2022, memperlihatkan adanya pengetatan fiskal di tengah melambatnya aktivitas ekonomi. Namun, di tengah sentimen negatif tersebut, investasi tetap tumbuh solid sebesar 7,6%, meski sedikit lebih rendah dari estimasi awal 7,8%.

Dari sisi inflasi, tekanan harga terus meningkat. Core Personal Consumption Expenditures (PCE) Price Index, indikator inflasi yang menjadi acuan utama The Federal Reserve (The Fed), naik 3,5% pada kuartal I/2025, lebih tinggi dibanding estimasi sebelumnya 3,4% dan lompatan dari 2,6% di kuartal sebelumnya. Ini menjadi laju inflasi tertinggi dalam satu tahun terakhir.

Kondisi ini menempatkan The Fed dalam posisi dilematis. Dalam risalah rapat terakhir FOMC pada Juni, sebagian besar pejabat bank sentral menyebut bahwa pemangkasan suku bunga kemungkinan akan dibutuhkan tahun ini.

Mereka menilai tekanan inflasi dari tarif bersifat sementara dan ekspektasi inflasi jangka panjang tetap terkendali. Namun, perdebatan masih terjadi: beberapa mendukung penurunan suku bunga segera, sementara yang lain menilai belum waktunya pelonggaran kebijakan dilakukan.

Untuk saat ini, The Fed masih mempertahankan suku bunga acuan di kisaran 4,25%-4,50% dalam empat pertemuan berturut-turut. Pasar kini menanti sinyal lebih jelas pada pekan depan, saat data ekonomi kuartal II/2025 dirilis bersamaan dengan pembacaan terbaru Core PCE dan keputusan suku bunga The Fed.

Suku Bunga Acuan Jepang

Beralih ke kawasan regional, dari negeri bunga sakura pada pekan depan juga akan merilis kebijakan moneter terkait suku bunga.

Meskipun Jepang kurang terlalu mempengaruhi pergerakan pasar Tanah Air, tetapi akhir-akhir ini cukup menjadi sorotan, karena pasar obligasi mereka tengah mengalami krisis.

Dalam pertemuan bulan Juni lalu, BoJ mempertahankan suku bunga jangka pendek acuannya di level 0,5%, yang merupakan level tertinggi sejak 2008, sesuai dengan ekspektasi pasar. Pasar kembali memproyeksi suku bunga Jepang masih akan ditahan pada bulan ini.

Sementara itu, dalam upaya normalisasi kebijakan secara bertahap, BoJ tetap berkomitmen mengurangi pembelian obligasi pemerintah Jepang (JGB). Bank sentral menargetkan pengurangan sebesar JPY 400 miliar setiap kuartal hingga Maret 2026.

Setelah itu, laju pengurangan akan diperlambat menjadi JPY 200 miliar per kuartal hingga Maret 2027, dengan target pembelian bulanan JGB sekitar JPY 2 triliun.

Langkah ini menjadi sinyal bahwa Jepang mulai melepaskan diri secara hati-hati dari era suku bunga ultra-rendah dan kebijakan moneter super-longgar yang telah berlangsung selama lebih dari satu dekade.

Kebijakan moneter Jepang ke depan akan tetap menjadi salah satu titik perhatian pelaku pasar global, terutama jika volatilitas di pasar obligasi terus berlanjut dan memicu efek rambatan ke pasar-pasar regional lainnya.

⁠China Manufacturing PMI

Menuju kawasan sang Naga Asia, pada pekan depan perhatian pasar juga akan tertuju pada rilis data terbaru terkait sektor manufaktur China.

Indikator ini menjadi salah satu barometer penting dalam menilai arah pemulihan ekonomi Negeri Tirai Bambu yang masih dibayangi ketidakpastian global dan tekanan domestik.

Data terakhir menunjukkan bahwa Indeks Manufaktur resmi versi NBS (National Bureau of Statistics) naik tipis ke level 49,7 pada Juni 2025, dari 49,5 di bulan sebelumnya. Meskipun masih berada di bawah ambang ekspansi 50, menandakan kontraksi selama tiga bulan berturut-turut-angka ini merupakan pelemahan paling ringan dalam tren tersebut, menunjukkan adanya perbaikan bertahap di sektor industri.

Perbaikan ini terutama ditopang oleh peningkatan output yang mencapai level tertinggi dalam tiga bulan terakhir (51,0 vs 50,7 pada Mei), didorong oleh tercapainya kesepakatan dagang dengan AS serta stimulus pemerintah untuk memperkuat permintaan domestik.

Pesanan baru juga mencatat pertumbuhan untuk pertama kalinya dalam tiga bulan terakhir (50,2 vs 49,8), sementara penurunan penjualan ekspor melambat (47,7 vs 47,5).

Aktivitas pembelian pun meningkat untuk pertama kalinya sejak Maret (50,2 vs 47,6), menandakan adanya optimisme hati-hati dari pelaku usaha. Namun demikian, pasar tenaga kerja masih menunjukkan tekanan, dengan penurunan tingkat pekerjaan yang sedikit lebih cepat (47,9 vs 48,1), dan waktu pengiriman barang tercatat sedikit lebih lama (50,2 vs 50,0).

Dari sisi harga, baik biaya input (48,4 vs 46,9) maupun harga jual (46,2 vs 44,7) mengalami penurunan yang lebih lambat, memberikan sinyal bahwa tekanan deflasi mulai mereda. Namun demikian, indeks kepercayaan bisnis justru melemah ke posisi terendah dalam sembilan bulan terakhir (52,0 vs 52,5), mengindikasikan bahwa pelaku industri masih berhati-hati terhadap prospek ke depan.

Rilis data manufaktur pekan depan akan menjadi petunjuk penting bagi pasar untuk menilai apakah tren pemulihan ini akan berlanjut atau justru kembali terhambat oleh ketidakpastian global, terutama di tengah tensi dagang dan perlambatan permintaan eksternal.

Rilis PMI Manufaktur-Inflasi-Neraca Dagang RI

Beralih ke dalam negeri, ada sejumlah data genting juga akan rilis terkait kondisi manufaktur, inflasi, dan neraca perdagangan.
Kondisi manufaktur RI diperkirakan masih akan di zona kontraksi lagi, meskipun ada pemulihan sedikit.

Sebelumnya, aktivitas manufaktur Indonesia ambruk pada Juni 2025. Tak hanya alami kontraksi, manufaktur Indonesia bahkan mendekati level saat Indonesia dihantam gelombang Covid-19 Delta.

Data Purchasing Managers' Index (PMI) yang dirilis S&P Global hari ini, Selasa (1/7/2025) menunjukkan PMI manufaktur Indonesia ada di 46,9 pada Juni 2025 atau mengalami kontraksi. Ini adalah ketiga kali dalam tiga bulan beruntun PMI mencatat kontraksi.

Sebelumnya, PMI sudah terkontraksi sebesar 46,7 di April, kemudian 47,4 di Mei dan berlanjut di Juni.

Indeks PMI Juni juga merupakan yang terendah sejak April 2025 (46,7). Jika melihat ke belakang setelah April 2025, level PMI Manufaktur Juni tahun ini adalah yang terendah kedua sejak Agustus 2021 atau empat tahun lalu saat Indonesia dihantam gelombang Covid-19 Delta.

Sementara itu, untuk inflasi pada Juli 2025, diperkirakan akan sedikit memanas, tetapi masih dalam level yang terkendali.

Sebagai catatan, Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan indeks harga konsumen (IHK) untuk periode Juni 2025 mengalami inflasi 0,19%. Secara tahunan inflasi mencapai 1,87% year on year (yoy).

Pada waktu bersamaan, BPS juga akan mengumumkan kinerja neraca perdagangan utnuk periode Juni 2025. Data ini sedikit lagging, karena biasanya neraca dagang diumumkan pada pekan kedua tiap bulan, tetapi sekarang dirilis pada awal bulan.

Surplus neraca dagang pada Juni diperkirakan masih akan berlanjut. Sebelumnya, RI mencatatkan surplus neraca perdagangan yang melejit tajam pada Mei 2025, mencapai US$ 4,30 miliar.

Angka tersebut jauh lebih tinggi dibanding surplus pada periode yang sama tahun lalu sebesar US$ 2,92 miliar, sekaligus melampaui ekspektasi pasar yang hanya memproyeksikan surplus sebesar US$ 2,40 miliar.

Musim Laporan Keuangan dan Rebalancing Index Dimulai

Dari korporasi, musim laporan keuangan masih akan terus berlanjut, salah satu perbankan besar RI, PT Bank Negara Indonesia Tbk (BBNI) sudah merilis laporan keuangan pekan lalu.

Pekan depan, masih akan lanjut, tetapi kami mengantisipasi kinerja bank tidak akan semoncer periode yang sama tahun sebelumnya, mengingat efek dari suku bunga tinggi, inflasi, ketegangan geopolitik, sampai tarif Trump membuat kinerja melambat, terutama pada penyaluran kredit.

Selain itu, ada rebalancing berbagai indeks juga mulai berjalan. Sejauh ini kami mencatat nama-nama saham yang keluar dan masuk pada indeks LQ45, IDX30, IDX80, dan KOMPAS100 untuk edisi Agustus 2025.

CNBC INDONESIA RESEARCH

Sanggahan : Artikel ini adalah produk jurnalistik berupa pandangan CNBC Indonesia Research. Analisis ini tidak bertujuan mengajak pembaca untuk membeli, menahan, atau menjual produk atau sektor investor terkait. Keputusan sepenuhnya ada pada diri pembaca, sehingga kami tidak bertanggung jawab terhadap segala kerugian maupun keuntungan yang timbul dari keputusan tersebut.

(tsn/tsn)

Read Entire Article
Perekonomian | Teknologi | Alam | Otomotif | Edukasi | Lifestyle |