Jakarta, CNBC Indonesia - Menjelang pergantian tahun, dunia pernah menyaksikan bangkrutnya perusahaan terbesar sepanjang sejarah. Bukan perusahaan teknologi atau bank raksasa modern, melainkan kongsi dagang legendaris asal Belanda, yakni Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC). Setelah dua abad berjaya dan menguasai separuh dunia perdagangan, perusahaan ini runtuh akibat penyakit klasik yang masih relevan hingga kini, yakni korupsi massal di tubuh internalnya.
VOC didirikan Kerajaan Belanda pada 20 Maret 1602 sebagai alat utama eksploitasi wilayah Asia, khususnya Nusantara. Dari tanah Indonesia, VOC mengeruk rempah-rempah bernilai tinggi untuk dijual mahal di pasar Eropa. Dalam waktu singkat, perusahaan ini menjelma menjadi raksasa global.
Kekuasaan VOC bahkan melampaui korporasi biasa. Mereka mencetak uang sendiri, membangun angkatan perang, menandatangani perjanjian diplomatik, hingga menentukan nasib kerajaan-kerajaan lokal. Tak berlebihan bila banyak literatur modern menyebut VOC sebagai perusahaan terbesar yang pernah ada. Valuasinya diperkirakan mencapai US$8,2 triliun. Ini melampaui gabungan raksasa modern seperti Apple, Microsoft, dan Meta.
Meski begitu, angka tersebut sempat diperdebatkan. Lodewijk Petram, penulis The World's First Stock Exchange (2014), menilai nilai VOC "hanya" sekitar US$1 miliar. Namun, ia menegaskan, angka itu tetap sangat fantastis untuk ukuran abad ke-17.
Sayangnya, kejayaan itu tak abadi. Memasuki awal 1700-an, VOC mulai menunjukkan gejala keropos dari dalam. Sejarawan M.C. Ricklefs dalam Sejarah Indonesia Modern (1999) mencatat, akar kemunduran VOC terletak pada buruknya tata kelola keuangan.
VOC terlibat dalam banyak perang ekspansi wilayah. Setelah perang usai, mereka mendirikan kantor-kantor perwakilan di berbagai daerah untuk pengawasan. Semua aktivitas itu menelan biaya besar. Masalahnya, dana operasional justru menjadi ladang korupsi para pegawai-baik pejabat Belanda maupun pribumi.
Sejarawan C.R. Boxer dalam Jan Kompeni (1983) menggambarkan praktik korupsi berlangsung sistematis. Setoran kas dari daerah kerap disunat. Jika Batavia meminta kontribusi 15.000 ringgit, pejabat daerah bisa menggelembungkan laporan menjadi 30.000 ringgit. Selisihnya masuk ke kantong pribadi.
Foto: VOC
VOC
Tak hanya itu, banyak pegawai VOC membangkang dengan berdagang untuk kepentingan sendiri. Kapal-kapal VOC dipakai mengangkut barang pribadi, bukan komoditas perusahaan. Di sisi lain, pemerasan terhadap rakyat pribumi menjadi praktik lazim.
Ong Hok Ham dalam Dari Soal Priayi Sampai Nyi Blorong (2002) menjelaskan, korupsi menjalar dari atas hingga bawah karena satu sebab utama, yakni gaji pegawai VOC sangat kecil. Mayoritas pegawainya berasal dari kalangan miskin Eropa yang berharap kaya raya di tanah jajahan. Ketika harapan itu pupus, korupsi menjadi jalan pintas.
Akibatnya, banyak pegawai hidup mewah, sementara kas perusahaan justru menipis. Di saat bersamaan, VOC harus menghadapi persaingan ketat dari perusahaan dagang asing lain. Pengeluaran membengkak, pemasukan seret, dan investor mulai angkat kaki.
VOC mencoba bertahan dengan mengandalkan pinjaman. Namun, tata kelola yang sudah rusak membuat utang hanya menunda kehancuran. Hingga akhirnya, pada malam jelang pergantian tahun, 31 Desember 1799, Kerajaan Belanda resmi menyatakan VOC bangkrut dan membubarkannya.
Dengan itu, berakhirlah riwayat perusahaan yang pernah menguasai dunia selama 197 tahun. Seluruh aset dan utang VOC diambil alih negara. Sebagai gantinya, pemerintah Belanda mendirikan koloni baru bernama Hindia Belanda di bekas wilayah kekuasaan VOC.
Sejarah pun mencatat ironi terakhir. VOC tak lagi dikenang sebagai Vereenigde Oostindische Compagnie, melainkan dipelesetkan menjadi Vergaan Onder Corruptie atau runtuh akibat korupsi. Warisan kelam ini pula yang kerap disebut sebagai bibit awal praktik korupsi sistemik di Indonesia.
(mfa/mfa)

3 hours ago
3





































