Jakarta, CNN Indonesia --
Bahasa Jawa halus, atau yang dikenal dengan istilah krama inggil, merupakan bentuk bahasa yang digunakan untuk menunjukkan rasa hormat dan sopan santun.
Penggunaan bahasa ini telah menjadi bagian dari kebudayaan masyarakat Jawa, yang sejak kecil sudah diajarkan untuk menjunjung tinggi tata krama dan sikap hormat dalam bertutur kata maupun berperilaku.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sejak usia dini, anak-anak Jawa diperkenalkan dengan berbagai tingkatan bahasa agar bisa bersikap tepat sesuai dengan situasi dan lawan bicara.
Salah satu tingkatan bahasa tersebut adalah krama inggil, yang lazim digunakan saat berbicara dengan orang yang lebih tua, dalam suasana resmi, atau kepada mereka yang memiliki kedudukan lebih tinggi secara sosial.
Bahasa ini menjadi cermin kesantunan sekaligus penghormatan, dan menunjukkan seberapa dalam masyarakat Jawa menjunjung nilai-nilai adiluhung dalam komunikasi.
Kapan bahasa Jawa halus digunakan?
Bahasa Jawa halus atau krama inggil digunakan dalam tiga kondisi, sebagai berikut.
1. Dalam acara formal
Bahasa krama sering kali digunakan dalam suasana resmi seperti rapat, upacara adat, pengajian, atau pidato dalam acara pernikahan. Penggunaan bahasa ini menyesuaikan dengan suasana yang menuntut tata tutur yang sopan dan teratur.
2. Berbicara kepada yang lebih tua
Anak-anak diwajibkan untuk menggunakan bahasa Jawa halus saat berbicara dengan orang tua, guru, atau orang yang lebih tua sebagai wujud penghormatan terhadap pengalaman dan kedudukan mereka.
3. Berinteraksi dengan orang yang lebih tinggi status sosialnya
Ketika berbicara dengan seseorang yang memiliki kedudukan lebih tinggi, seperti pejabat, bangsawan, atau atasan di tempat kerja, penggunaan krama inggil menjadi sangat penting agar tidak dianggap kurang sopan.
Contohnya seperti guru yang berbicara kepada kepala sekolah, abdi dalem kepada keluarga keraton, atau karyawan kepada atasannya.
Contoh kalimat bahasa Jawa halus
Untuk memahami lebih jauh bagaimana bahasa Jawa halus diterapkan dalam percakapan, berikut beberapa contohnya:
- Selamat pagi → Sugeng enjang
- Terima kasih banyak, Bapak dan Ibu → Matur nuwun sanget kagem Bapak kalih Ibu
- Ibu sedang apa sekarang? → Ibu tasih punapa sakniki?
- Bapak mau kemana? → Bapak badhe tindak pundi?
- Baru saja ibu memberi uang → Nembe mawon ibu maringi yotro.
Tingkatan tutur dalam bahasa Jawa
Dalam bahasa Jawa, ada beberapa tingkatan yang mencerminkan hubungan sosial antara pembicara dan lawan bicara.
Menurut Sumadi dan Edi Setiyanto dalam buku Permasalahan Pemakaian Bahasa Jawa Krama, tingkatannya antara lain:
Ngoko lugu
Digunakan dalam situasi akrab tanpa jarak sosial, seperti antara teman dekat atau kepada orang yang lebih muda.
Contoh: Aku arep lunga menyang pasar (Aku mau pergi ke pasar).
Ngoko alus
Campuran antara ngoko dan krama. Digunakan kepada orang yang akrab namun tetap dihormati, seperti rekan kerja atau suami-istri.
Contoh: Kula dolan wonten griyane simbah (Saya pergi ke rumah nenek).
Krama lugu
Satu tingkat di bawah krama inggil, tetap sopan tetapi tidak sehalus krama inggil. Digunakan oleh orang muda kepada yang lebih tua, atau dalam komunikasi antarwarga dalam suasana formal.
Contoh: Panjenengan napa empun nate tindak teng Rembang?
Perbendaharaan kata bahasa Jawa
Agar lebih mudah memahami perbedaan tingkat tutur, berikut beberapa contoh padanan kata:
- Saya: kulo (ngoko) → dalem (krama inggil)
- Kamu: kowe (ngoko) → panjenengan (krama inggil)
- Dia: deweke (ngoko) → piyambakipun (krama inggil)
- Apa: opo (ngoko) → menopo (krama inggil)
- Berapa: piro (ngoko) → pinten (krama inggil)
Penggunaan kosakata ini sangat penting dalam membedakan siapa yang sedang diajak berbicara dan dalam konteks apa.
Demikian penjelasan dari apa itu bahasa Jawa halus, penggunaan, dan contoh kalimatnya.
(asp/fef)