Aspekpir Minta Presiden Prabowo Selesaikan Persoalan Denda Kehutanan

4 hours ago 1

Foto udara lahan perkebunan kelapa sawit skala besar dan tanaman mangrove di kawasan penyangga Cagar Alam Hutan Bakau Pantai Timur Sumatera, Mendahara, Tanjungjabung Timur, Jambi, Rabu (10/8/2022). Warga setempat menyebutkan, tinggi muka air sungai selama musim pasang naik sejak tiga tahun terakhir di daerah itu terus meninggi sehingga mulai merendam kawasan permukiman setempat, sementara alih fungsi tanaman mangrove menjadi perkebunan kelapa sawit skala besar di daerah itu terus bertambah marak sejak lima tahun terakhir.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Keluarnya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 45 Tahun 2025 tentang Pengenaan Denda Administratif di Bidang Kehutanan mendapat sorotan dari kalangan petani sawit. Asosiasi Petani Kelapa Sawit PIR Indonesia (Aspekpir), meminta pemerintah meninjau ulang aturan tersebut karena sangat merugikan mereka.

Ketua Aspekpir Setiyono menyampaikan, rasa keprihatinan mendalam atas terbitnya PP Nomor 45 Tahun 2025. "Mayoritas petani PIR merupakan bagian dari program resmi pemerintah pada era 1980-1990-an, khususnya program transmigrasi. Ini program pemerintah," kata Setiyono dalam siaran pers di Jakarta, Kamis (16/10/2025).

"Kalau sekarang tiba-tiba (lahannya) dimasukkan ke kawasan hutan kemudian dikenai denda dan disita, artinya pemerintah tidak konsisten dengan programnya sendiri,” kata Setiyono menambahkan.

Dia menyebut, banyak petani PIR baru mengetahui lahannya masuk kawasan hutan ketika mengikuti program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR). Sebagian lahan bahkan sudah dipasangi pelang kawasan hutan, sehingga petani tidak dapat melakukan peremajaan maupun menjaminkan sertifikat ke bank untuk mendapatkan modal.

"Dari situ saja dampaknya sudah terasa. Ada rasa takut dan waswas. Kalau aturan (PP 45/2025) ini diterapkan, petani bisa jatuh miskin. Program transmigrasi yang dulu menjadi jalan keluar dari kemiskinan, sekarang malah bisa memiskinkan lagi," jelas Sutiyono.

Dia bercerita ikut program transmigrasi pada 1989 karena sangat menjanjikan. Sutiyono mempertaruhkan masa depannya dengan berangkat dari desanya di Kediri, Jawa Timur merantau ke Sumatra. Kondisi daerah transmirasi pada awalnya begitu menyedihkan.

Belum ada infrastruktur, sehingga untuk masuk ke rumahnya harus melewati medan yang sangat berat. Makan nasi dan garam sudah bukan hal yang biasa. Sampai akhirnya dia mengikuti program petani sawit PIR dari pemerintah.

Sutiyono mendapatkan lahan untuk ditanami sawit seluas 2 hektare yang dibelinya secara mencicil. Perjuangan berat dijalani Sutiyono dengan sabar sampai nasibnya berubah lebih baik. Dia merupakan satu potret keras dari 400 ribu anggota Aspekpir yang berjuang ke luar dari garis kemiskinan.

Read Entire Article
Perekonomian | Teknologi | Alam | Otomotif | Edukasi | Lifestyle |