Berisiko Kriminalisasi, Jurnalis-Seniman Gugat Pasal di UU PDP

16 hours ago 1

Jakarta, CNN Indonesia --

Koalisi masyarakat sipil Kebebasan Informasi dan Data Pribadi (SIKAP) menggugat pasal-pasal dalam UU 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP) ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Permohonan uji materi atas Pasal 65 ayat (2) dan Pasal 67 ayat (2) UU PDP itu dilakukan karena pemohon menilai ada risiko kriminalisasi terkait aturan soal larangan pengungkapan data pribadi. Jurnalis dan seniman pun meminta dikecualikan dari larangan pengungkapan data pribadi.

"Rumusan Pasal 65 ayat (2) juncto Pasal 67 ayat (2) Undang-Undang Pelindungan Data Pribadi tidak mengakomodir kebebasan berekspresi dan hak publik atas informasi yang dijamin oleh Pasal 28E ayat (3) dan Pasal 28F Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak diberikan penafsiran," ujar Gema Gita Persada selaku. kuasa hukum para Pemohon dalam sidang pemeriksaan pendahuluan Perkara Nomor 135/PUU-XXIII/2025, Jakarta, Rabu (13/8) seperti dikutip dari laman MK.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Para pemohon yang tergabung dalam SIKAP terdiri dari perorangan dan organisasi di antaranya Pengajar Prof Masduki, Ilustrator/Pembuat Karikatur Amry Al Mursalaat, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, dan Pembela Kebebasan Berekspresi Asia Tenggara (SAFEnet).

Para pemohon mengaku ketiadaan penafsiran atau pengecualian eksplisit pada pasal-pasal yang diuji menciptakan ketidakpastian hukum yang bertentangan dengan Pasal 1 ayat (2), Pasal 28C ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28E ayat (3), Pasal 28F, dan Pasal 32 ayat (1) UUD 1945.

Menurut para pemohon Pasal 65 ayat (2) juncto Pasal 67 ayat (2) UU PDP membuka tafsir yang luas dan tidak ketat yang memungkinkan hak-hak konstitusional jurnalis hingga seniman terancam karena tugas-tugas pekerjaannya kerap kali melibatkan pengungkapan data pribadi guna pemenuhan hak atas informasi publik.

Pasal 65 ayat (2) UU PDP berbunyi, "Setiap orang dilarang secara melawan hukum mengungkapkan Data Pribadi yang bukan miliknya".

Pasal 67 ayat (2) UU PDP berbunyi, "Setiap orang yang dengan sengaja dan melawan hukum mengungkapkan Data Pribadi yang bukan miliknya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah)".

Para Pemohon menilai ketentuan dalam Pasal 65 ayat (2) juncto Pasal 67 ayat (2) yang tidak diberikan penjelasan memberi legitimasi terhadap pembungkaman suara-suara publik yang sah, terutama ketika digunakan tanpa ukuran yang objektif dan akuntabel.

Mereka menilai penerapan beleid itu membuat negara secara sepihak membatasi partisipasi warga negara dalam menyampaikan pendapat, gagasan, atau kritik terhadap kebijakan publik.

Sementara, dalam sistem demokrasi konstitusional, kedaulatan rakyat hanya dapat dijalankan secara utuh jika ekspresi politik, sosial, dan kultural warga negara dijamin secara penuh dan tidak dibatasi secara sewenang-wenang oleh norma hukum yang kabur.

Pemohon menyatakan suatu norma yang tidak diberi penjelasan lebih lanjut berpotensi digunakan untuk menekan ekspresi atau pendapat yang sah secara konstitusional, yang justru menimbulkan ketakutan di masyarakat dan melemahkan iklim demokrasi.

Dalam petitumnya, para Pemohon memohon kepada MK untuk menyatakan Pasal 65 ayat (2) UU PDP bertentangan dengan konstitusi, dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai "Setiap orang dilarang mengungkapkan data pribadi yang bukan miliknya kecuali dalam rangka kerja-kerja jurnalistik, akademik, kesenian dan kesusastraan dan/atau sepanjang berhubungan dengan terjaminnya akses informasi untuk mengembangankan pribadi dan lingkungan sosialnya".

Serta, MK dimohon menyatakan Pasal 67 ayat (2) UU PDP bertentangan dengan UUD 1945m dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang dimaknai "Setiap orang dilarang mengungkapkan data pribadi yang bukan miliknya kecuali dalam rangka kerja-kerja jurnalistik, akademik, kesenian dan kesusastraan dan/atau sepanjang berhubungan dengan terjaminnya akses informasi untuk mengembangankan pribadi dan lingkungan sosialnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp4 miliar (empat miliar rupiah)".

Menggugat transfer data pribadi antarnegara

Sidang ini juga berbarengan dengan permohonan yang diregistrasi dengan Perkara Nomor 137/PUU-XXIII/2025 yang dimohonkan Rega Felix yang berprofesi sebagai advokat dan dosen.

Pemohon menguji Pasal 56 ayat (1) dan Pasal 56 ayat (4) UU PDP.

Menurutnya, pasal tersebut sama sekali tidak menempatkan kedaulatan rakyat sebagai pemilik kedaulatan data pribadi yang sejati, seolah-olah persoalan transfer data pribadi hanya dianggap sebagai persoalan teknis yang tidak berdampak jauh pada kehidupan rakyat.

Permohonan ini menyusul adanya kesepakatan antara Pemerintah Indonesia dan Amerika Serikat mengenai transfer data pribadi warga negara sebagai bagian dari perjanjian perdagangan timbal balik. Menurut Pemohon, jika pemerintah menafsirkan secara sepihak makna Pasal 56 UU PDP dapat berakibat kepada potensi kerugian konstitusional yang meluas dan mendasar terhadap rakyat Indonesia termasuk Pemohon berdasarkan Pasal 28G ayat (1) UUD 1945.

"Ketidakjelasan siapa yang memiliki kewenangan untuk menentukan dan menyetujui suatu transfer data pribadi ke wilayah negara lain dan menyatakan bahwa negara lain telah memiliki pelindungan yang setara," kata Rega Felix.

Padahal, kata Rega, hal yang paling prinsipiel dalam perlindungan data pribadi adalah persetujuan subjek data pribadi.

Sehingga muncul pertanyaan di mana manifestasi persetujuan pemohon sebagai rakyat dan subjek data pribadi ditempatkan dalam kerja sama internasional yang melibatkan transfer data pribadi. Menurut Pemohon, harus terdapat representasi dari persetujuan rakyat apabila pemerintah hendak melakukan transfer data pribadi ke negara lain.

Pasal 56 ayat (1) berbunyi, "Pengendali Data Pribadi dapat melakukan transfer Data Pribadi kepada Pengendali Data Pribadi dan/atau Prosesor Data Pribadi di luar wilayah hukum Negara Republik Indonesia sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ini."

Sementara, Pasal 56 ayat (4) berbunyi, "Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) tidak terpenuhi, Pengendali Data Pribadi wajib mendapatkan persetujuan Subjek Data Pribadi."

Dalam petitumnya, Pemohon memohon kepada Mahkamah untuk menyatakan Pasal 56 ayat (1) dan Pasal 56 ayat (4) UU PDP bertentangan dengan UUD 1945, dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai "Pengendali Data Pribadi dapat melakukan transfer Data Pribadi kepada Pengendali Data Pribadi dan/atau Prosesor Data Pribadi di luar wilayah hukum Negara Republik Indonesia apabila telah mendapatkan persetujuan Subjek Data Pribadi atau berdasarkan perjanjian internasional yang disetujui Dewan Perwakilan Rakyat sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ini".

Perkara ini disidangkan Majelis Panel Hakim yang dipimpin Hakim Konstitusi Arief Hidayat dengan didampingi Hakim Konstitusi Anwar Usman dan Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih.

Menurut Arief, masing-masing Pemohon harus menguraikan dengan jelas pertentangan norma yang diuji dengan pasal dalam UUD NRI Tahun 1945 yang menjadi batu uji atau dasar pengujian.

MK diberi kesempatan memperbaiki permohonan masing-masing dalam waktu 14 hari. Berkas permohonan baik soft copy maupun hard copy harus diterima Mahkamah paling lambat pada Selasa, 26 Agustus 2025 pukul 12.00 WIB.

(kid/wis)

[Gambas:Video CNN]

Read Entire Article
Perekonomian | Teknologi | Alam | Otomotif | Edukasi | Lifestyle |