COP30 Dinilai Abaikan Peran Masyarakat Adat dalam Solusi Iklim

3 hours ago 1

REPUBLIKA.CO.ID, BELEM – Para aktivis lingkungan dan komunitas adat memenuhi jalan-jalan Kota Belem untuk mendesak agar suara Masyarakat Adat tidak lagi dipinggirkan dalam perundingan iklim COP30. Dari tengah arus demonstrasi itu, Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Rukka Sombolinggi menegaskan bahwa proses negosiasi masih menafikan kontribusi kelompok yang selama ini menjaga ekosistem bumi.

“Mereka terus mengacuhkan bukti terbaik dari ilmu pengetahuan modern yang menyatakan Masyarakat Adat adalah garda terdepan dalam mengatasi krisis iklim,” kata Rukka dalam pernyataannya, Ahad (16/11/2025).

Aksi di Belem menjadi panggung penegasan kembali peran Masyarakat Adat. Spanduk besar bertuliskan "The Answer is Usmembentang di antara massa. AMAN menekankan bahwa komunitas adat memegang pengetahuan ekologis yang diwariskan turun-temurun. Mereka melindungi sungai, hutan, gunung, hingga laut, namun terus disisihkan dari ruang pengambilan keputusan global.

Demonstrasi besar ini baru bisa digelar sejak 2021. Pada tiga COP sebelumnya, kelompok masyarakat sipil dan Masyarakat Adat tidak mendapatkan akses menyampaikan tuntutannya di luar arena negosiasi. Tahun ini, diperkirakan 30 ribu peserta hadir, menjadikannya salah satu mobilisasi adat terbesar di forum iklim dunia.

Isu yang diusung kembali menyoroti tuntutan lama yang belum terpenuhi, yaitu perlindungan wilayah adat, partisipasi bermakna dalam mitigasi dan adaptasi krisis iklim, penghentian energi fosil, serta pengakuan atas hutan adat.

Namun, hingga pekan pertama COP30, AMAN menilai belum ada perkembangan nyata dari ruang negosiasi. Kekhawatiran mereka meningkat ketika koalisi Kick Big Polluters Out (KBPO) mengungkap 1.600 pelobi industri fosil hadir di Belem, jumlah terbesar dalam sejarah COP.

“Kami tidak bisa lagi melihat ini seperti business as usual. Tujuh puluh persen Masyarakat Adat di seluruh dunia telah ditindas,” ujar Rukka.

Dia menyoroti Asia sebagai kawasan paling rentan, terutama akibat praktik militerisasi yang mengancam sumber daya alam dan ruang hidup komunitas adat.

Rukka menuntut penghentian “solusi-solusi palsu” perubahan iklim serta percepatan pengakuan hukum terhadap hak masyarakat adat di Indonesia. Ia menegaskan perlunya pemerintah segera mengesahkan RUU Masyarakat Adat, menghentikan perampasan wilayah adat, dan merealisasikan komitmen 1,4 juta hektare hutan adat yang dijanjikan pemerintah hingga 2030.

“Kalian harus mengambil bagian dalam solusi iklim, karena jawaban dari semua ini bukan hanya Masyarakat Adat; melainkan Masyarakat Adat dan kalian semua. Jawabannya adalah kita,” kata Rukka.

Perwakilan Masyarakat Adat Papua turut hadir dengan spanduk bertuliskan “West Papua Is Not An Empty Land. Save Our Indigenous Forest”. Pesan itu menolak narasi yang menggampangkan Tanah Papua sebagai lahan kosong untuk eksploitasi. Di lapangan, perluasan konversi hutan terus terjadi atas nama pembangunan.

“Negara cenderung berorientasi memanfaatkan hasil hutan untuk tujuan komersial yang terbukti merusak dan justru berperan sebagai driver of deforestation,” ujar Direktur Yayasan Pusaka Bentala Rakyat Franky Samperante.

Read Entire Article
Perekonomian | Teknologi | Alam | Otomotif | Edukasi | Lifestyle |