Jakarta, CNN Indonesia --
Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan gugatan yang dilayangkan Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) terkait pengujian sejumlah pasal dalam UU Pemilu dan UU Pilkada.
Dalam amar putusan nomor perkara 135/PUU-XXII/2024, MK memutuskan pemilu nasional dan daerah dipisah alias tidak dalam tahun yang sama. MK memberikan opsi agar jeda waktu dari pemilu nasional dan daerah yakni selama 2 hingga 2,6 tahun.
Artinya, dengan putusan itu, pemilihan DPRD dan kepala daerah yang semula akan digelar pada 2029, lima tahun sejak 2024, mundur menjadi 2031.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Jabatan DPRD dan kepala daerah diperpanjang
Putusan MK membuka peluang DPR atau pemerintah memperpanjang masa jabatan kepala daerah maupun anggota DPRD yang semula habis pada 2029 menjadi 2031.
Potensi itu terbuka lebar jika putusan MK akan diatur dan masuk dalam revisi UU Pemilu atau Pilkada sebelum 2029. DPR dan pemerintah memiliki waktu hingga 2028 atau beberapa bulan sebelum Pemilu 2029 untuk melakukan revisi jika putusan MK ingin berlaku.
Sementara, Ketua Komisi II DPR, Rifqinizami Karsayuda mengatakan putusan MK hanya membuka opsi perpanjangan masa jabatan bagi anggota DPRD.
Sementara, bagi kepala daerah akan digantikan sementara dengan penjabat sementara (Pjs). Kasus yang sama terjadi pada 2024.
"Kalau bagi pejabat gubernur, bupati, wali kota bisa tunjuk penjabat seperti yang kemarin, tetapi untuk anggota DPRD satu-satunya cara adalah dengan cara memperpanjang masa jabatan," kata Rifqi saat dihubungi, Kamis (26/6).
Hal yang sama disampaikan Komisioner KPU Idham Kholiq. Dia Idham meyakini jabatan anggota DPRD yang terpilih pada 2024 berpotensi diperpanjang hingga 2031.
"Jadi dengan adanya pemisahan Pemilu Nasional dan Lokal sebagaimana Putusan MK Nomor 135/PUU-XXII/2024, dimana Pemilu Lokal dilaksanakan paling singkat 2 tahun atau paling lama 2 tahun 6 bulan pasca pelantikan DPR RI dan DPD RI atau presiden dan wakil presiden terpilih hasil Pemilu nasional pada 2029, maka masa jabatan anggota DPRD berpotensi diperpanjang, karena pemilu lokal baru akan menghasilkan anggota DPRD terpilih pada 2031," ucap Idham, Jumat (27/6).
Pilkada bisa digelar 2032
Jika sesuai siklus lima tahunan, pemilihan kepala daerah akan kembali digelar pada 27 November 2029, atau lima tahun sejak 27 November 2024 lalu.
Namun, dengan putusan MK terbaru agar pemilu nasional dan lokal dipisah, pelaksanaan pilkada bisa mundur menjadi Oktober 2031, atau April 2032 jika jedanya sampai 2,5 tahun. Waktu tersebut dihitung sejak pelantikan presiden pada 20 Oktober 2029 maupun DPR pada 1 Oktober 2029.
"Pemilihan dilaksanakan secara serentak di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah provinsi, anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah kabupaten/kota dan gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, dan walikota/wakil walikota yang dilaksanakan dalam waktu paling singkat 2 (dua) tahun atau paling lama 2 (dua) tahun 6 (enam) bulan sejak pelantikan anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Daerah atau sejak pelantikan Presiden/Wakil Presiden'," kata Suhartoyo membacakan amar putusan.
Jumlah kotak suara berkurang
Di sisi lain, putusna MK agar pemilu nasional dan lokal atau daerah dipisah, juga bisa membuat jumlah kotak suara berkurang dari lima menjadi hanya dua. Sebab, kotak suara hanya berisi untuk pilpres, pileg, dan DPD.
Pemilu dengan lima kotak suara digelar pada Pemilu Serentak 14 Februari 2024 lalu. Pemilih saat itu menerima lima surat suara sekaligus yang terdiri dari pasangan calon presiden dan wakil presiden, anggota DPR RI, anggota DPD RI, anggota DPRD provinsi, dan anggota DPRD kabupaten/kota.
Ada lima jenis surat suara berlatar putih dengan lima warna penanda yang berbeda sesuai fungsinya. Warna abu-abu merupakan surat suara untuk pemilu presiden dan wakil presiden, warna merah untuk pemilu DPD, warna kuning untuk pemilu anggota DPR, warna biru untuk pemilu anggota DPRD provinsi dan warna hijau untuk surat suara pemilu anggota DPRD kabupaten/kota.
Berikut bunyi putusan MK soal pemilu nasional dan daerah dipisah:
"Menyatakan Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 57, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5678) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang ke depan tidak dimaknai, 'Pemilihan dilaksanakan secara serentak di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah provinsi, anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah kabupaten/kota dan gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, dan walikota/wakil walikota yang dilaksanakan dalam waktu paling singkat 2 (dua) tahun atau paling lama 2 (dua) tahun 6 (enam) bulan sejak pelantikan anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Daerah atau sejak pelantikan Presiden/Wakil Presiden'," ujar Ketua MK Suhartoyo mengucapkan amar putusan, Kamis (26/6).
(thr/dal)