Di Balik Tren Living Together: Siapa yang Paling Dirugikan?

3 hours ago 2

Image Rahmi maulida

Gaya Hidup | 2025-07-09 16:07:11

Pernahkah kamu membayangkan, bagaimana rasanya menjadi perempuan atau anak yang hidup dalam hubungan tanpa status hukum, tanpa perlindungan, dan tanpa jaminan kepastian? Bagaimana jika hubungan yang tampak mesra dari luar, ternyata menyimpan banyak ketakutan dan ketidakpastian di dalamnya?

Ilustrasi: living together, (Foto: unsplash, bebas hak cipta)

Cohabitation atau biasa disebut Living Together dapat didefinisikan sebagai praktik tinggal bersama antara pasangan tanpa ikatan pernikahan (Muthia dkk, 2024). Di Indonesia, fenomena ini juga dikenal dengan istilah “kumpul kebo”. Di negara-negara Barat, praktik ini sudah dianggap lumrah sebagai bagian dari proses awal sebelum menikah.

Namun di Indonesia, yang menjunjung tinggi nilai agama dan budaya, perilaku ini masih dianggap menyimpang dan terus menjadi sorotan. Meski demikian, tren living together makin sering terlihat, terutama di kalangan anak muda. Bahkan, tidak sedikit yang membagikannya secara terbuka di media sosial, seolah praktik ini sudah di normalisasikan.

Lalu, seperti apa sebenarnya dampak dari living together, terutama bagi perempuan dan anak-anak yang sering kali berada di posisi paling rentan? Yuk langsung aja kita bahas!

Dampak Living Together atau Cohabitation

Ilustrasi: orang terkena tekanan batin akibat kasus living together, (Foto: Unsplash, bebas hak cipta)

Dalam laporan CNBC Indonesia, Yulinda Nurul Aini, seorang peneliti dari BRIN, menyebutkan bahwa perempuan dan anak-anak adalah pihak yang paling dirugikan dari praktik living together. Kerugian ini muncul dalam berbagai aspek, diantaranya:

1. Aspek Ekonomi

Dalam hubungan tanpa ikatan pernikahan, perempuan dan anak-anak tidak memiliki jaminan atas keamanan finansial mereka. Jika hubungan berakhir, tidak ada kepastian hukum soal nafkah, warisan, atau tanggung jawab finansial dari pasangan laki-laki. Padahal, hal-hal tersebut dijamin dalam pernikahan resmi.

2. Aspek Psikologis

Tinggal bersama tanpa ikatan hukum bisa memengaruhi kesehatan mental, khususnya bagi perempuan yang sering kali merasa tidak aman dalam hubungan seperti ini.. Perasaan tidak aman, ketakutan akan ditinggalkan, hingga tekanan sosial dari lingkungan kerap muncul, karna hubungan ini tidak mendapat pengakuan resmi dari masyarakat maupun negara.

Dampak dari praktik living together juga dirasakan oleh anak-anak yang lahir dari hubungan ini. Mereka cenderung mengalami masalah dalam pertumbuhan, Kesehatan, hinga kondisi emosional. Mereka juga beresiko mengalami krisis identitas, terutama karena stigma sebagai “anak haram” bahkan dari keluarga terdekat.

Sebuah data dari survei PK21, yang juga dilaporkan dalam berita tersebut, tercatat bahwa mayoritas pasangan yang menjalani living together tidak luput dari konflik. Sebanyak 69,1% menalami pertengkaran ringan, seperti saling diam atau tidak bertegur sapa, sementara 0,62% mengalami konflik serius, seperti pisah ranjang, hingga pisah tempat tinggal. Bahkan 0,26% mengalami kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).

Dengan demikian, artikel ini mengajak kita untuk melihat kembali tren living together secara lebih kritis, bukan hanya sebagai pilihan gaya hidup, tapi juga sebagai praktik yang menyimpan risiko, terutama bagi perempuan dan anak-anak yang kerap menjadi pihak paling dirugikan.

Refrensi:

Muthia, U., Amanda, E R., Wiwinda, A., & Kurniawan, R. (2024). Budaya Cohabitation: Tinjauan Kritis dari Kacamata Mahasiswa Islam. Jurnal Ilmiah Kajian Multidisipliner, 8(10), 55.

Sandi, F. (2023). Fenomena Kumpul kebo Lagi Marak di Rl, Begini Dampak Negatifnya. Cnbc Indonesia.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Read Entire Article
Perekonomian | Teknologi | Alam | Otomotif | Edukasi | Lifestyle |