Jakarta, CNBC Indonesia - DPR meminta pemerintah untuk tidak memberi efek kejut ke masyarakat saat ingin menerbitkan ketentuan tentang keharusan platform e-commerce memungut pajak atas pendapatan hasil penjualan secara daring para pelapak atau merchant.
Ketua Komisi XI DPR Mukhamad Misbakhun mengatakan, sebelum aturan itu resmi terbit dan berlaku, seharusnya pemerintah harus duduk bersama dengan dunia usaha yang akan menjadi subjek pajak nya, untuk membahas konsep pemajakannya secara detail.
"Untuk itu pemerintah harus baik berkomunikasi dengan asosiasi. Baik itu asosiasi penjual, asosiasi pedagang atau asosiasi produsen soal hal-hal yang mau dikenakan," ucap Misbakhun saat ditemui di kawasan Gedung Parlemen, Jakarta, Rabu (2/7/2025).
"Saya yakin pemerintah akan membangun komunikasi yang baik sehingga jangan sampai kemudian rakyat terkaget-kaget terhadap apa yang menjadi policy nya pemerintah. Seakan-akan pemerintah tidak aspiratif dan seakan-akan pemerintah tidak memberitahukan itu," tegasnya.
Misbakhun mengatakan, masyarakat dan pelaku usaha menjadi sangat penting untuk diberi pemahaman itu karena memang pemerintah yang membutuhkan dana dari pajak untuk membiayai kebutuhan pembangunan dan berjalannya roda pemerintahan.
"Karena bagaimanapun juga pemerintah butuh uang untuk bisa mendapatkan pemasukan dari pajak. Tidak boleh kemudian ada aktivitas bisnis, aktivitas ekonomi yang tidak dipajaki. Baik itu melalui mekanisme online maupun secara offline," tutur Misbakhun.
Tapi, ia mengingatkan pula supaya masyarakat harus ingat bahwa kewajiban membayar pajak itu adalah kewajiban siapapun tanpa kecuali. Begitu masyarakat membeli sesuatu, ada kewajiban untuk membayar PPN 11%, dan untuk barang mewah tarifnya 12%. Penghasilan pengusaha atau merchant dari hasil transaksi penjualan itu pun juga menjadi objek pajak.
"Nah, mekanismenya itu mau online, mekanismenya itu mau offline, silakan diikuti aturan yang sudah dibuat oleh pemerintah. Karena apa? Karena pajak ini penting untuk negara. Untuk membiayai pembangunan, untuk membayar gaji polisi, gaji guru, gaji dokter, gaji bidan, gaji siapapun yang masuk kategori pembiayaannya di APBN," ujar Misbakhun.
Menurutnya, sejauh ini pemerintah juga belum duduk bersama dengan para anggota DPR terkait ketentuan perpajakan ini. "Tidak, belum. Kalau ditanya duduk barengnya, belum. Karena itu mengenai pengaturan-pengaturan administrasi itu kewenangan penuh pemerintah. Kalau sifatnya administrasi," ucapnya.
Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Bimo Wijayanto sebelumnya telah mengatakan, bahwa landasan hukum pemberlakuan kebijakan pajak yang menggunakan peraturan menteri keuangan atau PMK itu kini sudah dalam tahap finalisasi di Kementerian Sekretariat Negara.
"Kita tunggu saja, masih di Mensesneg. Jadi proses, sedang proses, finalisasi," ucap Bimo di kawasan DPR, Jakarta, Rabu (2/7/2025).
Karena masih dalam proses perampungan penerbitan, Bimo enggan mengungkapkan rencana pemberlakuan kebijakannya, apakah akan dilakukan pada semester II-2025 atau tahun berikutnya. "Kalau spekulasi seperti itu ya, anggap saja spekulasinya Anda. Saya enggak mau spekulasi, dan enggak mau jawab pakai spekulasi. Tunggu saja," tegas Bimo.
Sebagaimana diketahui, rencana pemerintah untuk menerapkan aturan baru yang mengharuskan platform e-commerce memungut pajak atas pendapatan hasil penjualan pelapak terungkap dalam laporan Reuters berjudul "Indonesia to make e-commerce firms collect tax on sellers' sales".
Dalam laporan itu disebutkan platform e-commerce akan diharuskan memotong dan menyetorkan pajak kepada Direktorat Jenderal Pajak (DJP) sebesar 0,5% dari pendapatan penjualan para pelapak dengan omzet tahunan antara Rp 500 juta sampai Rp 4,8 miliar.
Besaran tarif itu serupa dengan tarif Pajak Penghasilan (PPh) Final bagi para pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) yang telah ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 23 Tahun 2018 sebesar 0,5% dari omzet.
Disebutkan juga bahwa Kementerian Keuangan pernah memperkenalkan peraturan serupa pada akhir 2018, yang mengharuskan semua operator e-commerce untuk membagikan data penjual dan meminta mereka untuk membayar pajak atas pendapatan penjual. Namun, ketentuan itu akhirnya dicabut Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati tiga bulan setelah mendapat reaksi dari industri.
Ketentuan saat itu ditetapkan dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 210/PMK.010/2018 Tahun 2018 tentang Perlakuan Perpajakan Atas Transaksi Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (E-Commerce), yang dicabut dengan PMK No. 31/PMK.010/2019.
(arj/mij)
[Gambas:Video CNBC]