Ekonom: Tarif 19 Persen Jadi Kompromi Terbaik, Risiko Defisit Tetap Ada

9 hours ago 2

Kapal nelayan melintas dengan latar belakang aktivitas bongkar muat peti kemas di New Priok Container Terminal One, Jakarta, Selasa (1/7/2025).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Ekonom Piter Abdullah menilai kesepakatan dagang Indonesia–Amerika Serikat yang memuat tarif ekspor 19 persen sebagai bentuk kompromi terbaik di tengah tekanan perdagangan. Ia menyebut kesepakatan ini memang tidak ideal, tapi tetap realistis dalam posisi tawar Indonesia saat ini.

“Kesepakatan Indonesia–America patut diapresiasi karena mengindikasikan kekuatan bargaining pemerintahan Prabowo. Kesepakatan ini diharapkan memunculkan sentimen positif di kalangan pelaku ekonomi di Indonesia,” ujar Piter kepada Republika, Rabu (16/7/2025).

Menurutnya, struktur kesepakatan tidak sepenuhnya timpang karena impor yang dilakukan sesuai dengan kebutuhan nasional. “Struktur kesepakatan saya kira cukup win-win bagi kedua pihak. Indonesia akan meningkatkan impor untuk barang-barang yang memang sudah kita perhitungkan sesuai kebutuhan. Impor Boeing misalnya, sejalan upaya kita untuk kembali memperkuat Garuda,” kata dia.

Piter menilai menjaga akses ekspor ke pasar Amerika juga penting karena tidak mudah membuka pasar baru. “Perlu dicatat, tidak mudah untuk membuka pasar ekspor baru. Walaupun pemerintah bukan berarti tidak mengupayakan pasar baru. Kesepakatan dengan Eropa misalnya, adalah bukti pemerintah tidak ingin bergantung kepada Amerika,” ucapnya.

Meski begitu, ia mengingatkan potensi risiko defisit perdagangan tetap ada. Amerika Serikat selama ini merupakan penyumbang utama surplus neraca perdagangan Indonesia. Jika ekspor melambat karena tarif 19 persen, sementara impor meningkat karena bebas hambatan, maka neraca perdagangan bilateral bisa berbalik negatif.

Namun, ia menilai tekanan terhadap defisit tidak akan separah yang dikhawatirkan. “Saya kira tidak akan memperburuk, karena strategi ini sesungguhnya hanya mengalihkan negara asal impor,” ujar Piter.

Terkait pembelian produk AS senilai hampir 20 miliar dolar AS, ia menilai hal itu tidak menjadi beban baru. “Yang kita impor adalah barang-barang yang memang selama ini kita impor dari berbagai negara. Jadi menurut saya tidak menjadi sumber tekanan baru bagi industri lokal di sektor pertanian dan energi. Untuk energi misalnya, kita memang mengimpor BBM dan gas selama ini,” jelasnya.

“Kesepakatan menurut saya memang tidak sempurna. Tapi ini adalah pilihan terbaik mempertimbangkan posisi tawar kita dengan Amerika,” ujar Piter.

Read Entire Article
Perekonomian | Teknologi | Alam | Otomotif | Edukasi | Lifestyle |