
Oleh : Achmad Tshofawie; Kordinator ECOFITRAH/Yayasan Sinurat Layung, Anggota TKPSDA Wilayah Sungai Citarum
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ada satu kalimat pendek yang terdengar sederhana, tapi sesungguhnya menyimpan diagnosis keras atas kondisi dunia hari ini. Eksploitasi tanpa konservasi sama dengan bunuh diri.
Bunuh diri itu tidak selalu dilakukan dengan satu tindakan dramatis. Ia bisa berlangsung perlahan—setiap hari, sedikit demi sedikit—hingga akhirnya tubuh, ekosistem, dan peradaban kolaps tanpa sempat diselamatkan.Dan itulah yang sedang kita lakukan terhadap bumi.
Ketika Alam Dianggap Tak Pernah Habis
Peradaban modern tumbuh di atas satu asumsi berbahaya: alam dianggap tak terbatas, sementara hasrat manusia tak pernah dibatasi. Tambang dibuka tanpa jeda, hutan ditebang lebih cepat daripada tumbuhnya kembali, sungai dipaksa menjadi saluran limbah, dan air tanah disedot seolah langit selalu siap mengisi ulang.
Padahal ilmu ekologi sejak lama mengingatkan: alam bekerja dengan ambang batas (thresholds). Ketika batas itu terlampaui, kerusakan tidak lagi linear, melainkan eksponensial. Banjir datang lebih sering, kekeringan lebih lama, tanah kehilangan daya hidup, dan air bersih berubah menjadi barang langka.
Laporan-laporan ilmiah global—dari degradasi DAS, hingga krisis air—sebenarnya mengulang pesan yang sama: kita sedang hidup dari tabungan ekologis, bukan dari "bunga" alam.
Masalahnya, tabungan itu hampir dikuras habis.
Tambang: Karunia atau Ujian?
Benar, banyak yang berargumen—dan itu sah—bahwa tambang adalah karunia Allah. Di dalam perut bumi tersimpan mineral, energi, dan bahan baku yang menopang peradaban modern. Islam tidak pernah mengajarkan asketisme ekologis yang menolak pemanfaatan alam sama sekali.Namun pertanyaannya bukan boleh atau tidak, melainkan bagaimana dan sampai batas mana.
Dalam logika ekologi, tambang adalah aktivitas ekstraktif tak terbarukan. Sekali diambil, ia tidak tumbuh kembali dalam skala umur manusia. Karena itu, setiap pembukaan tambang seharusnya dibayar dengan harga ekologis yang setara: perlindungan hulu, pemulihan lahan, penjagaan air, dan jaminan keberlanjutan hidup masyarakat sekitar.
Ketika tambang berjalan tanpa konservasi, yang terjadi bukan pembangunan, melainkan pemindahan risiko dari hari ini ke masa depan. Keuntungan dinikmati sekarang, kerusakan diwariskan kepada anak cucu.Itulah bunuh diri yang ditunda.
Air: Korban Pertama Keserakahan
Dalam hampir semua peradaban yang runtuh, air selalu menjadi korban pertama.Tambang merusak daerah resapan, hutan yang hilang membuat air hujan tak lagi disimpan tanah, DAS terfragmentasi oleh kepentingan ekonomi, dan sungai berubah dari sumber kehidupan menjadi saluran konflik.
Ilmu hidrologi menyebut air sebagai indikator kesehatan ekosistem. Jika air bersih langka, itu bukan sekadar krisis teknis, melainkan tanda rusaknya relasi manusia dengan alam.Ironisnya, air sering diperlakukan sebagai urusan hilir: diolah, dijual, dikemas, dan dikomersialkan. Padahal sumber masalahnya ada di hulu: hutan rusak, lahan terbuka, tambang massive, dan tata ruang yang mengabaikan daya dukung.
Mengobati krisis air tanpa membenahi hulu, ibarat memberi infus pada pasien yang terus kehilangan darah.
DAS dan Dosa Struktural
Daerah Aliran Sungai (DAS) adalah satu kesatuan ekologis. Air, tanah, hutan, manusia, dan ekonomi saling terhubung. Namun dalam praktik kebijakan, DAS sering dipotong-potong: hulu dikelola satu institusi, hilir oleh yang lain, dan kepentingan ekonomi berjalan sendiri tanpa koordinasi ekologis.
Di sinilah kerusakan menjadi sistemik.Ketika izin tambang diberikan di hulu tanpa mempertimbangkan fungsi ekologisnya, banjir di hilir dianggap bencana alam, bukan konsekuensi kebijakan. Ketika sungai tercemar, masyarakat diminta beradaptasi, bukan negara yang diminta bertobat.
Padahal ilmu ekologi sudah lama menyatakan: kerusakan lingkungan jarang disebabkan oleh satu aktor, tetapi oleh sistem yang membenarkannya.
Tobat Ekologis: Jalan yang Terlupakan
Dalam tradisi Islam, tobat bukan sekadar penyesalan moral, tetapi perubahan arah. Berhenti dari kesalahan, memperbaiki kerusakan, dan berkomitmen tidak mengulanginya.Jika konsep ini dibawa ke ranah ekologis, maka tobat ekologis berarti:
• Mengakui bahwa model pembangunan eksploitatif telah melampaui batas,
• Menghentikan kerusakan yang sedang berlangsung,
• Memulihkan ekosistem yang rusak,
• Dan mengubah paradigma dari eksploitasi menuju amanah.
Tanpa tobat, ilmu berubah menjadi alat pembenaran. Tanpa tobat, teknologi mempercepat kehancuran. Tanpa tobat, pembangunan hanyalah nama lain dari bunuh diri kolektif.
Huluisasi Peradaban
Dalam kondisi krisis ekologis, fokus peradaban seharusnya bukan hilirisasi semata, melainkan huluisasi: menjaga sumber kehidupan sebelum mengolah hasilnya.
Menjaga hutan sebelum menjual karbon, melindungi air sebelum membangun industri, memulihkan tanah sebelum mengejar ekspor pangan.Ini bukan romantisme hijau. Ini logika bertahan hidup.
Peradaban besar runtuh bukan karena kekurangan teknologi, tetapi karena kehilangan kebijaksanaan untuk berhenti sejenak.
Penutup
Eksploitasi tanpa konservasi bukan sekadar kesalahan kebijakan. Ia adalah krisis moral dan epistemik—saat manusia tahu, tapi tidak peduli; paham, tapi tetap rakus.
Jika bunuh diri bisa terjadi perlahan, maka krisis ekologis hari ini adalah bentuknya yang paling sunyi: tidak terdengar jeritannya, tapi dampaknya mematikan.
Pertanyaannya sederhana: kita ingin dikenal sebagai generasi pembangun, atau generasi yang tahu segalanya, tapi gagal bertobat?
Tentu,kita tidak ingin bunuh diri,karena itu adalah perbuatan dosa besar dan tercela,serta mencoreng entitas peradaban suatu bangsa.
Dan bangsa yang besar akan mengambil hikmah dari suatu peristiwa besar. Insya Allah kita bisa !!

1 hour ago
1












































