Figur Ayah yang Pudar: Tantangan Baru dalam Keluarga Modern

1 hour ago 1

Image Putri Salma Az-Zahra

Parenting | 2025-12-09 16:54:28

Source: pinterest.com

Fenomena fatherless atau ketiadaan peran ayah dalam keluarga, kini semakin banyak dibicarakan. Istilah ini bukan sekedar merujuk pada ketiadaan ayah secara fisik, melainkan juga ketidakhadiran peran ayah secara emosional dan psikologis dalam proses pertumbuhan anak. Akar masalah dari fenomena fatherless ini sebetulnya sangat beragam. Mulai dari pemahaman sosial yang terlanjur menempatkan urusan pengasuhan hanya sebagai "tugas ibu” hingga tekanan ekonomi yang tanpa sadar telah menyita habis waktu para ayah. Padahal, ketiadaan peran ayah dalam tumbuh kembang anak ini membawa dampak yang sungguh besar dan rumit bagi perkembangan mental dan karakter anak.

Minimnya kehadiran ayah dalam masa pertumbuhan anak menimbulkan buruknya komunikasi yang kian melebar. Realita ini mendorong anak mencari sistem dukungan (support system) di luar lingkungan keluarga, sering kali mengandalkan lingkaran pertemanan yang belum sepenuhnya matang atau menjelajah media yang berpotensi risiko tinggi.

Fenomena ini diperkuat dengan adanya pernyataan resmi dari Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), yang menyebut bahwa kehadiran ayah dalam pengasuhan masih sangat kurang. Meskipun pernyataan tersebut tidak memuat angka spesifik, namun di beberapa kajian dan data pendukung, pendataan Keluarga 2025 menunjukkan bahwa 25,8% anak Indonesia mengalami kondisi fatherless, situasi ketika ayah hadir secara fisik namun tidak terlibat dalam pengasuhan.

Situasi ini tak hanya sekedar angka, melainkan sebuah tantangan serius yang berdampak pada aspek psikologis, sosial, dan perilaku anak secara menyeluruh (Decemberia, 2025).Kurangnya peran ayah dalam pengasuhan berdampak luas terhadap tumbuh kembang anak. Ketika seorang ayah minim keterlibatan, anak-anak—baik laki-laki maupun perempuan—dapat mengalami kesulitan dalam berbagai aspek perkembangan. Anak yang tidak mendapatkan keterlibatan pengasuhan dan kehangatan ayah cenderung mengalami kecemasan yang berlebih, rasa percaya diri yang rendah, kurangnya motivasi dan kesulitan dalam berinteraksi sosial.

Mereka juga berisiko mengalami penurunan prestasi akademik dan masalah dalam pembentukan identitas diri. Secara psikologis, sosok ayah memberi pengaruh besar dalam pembentukan identitas diri anak, khususnya pada aspek ketegasan dan ketahanan mental. Anak yang mengalami kesulitan dalam berinteraksi dengan lingkungan sekitar juga berpotensi kesulitan membangun pola pertemanan di kemudian hari dan lebih mudah terjerumus pada perilaku negatif, seperti kenakalan remaja, perundungan, penyalahgunaan narkoba, bahkan pergaulan bebas. Khusus bagi anak perempuan, hubungan yang buruk atau ketidakhadiran ayah dapat mempengaruhi cara mereka memandang hubungan dengan lawan jenis di masa depan.

Selain itu, kekosongan yang ditinggalkan oleh ayah seringkali memicu anak perempuan untuk mencari afeksi atau perhatian pengganti. Secara psikologis, mereka mungkin rentan terhadap hubungan asmara yang tidak sehat, mencari perhatian berlebihan (attention seeking), atau menjadi people pleaser karena secara tidak sadar mencoba mengisi lubang father-hunger (lapar ayah) dalam diri mereka. Hal ini sekaligus menjadi ancaman bagi stabilitas sosial jangka panjang. Selain itu, peran ayah juga sangat berkontribusi dalam pendidikan dan penanaman nilai-nilai moral. Ayah yang aktif membimbing dan menjadi teladan dapat memperkuat karakter anak dan mempersiapkan mereka menghadapi tantangan hidup.

Sebaliknya, ketiadaan figur ayah menyebabkan minimnya pengawasan dan bimbingan, sehingga anak dapat kehilangan arah dan motivasi yang sehat. Oleh sebab itu, pandangan yang menyempitkan peran ayah sekadar sebagai pencari nafkah sudah seharusnya kita tinggalkan. Peran seorang ayah dalam keluarga sejatinya bersifat melengkapi, bukan hanya sekadar menggantikan atau mengisi kekosongan. Kehadiran ibu dan ayah, dengan segala perbedaannya, memiliki bobot yang sama penting, sebab keduanya mampu menghadirkan pola asuh yang utuh dan seimbang bagi perkembangan anak.

Oleh karena itu, kebutuhan untuk meninjau kembali peran ayah menjadi hal yang sangat mendesak. Kehadiran fisik seorang ayah harus dilengkapi dengan keterlibatan batin yang nyata, ayah perlu berubah dari sekadar seorang yang memberi perintah menjadi teman tumbuh yang bersedia menemani setiap fase tumbuh kembang anak. Dengan cara ini, kita memastikan anak tumbuh dengan dasar karakter yang kuat, memiliki panduan moral yang jelas, serta daya tahan untuk menghadapi dunia modern.

Mengembalikan peran ayah pada tempatnya bukan hanya urusan pribadi, melainkan kerja sama kita dalam membentuk masyarakat yang memiliki mental sehat dan tangguh. Maka untuk mengatasi fenomena fatherless yang meluas, diperlukan solusi yang melibatkan individu, keluarga, dan negara.Pertama, perubahan pandangan sosial. Ayah harus diyakinkan bahwa keberhasilan mereka tidak hanya diukur dari besarnya penghasilan, tetapi dari kualitas waktu dan interaksi dengan anak. Edukasi tentang parenting yang melibatkan peran ayah secara aktif perlu digalakkan.

Kedua, dukungan kebijakan. Pemerintah dan perusahaan harus mendukung keseimbangan antara pekerjaan dan kehidupan keluarga. Kebijakan cuti ayah yang memadai adalah langkah yang akan mendorong ayah untuk hadir dan terlibat sejak hari-hari pertama kehidupan anak.

Ketiga, peningkatan literasi parenting di kalangan pria. Penting bagi para pria muda dan calon ayah untuk memahami dampak psikologis dari kehadiran mereka. Pengetahuan ini akan menjadi bekal bagi mereka untuk secara sadar mengutamakan interaksi berkualitas dengan anak, meskipun dengan hal-hal kecil yang membuat anak merasakan kehadiran ayah, seperti bermain, mendengarkan, dan menjadi teladan.

Selain itu, dorongan dari masing-masing diri sangatlah penting, sebagai seorang kepala dalam rumah, seorang ayah harus memiliki kesadaran diri untuk meluangkan waktu untuk kegiatan bersama yang bermakna. misalnya, membaca buku bersama, berolahraga di akhir pekan, atau diskusi santai.Mengakhiri opini ini, fenomena fatherless adalah alarm bagi kita semua. Membangun generasi yang kuat dan sehat mental membutuhkan kehadiran utuh dari kedua orang tua. Bukan hanya ibu, tetapi ayah juga.

Saatnya bagi para ayah untuk mengambil peran nyata, bukan hanya sebagai kepala rumah tangga, tetapi juga sebagai mentor, pelindung, dan sahabat bagi anak-anak mereka. Hanya dengan memahami peran ini, kita dapat memastikan anak-anak Indonesia tumbuh menjadi individu yang utuh dan berkarakter. Investasi dalam peran ayah yang utuh adalah investasi jangka panjang bagi kesehatan mental dan pembentukan karakter generasi mendatang. Negara tidak akan pernah bisa sepenuhnya menggantikan peran ayah. Keluarga yang utuh secara emosional adalah fondasi bagi masyarakat yang sehat secara psikologis.

Decembria, D. (2025, November 17). 25,8% anak RI fatherless, BKKBN soroti ketergantungan gadget. Bloomberg Technoz. Diakses pada 27 November 2025 dari https://bloombergtechnoz.com

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Read Entire Article
Perekonomian | Teknologi | Alam | Otomotif | Edukasi | Lifestyle |