Kebiasaan Tanya Jawaban ke AI Ciptakan 'Generasi Tanpa Rasa Penasaran'

12 hours ago 2

Jakarta, CNN Indonesia --

"Bisa kok, tinggal tanya ChatGPT!"

Kalimat itu kini terdengar akrab dari mulut anak-anak, bahkan sejak usia sekolah dasar. Apa yang dulu jadi pemicu rasa ingin tahu, diskusi seru di kelas, atau ajang eksplorasi dengan guru, kini terjawab dalam hitungan detik lewat chatbot pintar di layar ponsel.

Tapi, di balik kemudahan itu, ada satu pertanyaan besar yang mungkin belum terpikirkan matang, apakah anak-anak kita masih belajar dan berpikir?

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Psikolog klinis anak Sarah Aurelia Saragih mengamati perubahan besar pada cara anak belajar dan merespons tantangan akademik sejak maraknya penggunaan AI. Anak-anak kini mulai aktif menggunakan kecerdasan buatan sejak usia 8-10 tahun, biasanya untuk mencari hiburan atau menyelesaikan tugas sekolah.

Pada masa remaja awal, yakni kisaran usia 12-14 tahun, AI mulai jadi tempat mereka bertanya soal identitas atau hal-hal pribadi. Dan ketika mereka memasuki remaja akhir, yakni usia 15-18 tahun, peran AI berkembang lebih jauh, menjadi teman curhat emosional, alat bantu pengambilan keputusan, bahkan penunjuk arah mencari makna hidup.

"Secara psikologis, anak SD masih mudah diarahkan. Tapi remaja itu kompleks, mereka kritis, tapi juga rentan terhadap tekanan sosial dan konflik identitas. Saat AI jadi sumber jawaban utama, proses refleksi bisa tersingkir begitu saja," jelas Sarah saat berbincang dengan CNNIndonesia.com, Kamis (17/7).

Mulanya belajar, lama-lama menyontek

AI bukan musuh. Chatbot edukatif bisa jadi alat yang menyenangkan untuk belajar sains atau bahasa. Tapi ketika anak terlalu bergantung pada AI, atau hanya menyalin jawaban dan bukan memahami konsepnya secara mendalam, maka yang terjadi adalah pemutusan jalur berpikir.

Anak tak lagi melatih fungsi kognitif penting seperti refleksi, pemecahan masalah, atau perencanaan.

"Yang berbahaya bukan karena AI bikin anak malas. Tapi karena mereka tak lagi punya kesempatan menggunakan otaknya untuk berpikir mendalam," ujar Sarah.

ilustrasi anak main gadgetIlustrasi. Jalur berpikir anak bisa terputus saat ketergantungan mencari jawaban lewat AI. (istockphoto/ Orbon Alija)

Kondisi ini dikenal sebagai cognitive offloading, di mana otak menyerahkan pekerjaan beratnya pada sistem eksternal. Bahkan, menurut psikolog klinis Arnold Lukito, ada bagian otak yang langsung terdampak saat anak terlalu sering bertanya pada AI.

"Dalam riset neuropsikologi, terlihat adanya penurunan aktivitas pada dorsolateral prefrontal cortex (DLPFC), yakni bagian otak yang bertanggung jawab untuk perencanaan dan pemecahan masalah," ungkap Arnold.

Anak-anak yang terbiasa diberikan jawaban instan secara neurologis jadi penerima pasif informasi tanpa pertanyaan, tanpa pemikiran ulang.

Simak selengkapnya di halaman berikutnya..


Read Entire Article
Perekonomian | Teknologi | Alam | Otomotif | Edukasi | Lifestyle |