Home > Kolom Monday, 28 Jul 2025, 20:00 WIB
Cerita rakyat di laut jadi salah satu daya tarik bagi pelaut.

ShippingCargo.co.id, Jakarta—Selama berabad-abad, folklor maritim lebih sering dianggap sekadar hiasan romantik dalam sejarah pelayaran, sebuah warna-warni eksotis dari masa lalu yang tak lagi relevan. Namun pandangan ini mulai berubah. Di balik kisah eksplorasi Eropa, kemenangan angkatan laut, dan dominasi imperium di samudra, ada cerita yang lebih manusiawi: ketakutan, harapan, dan keyakinan pelaut biasa saat menghadapi kerasnya kehidupan di laut.
Buku terbaru The Perilous Deep: A Supernatural History of the Atlantic menggali dunia imajinatif dan supranatural yang membentuk cara pelaut abad ke-18 dan 19 memaknai lautan. Dari jimat pelindung seperti caul—selaput janin yang dipercaya mampu menyelamatkan dari tenggelam—hingga larangan mengucapkan kata seperti “kelinci” atau bersiul yang dianggap membawa badai, kepercayaan ini mencerminkan betapa laut bukan sekadar ruang kerja, tetapi juga ladang spiritual penuh ketidakpastian.
Tak sedikit yang percaya bahwa tindakan sekecil apapun di atas kapal bisa memicu amarah lautan, per The Conversation. Pelaut tak gentar melawan musuh, namun bisa gentar melihat peti mati, jasad, atau rohaniwan—tanda kematian yang menakutkan dalam dunia mereka yang penuh risiko, laiknya dalam cerita rakyat La Galigo dari Indonesia atau Sinbad (Arab Saudi).
Kisah hantu laut seperti The Flying Dutchman memang sejatinya bukan hanya dongeng seram, tetapi sarana memperingati tragedi, mengingatkan pada keselamatan, dan menjalin solidaritas antar pelaut. Bahkan ketika dunia beralih ke kapal uap dan teknologi mekanis, keyakinan ini tidak punah—mereka bertransformasi, menyertai kapal diesel, bahkan muncul kembali saat perang kapal selam meletus di Perang Dunia I.
Seiring meningkatnya kecemasan global terhadap kerusakan laut dan perubahan iklim, kisah-kisah lama ini tak lagi tampak kuno. Mereka justru mengingatkan bahwa “penguasaan atas lautan” adalah ilusi yang selalu bertentangan dengan kenyataan rapuh kita sebagai manusia. Barangkali, sudah waktunya folklor ini kembali mengemuka—bukan sebagai mitos, tetapi sebagai cermin kegelisahan zaman.