Limbah Kelapa Sawit: Energi Alternatif Masa Depan Indonesia

4 hours ago 1

Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com

Di tengah meningkatnya ketergantungan terhadap impor bahan bakar fosil dan tekanan global untuk menurunkan emisi karbon, Indonesia sesungguhnya memiliki peluang besar yang selama ini terabaikan: limbah cair dari industri kelapa sawit atau POME (palm oil mill effluent).

Limbah ini tersebar luas di hampir 900 pabrik kelapa sawit dari Sumatra hingga Papua, namun sebagian besar dibiarkan menguap menjadi gas metana yang merupakan salah satu gas rumah kaca paling berbahaya.

Sudah saatnya kita memanfaatkan peluang ini. Melalui teknologi fermentasi tanpa oksigen dan pemurnian gas, POME dapat diubah menjadi Bio-CNG, yaitu bahan bakar gas terkompresi berbasis hayati yang ramah lingkungan dan bisa menggantikan solar impor sekaligus menurunkan emisi secara signifikan.

Potensi produksi Bio-CNG dari limbah sawit sangat besar dan terukur. Dari total limbah POME nasional, Indonesia mampu menghasilkan lebih dari 1,5 miliar meter kubik biomethane setiap tahun.

Angka ini setara dengan 1,1 miliar liter solar, atau cukup untuk menutupi hampir enam persen dari total konsumsi solar sektor transportasi kita. Jika limbah tandan kosong turut dimanfaatkan sebagai bahan tambahan, maka kapasitas produksi dapat meningkat hingga 20%.

Secara teknis, prosesnya sederhana. Limbah POME dialirkan ke dalam biodigester untuk difermentasi oleh bakteri. Hasilnya adalah gas metana yang kemudian dimurnikan hingga kadar metananya mencapai lebih dari 95%.

Setelah dikompresi menggunakan tekanan tinggi, gas disimpan dalam tabung dan siap digunakan untuk berbagai keperluan, mulai dari kendaraan logistik, bus kota, hingga pembangkit listrik. Bahkan mesin kendaraan hanya membutuhkan penyesuaian kecil agar kompatibel dengan bahan bakar ini.

Secara ekonomi, proyek Bio-CNG kini semakin layak. Biaya pembangunan pabrik dengan kapasitas menengah sekitar 300 meter kubik per jam kini berada di kisaran US$ 6 juta hingga US$ 7 juta. Dengan harga jual Bio-CNG yang kompetitif, sekitar Rp 300 per megajoule, investasi tersebut dapat kembali dalam jangka waktu lima sampai enam tahun. Dan itu belum termasuk potensi pendapatan tambahan dari pasar kredit karbon.

Beberapa perusahaan besar telah menunjukkan keberhasilannya. Perusahaan APRIL telah memanfaatkan Bio-CNG untuk pembangkit uap, Pertamina Patra Niaga mengoperasikan fasilitas pengisian utama di Kampar, sementara konsorsium PGN dan KIS Biofuels tengah mempersiapkan pengiriman biomethane langsung ke jaringan gas kota Palembang. Model bisnisnya cukup efisien karena tidak memerlukan pembangunan infrastruktur pipa baru; cukup dengan mengantar tabung ke titik serah.

Dampak strategisnya sangat besar. Penangkapan gas metana dari limbah sawit berpotensi menurunkan emisi gas rumah kaca nasional hingga 25 juta ton setara karbon dioksida per tahun. Nilai potensi dari kredit karbonnya bisa mencapai Rp 8 triliun per tahun.

Selain itu, karena Bio-CNG berbasis limbah, penggunaannya tidak bersaing dengan pangan atau oleokimia, berbeda dengan biodiesel. Di sisi lain, harga Bio-CNG relatif stabil karena tidak tergantung pada harga minyak mentah dunia atau fluktuasi nilai tukar.

Namun, beberapa tantangan tetap perlu ditangani. Biaya investasi awal masih tergolong tinggi, terutama bagi petani atau pekebun kecil. Oleh karena itu, dukungan pembiayaan dari Badan Pengelola Dana Perkebunan, insentif pajak, serta pendanaan hijau dari bank pembangunan menjadi sangat penting.

Standar kualitas untuk biomethane juga harus ditegakkan agar aman digunakan dalam kendaraan dan sistem distribusi gas. Dari sisi kebijakan, Indonesia perlu memiliki peta jalan yang jelas. Pemerintah dapat mengeluarkan Peraturan Presiden mengenai rencana pengembangan Bio-CNG secara nasional.

Target yang realistis adalah memproduksi 180 juta meter kubik Bio-CNG pada tahun 2030, cukup untuk menggerakkan 15 ribu bus kota dan 5.000 truk logistik di berbagai wilayah. Insentif bebas bea masuk untuk peralatan utama dan penerapan pajak karbon bertahap dapat mempercepat adopsi teknologi ini.

Di tingkat desa, peluang baru terbuka. Limbah padat hasil pemurnian gas bisa dimanfaatkan sebagai pupuk organik. Jika petani plasma diberikan insentif Rp 200 per kilogram untuk pengolahan POME, mereka tidak hanya mendapatkan pendapatan tambahan tetapi juga turut memperbaiki citra industri sawit. Pekerjaan hijau pun tercipta, mulai dari operator biodigester hingga pengemudi trailer untuk distribusi gas.

Bayangkan bila armada truk logistik di koridor tol laut digerakkan oleh Bio-CNG atau bus Trans Musi di Palembang mengisi bahan bakar dari limbah sawit yang dulunya dibuang begitu saja. Setiap kilometer yang dilalui bukan hanya penghematan devisa, tetapi juga pembuktian bahwa Indonesia bisa mandiri secara energi dengan memanfaatkan potensi yang ada di halaman rumah sendiri.

Bio-CNG bukan sekadar bahan bakar alternatif. Ia adalah jembatan menuju kemandirian energi, kesejahteraan desa, dan keberanian untuk melihat limbah sebagai aset nasional. Sudah saatnya kita bergerak bersama, dari pemerintah hingga petani, agar energi masa depan benar-benar lahir dari keberlanjutan yang kita bangun hari ini.


(miq/miq)

Read Entire Article
Perekonomian | Teknologi | Alam | Otomotif | Edukasi | Lifestyle |