Memperkuat Ekosistem Zakat, Strategi Mewujudkan Kemakmuran Bangsa

1 hour ago 1

Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com

Setiap kali membicarakan zakat, sesungguhnya kita sedang membicarakan potensi besar yang dimiliki bangsa ini untuk mengurangi ketimpangan sosial. Pusat Kajian Strategis BAZNAS mencatat, potensi zakat Indonesia melampaui Rp330 triliun per tahun.

Angka ini begitu besar, bahkan bisa menjadi motor penggerak pemberdayaan ekonomi sekaligus penguatan solidaritas sosial umat. Namun, realitasnya jauh dari harapan. Tiga periode kepemimpinan BAZNAS sejak hadirnya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011 belum menghasilkan lompatan signifikan dalam penghimpunan zakat.

Kesenjangan antara potensi dan realisasi zakat masih menganga lebar. Hal ini tidak hanya mencerminkan persoalan teknis, tetapi juga keterbatasan pola pengelolaan zakat yang cenderung eksklusif.

BAZNAS, yang seharusnya menjadi representasi umat, belum sepenuhnya membuka ruang partisipasi luas bagi berbagai pemangku kepentingan, baik akademisi, ormas Islam, lembaga amil zakat berbasis masyarakat, maupun praktisi profesional. Padahal, sejarah bangsa ini membuktikan bahwa kolaborasi adalah kunci mengatasi tantangan besar. Pandemi Covid-19 beberapa tahun lalu menunjukkan betapa gotong royong mampu menjaga keberlangsungan hidup banyak orang.

Kini, semangat kolaborasi itulah yang perlu dihidupkan kembali dalam pengelolaan zakat. Ada tiga tantangan besar dalam pengelolaan zakat Indonesia. Pertama, literasi zakat masyarakat masih rendah. Banyak umat yang memahami zakat sebatas kewajiban ritual, bukan sebagai instrumen ekonomi dan sosial.

Kedua, lembaga pengelola zakat belum sepenuhnya dipercaya publik. Masih ada keraguan mengenai transparansi dan akuntabilitas. Ketiga, regulasi belum sepenuhnya mencerminkan dinamika sosial budaya umat. Undang-undang memang mengatur kelembagaan, tetapi belum memberi kekuatan regulatif yang mengikat bagi muzakki untuk menunaikan kewajiban zakatnya.

Tiga tantangan ini harus dijawab dengan pendekatan yang menyentuh akar persoalan, yaitu memperkuat kepercayaan, memperluas partisipasi, serta menghadirkan inovasi yang relevan dengan zaman. Di era digital, kepercayaan publik tidak lagi cukup dibangun melalui laporan tahunan yang tebal.

Transparansi harus hadir secara real time, mudah diakses, dan komunikatif. Karena itu, gagasan "Satu Data Zakat Indonesia" penting untuk diwujudkan. Sistem ini akan mengintegrasikan data mustahik, muzakki, program, dan capaian lembaga zakat di seluruh Indonesia. Bukan hanya sebagai bentuk akuntabilitas, tetapi juga sarana edukasi publik.

Bayangkan jika masyarakat dapat melihat langsung bagaimana zakat yang mereka tunaikan mengalir menjadi modal usaha mikro, beasiswa, atau program pertanian cerdas. Bayangkan pula bila informasi itu dapat diakses melalui gawai, sama mudahnya dengan kita mengakses berita hiburan di media sosial. Transparansi semacam ini akan menumbuhkan kepercayaan sekaligus mendorong partisipasi lebih luas.

Zakat bukan hanya soal penghimpunan dana. Lebih dari itu, zakat adalah instrumen sosial untuk membangun ekosistem kebaikan. Sayangnya, selama ini zakat sering dipersepsikan semata-mata sebagai kewajiban individu kepada lembaga. Padahal, potensi kolaborasi sangat besar bila lembaga zakat mau membuka diri.

Ormas Islam, lembaga sosial, perguruan tinggi, dunia usaha, hingga komunitas teknologi memiliki kapasitas masing-masing dalam pemberdayaan masyarakat. Kolaborasi lintas sektor inilah yang perlu dipimpin oleh BAZNAS.

Dengan cara itu, zakat dapat terhubung dengan agenda besar pembangunan nasional, mulai dari pengentasan kemiskinan hingga pencapaian Sustainable Development Goals (SDGs). Lebih jauh, kolaborasi ekosistem zakat ini juga dapat mempercepat tercapainya Astacita, delapan cita pembangunan nasional yang menjadi visi besar pemerintahan saat ini.

Dari peningkatan kualitas manusia Indonesia, penguatan ekonomi yang merata, hingga tata kelola pemerintahan yang bersih semua agenda itu dapat menemukan sokongan riil bila zakat dikelola dengan partisipasi yang luas dan kolaborasi yang produktif. Dengan kata lain, zakat tidak lagi berdiri di pinggir pembangunan nasional, melainkan menjadi salah satu penggerak utamanya.

Satu lagi tantangan yang harus dijawab adalah minimnya inovasi pendayagunaan zakat. Zakat terlalu lama berhenti pada pola konsumtif, membagikan bantuan langsung yang hanya menyelesaikan masalah sesaat. Padahal, umat membutuhkan solusi jangka panjang.

Di sinilah pentingnya menghubungkan zakat dengan inovasi. Dunia pertanian sudah mengenal smart farming. Dunia peternakan punya teknologi breeding untuk meningkatkan produktivitas.

Dunia pendidikan menuntut beasiswa yang tidak hanya menghasilkan sarjana, tetapi juga melahirkan doktor-doktor baru yang mampu menjadi penggerak pembangunan bangsa. Semua inovasi ini bisa terhubung dengan dana zakat, selama ada keberanian untuk membuka ruang dan berjejaring.

Saya yakin, zakat bisa menjadi instrumen penting membangun kemandirian ekonomi umat. Dengan inovasi yang tepat, zakat tidak hanya meringankan beban, tetapi juga menciptakan kemakmuran baru.

Kini saatnya BAZNAS menegaskan diri sebagai lembaga yang profesional, adaptif, sekaligus bersahabat dengan umat. Profesional dalam tata kelola, adaptif dalam menghadapi perkembangan teknologi, dan bersahabat dalam membuka ruang kolaborasi seluas-luasnya.

BAZNAS yang kita butuhkan adalah BAZNAS yang mampu hadir di tengah masyarakat, merangkul ormas, akademisi, dunia usaha, dan komunitas teknologi. BAZNAS yang tidak lagi berjalan sendiri, tetapi memimpin jejaring kebaikan yang luas. BAZNAS yang bukan hanya menyampaikan laporan, tetapi juga membangun narasi kepercayaan.

Harapan masyarakat begitu besar kepada lembaga ini. Mereka ingin melihat zakat menjadi solusi nyata, bukan sekadar jargon. Dan kesempatan itu terbuka lebar saat ini, ketika bangsa ini memilih komisioner baru.

Zakat dapat menjadi energi besar untuk menjawab tantangan bangsa. Kuncinya adalah keberanian untuk berinovasi, ketulusan untuk berkolaborasi, dan komitmen untuk menjaga akuntabilitas. Dengan tiga hal itu, saya yakin BAZNAS dapat memperkecil kesenjangan antara potensi dan realisasi zakat.

Sudah saatnya zakat menjadi instrumen strategis pembangunan nasional. Kini waktunya bagi BAZNAS untuk hadir sebagai lembaga yang produktif, bersahabat, dan dicintai umat. Dan inilah saatnya membangun ekosistem zakat untuk kemakmuran masyarakat Indonesia.


(miq/miq)

Read Entire Article
Perekonomian | Teknologi | Alam | Otomotif | Edukasi | Lifestyle |