Menata Ruang Laut Demi Cerah Masa Depan Bangsa

2 hours ago 3

Indonesia dikenal sebagai negara kepulauan dengan kekayaan yang terbentang tidak hanya di daratan, tetapi juga di lautan.

Dengan 17.380 pulau, wilayah laut seluas 6,4 juta kilometer persegi, serta garis pantai sepanjang 108 ribu kilometer, Indonesia menyimpan harta karun besar di ruang birunya.

Dengan kekayaan dan harta karun besar itu, bayangkan kalau seandainya pemanfaatan laut dan ruangnya tidak ditata.

Sudah pasti ketidakharmonisan, kekacauan karena tumpang tindih akan terjadi.

Direktur Pembinaan Penataan Ruang Laut Kementerian Kelautan dan Perikanan Amehr Hakim mengatakan potensi permasalahan itu bisa muncul dipicu masalah tata ruang laut yang seringkali belum jelas dan tidak dipahami oleh pemangku kepentingan yang memanfaatkan laut.

“Kalau ruang tidak diatur, ditentukan ya tumpang tindih. Ketika itu terjadi berantem terus. Akhirnya karena tidak selesai, semua tidak jalan. Padahal semua sektor ekonomi bagus,” katanya di Surabaya beberapa waktu lalu.

Contoh paling nyata soal ketidakharmonisan ini pernah terjadi di Indonesia. Salah satu contoh nyata terlihat pada kasus pagar laut misterius di Tangerang, Banten yang sempat ramai pada akhir 2024 dan awal 2025 lalu.

Pagar laut membentang sepanjang 30,16 km, mencaplok wilayah pesisir 16 desa di 6 kecamatan di wilayah Tangerang.

Keberadaan pagar laut misterius tersebut sempat mengganggu kehidupan nelayan.

Tercatat 3.888 nelayan dan 502 pembudidaya terdampak keberadaan pagar laut itu.

Imbas pagar laut, nelayan kesulitan mendapatkan tangkapan ikan meski sudah semalaman berlayar di lautan.

Rody (56) misalnya. Nelayan Desa Tanjung Pasir Tangerang menyebut keberadaan pagar laut menghalangi jalur keluar masuk nelayan.

Nelayan hanya diberi akses lewat sekitar 3 meter. Akibatnya tenda kapalnya rusak karena pagar itu.

"Kita minta 10-15 meter tidak diladeni, cuma dikasih 3 meter lebarnya. Kayak kemarin ini kan kapal saya habis tendanya gara-gara pintu terlalu kecil, kesorong ombak, kena ke pagar itu," ujarnya beberapa waktu lalu.

Lantaran akses terhalang dan keluhan tak ditanggapi, ia dan nelayan pun harus berputar jauh baik untuk mencari ikan atau saat hendak membeli udang rebon sebagai umpan pancing.

Akibatnya bisa ditebak. Pengeluaran untuk bahan bakar pun bertambah.

Bila biasanya ia dan teman-temannya hanya butuh 5 liter, terpaksa; karena harus berputar jalur, BBM yang dibutuhkan melonjak jadi 20 liter.

Tak hanya biaya BBM, harga rebon pun ikut melonjak imbas perputaran jalur itu.

"Aturan beli rebon murah, jadi mahal. Rebon buat mancing ikan. Harga rebon biasanya satu kantong plastik Rp35 ribu, bisa Rp70 ribu karena dia ribet nyarinya," kata Rody.

Dan setelah diusut, ternyata pembangunan pagar laut misterius tersebut ilegal dan tak mengantongi Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (KKPRL) yang dikeluarkan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).

Karenanya, KKP bertindak cepat menyegel pagar laut misterius tersebut.

Tak hanya menyegel, mereka juga kemudian membongkar dan menertibkannya.

Dengan melibatkan sejumlah instansi dan partisipasi masyarakat pesisir, pembongkaran dimulai pada Rabu 22 Januari 2025.

Menteri KKP Sakti Wahyu Trenggono menegaskan pembongkaran pagar laut ini menjadi langkah awal untuk mengembalikan fungsi ruang laut yang sempat terganggu akibat keberadaan pagar laut ilegal.

Sebagai bagian dari tindak lanjut atas kasus itu, KKP juga melakukan langkah strategis lain.

Pertama, melakukan investigasi mendalam terhadap pembangunan pagar laut misterius tersebut.

Kedua, KKP juga melakukan konsolidasi dan koordinasi dengan kementerian, lembaga, dan pemerintah daerah (pemda) guna memastikan pengendalian pemanfaatan ruang laut dapat berjalan secara rasional dan mengacu pada aturan hukum yang berlaku.

Tumpang Tindih Bukan Hanya Soal Konflik Sosial

Persoalan tumpang tindih dan ketidakteraturan ruang laut tidak hanya dipicu oleh konflik sosial, tetapi juga ada fenomena alam yang mengubah kondisi fisik dan fungsi ruang, sehingga berdampak serius terhadap kondisi lingkungan pesisir.

Salah satu contoh nyata terlihat di kawasan perairan Morodemak, Jawa Tengah, yang dalam beberapa tahun terakhir menghadapi persoalan sedimentasi berat dan berimbas pada sulitnya kapal nelayan keluar masuk muara, terutama saat air surut.

Fenomena ini dipicu oleh berbagai faktor yang saling berkaitan, mulai dari perubahan tata guna lahan di daratan, aliran sedimen dari daerah aliran sungai (DAS), hingga pemanfaatan ruang pesisir dan laut yang tidak terintegrasi antara darat dan laut.

Tanpa penataan ruang yang terencana dan terintegrasi, masalah lingkungan seperti sedimentasi berpotensi terus berulang dan kian parah.

Kasus Morodemak menjadi alarm bahwa penataan kawasan pesisir yang berkelanjutan bukan hanya soal mengatur lokasi kegiatan ekonomi, tetapi juga memastikan keseimbangan antara fungsi ekologis, sosial, dan ekonomi.

Penataan ruang laut yang baik harus mampu mengendalikan risiko lingkungan, menjaga konektivitas ekosistem pesisir, serta melindungi mata pencaharian masyarakat yang bergantung langsung pada laut.

Pentingnya Menata Ruang Laut

Menata ruang laut tak hanya sekedar membagi wilayah ataupun menyelesaikan konflik yang terjadi di laut namun menjaga kokohnya 3 pilar utama yaitu keseimbangan ekonomi dan ekologi, kepastian hukum serta integrasi darat dan laut.

Menyadari tata kelola laut membutuhkan landasan yang kuat dan terfokus, pemerintah di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto berbenah melakukan transformasi tata ruang laut Indonesia.

Salah satunya dengan menerbitkan Perpres No. 193 Tahun 2024 tentang Kementerian Kelautan dan Perikanan.

Sebagai aturan pelaksana perpres tersebut, Menteri Sakti Wahyu Trenggono pada 10 Februari 2025 menerbitkan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 2 Tahun 2025 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Kelautan dan Perikanan yang mengatur pembentukan Direktorat Jenderal Penataan Ruang Laut (Ditjen PRL).

Ditjen PRL inilah yang kemudian menata ruang laut melalui unsur perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, dan pembinaan.

Perencanaan ruang laut dilakukan agar setiap aktivitas di kawasan pesisir memiliki arah dan tujuan yang jelas sesuai dengan tata ruang dan zonasi. Tujuannya satu; memastikan laut tertata, lestari dan adil bagi semua pihak yang memanfaatkannya.

Nah, untuk menjaga pemanfaatan laut tetap tertib dan berkelanjutan, KKP juga menetapkan syarat dasar; setiap kegiatan yang menetap paling singkat 30 hari di laut wajib memiliki izin dasar bernama Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (KKPRL).

Syarat baru diberlakukan demi memberikan kepastian hukum bagi kegiatan usaha maupun nonusaha agar laut tidak dimanfaatkan secara sembarangan.

Tak hanya itu, pemberlakuan KKPRL diharapkan memperluas penyerapan tenaga kerja, meningkatkan PNBP serta mendorong iklim investasi semakin kondusif, membuat usaha makin berkembang dan kesejahteraan masyarakat pesisir turut meningkat.

Harapan Baru Tata Ruang Laut

Setelah Direktorat Jenderal Penataan Ruang Laut dibentuk, KKP mulai membenahi tata kelola pemanfaatan ruang laut secara menyeluruh.

Sejumlah langkah strategis dibuat.

Sesuai arah dan kebijakan penataan ruang laut, Dirjen Penataan Ruang Laut Kementerian Kelautan dan Perikanan Kartika Listriana pada Rakor Percepatan Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN) menyebut beberapa langkah strategis yang dibuat untuk memperbaiki tata ruang laut.

Salah satunya, menata regulasi dengan melakukan evaluasi dan penetapan peraturan perundangan terkait penataan ruang.

Ada 3 peraturan yang ia singgung.
Pertama, revisi PP Nomor 13 Tahun 2017 tentang RTRWN.
Kedua, Revisi PP 21 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang.
Ketiga, evaluasi peraturan perundangan lainnya.

Kebijakan itu dilakukan untuk memastikan bahwa pemanfaatan wilayah laut dapat berlangsung secara terarah, adil, dan berkelanjutan, mencegah terjadinya konflik pemanfaatan, melindungi ekosistem, mendorong pemanfaatan ekonomi secara berkelanjutan, mengurangi risiko bencana, memberikan kepastian hukum.

Selain penataan regulasi, ia juga menyinggung tentang masalah penyelesaian isu strategis antara lain ketidaksesuaian batas wilayah perencanaan antar daerah, tumpang tindih garis pantai dan ruang pesisir, KKPR dan KKPRL di pulau-pulau kecil, fragmentasi data dan informasi tata ruang, serta ketidaksinkronan kebijakan pusat dan daerah.

Pelayanan Publik untuk Kepastian Usaha

Selain itu, Ditjen PRL juga membuat terobosan pelayanan publik dalam penataan ruang laut.

Terobosan dilakukan melalui Sistem Elektronik Perizinan KKPRL, yang dikenal dengan e-SEA untuk pengajuan permohonan KKPRL Non-Berusaha.

Sedangkan pengajuan permohonan KKPRL Berusaha dilakukan melalui OSS RBA terlebih dahulu.

Dengan sistem ini, setelah permohonan izin pemanfaatan ruang laut diajukan, semuanya akan diproses melalui e-SEA secara lebih efisien, transparan, dan akuntabel.

Pemohon bisa melacak perkembangan proses perizinan dengan mudah karena e-SEA dilengkapi berbagai fitur pendukung seperti pelacakan status (tracking) secara real-time, dashboard analitik untuk visualisasi data permohonan dan nilai PNBP, penggunaan fitur AI dalam verifikasi dokumen, serta modul laporan tahunan bagi pemegang KKPRL.

Baru-baru ini, Ditjen PRL meluncurkan Sistem Informasi Penataan Ruang Laut. Sistem ini bertransformasi menjadi e-SEA 2.0 dari sistem existing E-Sea hadir sebagai platform digital terintegrasi yang menjadi pusat keterpaduan data, analisis dan kebijakan tata ruang laut Indonesia.

Fitur utama yang diunggulkan pada e-SEA 2.0 mencakup banyak hal.

Pertama, integrasi data perencanaan yang bisa menampilkan seluruh produk perencanaan ruang laut dari level pusat (RTRWN, RZ KAW, RTR KSN) hingga provinsi (RTRWP).

Kedua, visualisasi data yang mengembangkan tampilan dua maupun tiga dimensi untuk memudahkan pemahaman data ruang laut.

Ketiga, fitur analisis canggih yang meliputi dukungan sistem pengambilan keputusan (decision-making support system) seperti digital twin untuk simulasi kebijakan dan pengembangan Artificial Intelligence (AI) untuk membantu penggalian informasi.

Keempat, transparansi dan keterbukaan data yang bisa meningkatkan akses informatif terhadap data perencanaan dan pemanfaatan ruang laut.

Sistem ini juga dapat diakses melalui perangkat ponsel pintar, sehingga memungkinkan pejabat terkait melakukan paraf dan pengesahan secara fleksibel kapan saja.

Program Prioritas Pendukung Kebijakan Ekonomi Biru

Ditjen Penataan Ruang Laut juga merancang sejumlah program prioritas untuk mendukung kebijakan ekonomi biru.

Ada 9 program yang dijalankan pada 2025 - 2029.

Pertama, melakukan percepatan legalisasi RTRWN. Integrasi tata ruang darat dan laut ini sangat penting dilakukan karena pengelolaan ruang laut tidak dapat dipisahkan dari ruang darat.

Aktivitas di wilayah pesisir dan laut memiliki keterkaitan langsung dengan pembangunan di daratan. Karena itu UU Cipta Kerja mengamanatkan agar penataan ruang di darat dan di laut dilakukan secara terintegrasi.

Pendekatan ini menekankan pentingnya menjaga konektivitas antar-ruang serta keseimbangan antara kepentingan ekonomi dan kelestarian lingkungan demi terwujudnya pengelolaan kawasan pesisir yang berkelanjutan sehingga pada level daerah, legalitas integrasi tata ruang juga dilaksanakan melalui integrasi RZWP3K (Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil) dengan RTRW Provinsi.

Kedua, Ditjen PRL mengembangkan Kawasan Strategis Nasional (KSN).

Pengembangan dilakukan demi menjaga keseimbangan antara kepentingan ekonomi, ekologi, dan sosial di ruang laut Indonesia.

Dalam program ini, ada sejumlah KSN yang dikembangkan: Sabang, Bitung, Batang, Morotai, Tambak Pantura, penataan DAS, penataan Kawasan Gerbang Kertasusila.

Program lain: menata ruang dan mengalokasikan ruang laut pada Large Scale Marine Protected Areas (MPA), mengembangkan Ocean Monitoring System (OMS) dan efektivitas penataan ruang laut, mempercepat penyelenggaraan KKPRL, melakukan pengendalian pemanfaatan ruang laut, melakukan modeling penataan ruang darat-laut, serta menata dan mengelola kawasan karbon biru.

Nah, berkaitan dengan penataan serta pengelolaan karbon biru, terdapat 18 lokasi indikatif Kawasan Strategis Nasional Tertentu (KSNT) cadangan karbon biru, salah satunya adalah Jawa Tengah.

“Penataan dilakukan di area seluas 24,8 ribu ha. Kawasan memiliki cadangan karbon 2,2 juta ton C, potensi serapan emisi 9,8 juta ton Co2, nilai ekonomi karbon Rp506 miliar per tahun,” kata Kartika.

Keberhasilan Menata Ruang Laut Kurang Dari Setahun

Setelah Ditjen Penataan Ruang Laut terbentuk sejumlah perkembangan penataan ruang laut mulai menunjukkan hasil yang positif.

Perkembangan itu tercermin dari pencapaian sejumlah capaian kinerja utama penataan ruang laut yang disampaikan Kartika pada Selasa (23/12).

Untuk penataan ruang laut yang menjadi kewenangan pemerintah pusat misalnya, realisasinya mencapai 122,23 persen dari target (realisasi 10,38 persen). Sementara, pengaturan zonasi pesisir yang menjadi kewenangan pemerintah daerah juga sudah tercapai 100 persen.

Pencapaian lain, PNBP persetujuan kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang laut (KKPRL) yang disumbangkan kepada negara juga berhasil tembus Rp775,60 miliar per 22 Desember 2025, atau 155,12 persen dari target.

Tak hanya itu, indeks kepatuhan pengendalian pemanfaatan ruang laut juga berhasil mencapai 114,71 persen. Indeks ini mencerminkan bahwa pengendalian dan kepatuhan pemanfaatan ruang laut makin kuat.

Selain itu, Ditjen PRL juga berhasil meningkatkan efektifitas penyelenggaraan ruang laut. Ini tercermin dari nilai efektifitas yang tercapai 100 persen.

Ditjen PRL juga berhasil melaksanakan penilaian pelaksanaan KKPRL terhadap 138 subjek hukum.

Hasil penilaian, tingkat kepatuhan menunjukkan 51 persen taat, 36 persen taat dengan catatan, dan 13 persen tidak taat.

Sementara terkait pelaporan tahunan KKPRL melalui sistem e-SEA juga terus meningkat dengan 2.008 laporan masuk dan 2.008 laporan telah dinilai hingga pertengahan Desember 2025.

Dalam rangka pengendalian, Ditjen PRL juga telah mengidentifikasi pemanfaatan ruang laut di 10 provinsi terhadap 4.517 objek dengan luasan sekitar 4.322 hektare.

Ditjen PRL juga berhasil menangani 12 kasus sengketa pemanfaatan ruang laut.

Dari sisi penataan ruang, Ditjen PRL juga telah melakukan penilaian perwujudan RTR dan RZ di 10 lokasi, serta pemberian insentif kepada 71 subjek hukum sebagai bagian dari penghargaan dalam penegakan kepatuhan.

Berkaitan dengan Rencana Zonasi Kawasan Strategis Nasional (KSN), Ditjen PRL telah mendorong penetapan sejumlah KSN melalui perpres, meliputi Kedungsepur, IKN, Gerbangkertosusila, Raja Ampat, dan Banjarbakula.

Selain itu, terdapat KSN yang sedang dalam tahap integrasi, seperti Jabodetabekpunjur, Selat Sunda, Seram, hingga KPN di Kalimantan dan NTT.

“Pada tahun 2025, capaian utama meliputi pembaharuan dokumen KPN Aceh dan KSN Selat Sunda, serta tindak lanjut rencana zonasi pada KSN strategis seperti Maminasata, Batam–Bintan–Karimun, Taman Nasional Ujung Kulon, dan Teluk Bintuni,” kata Kartika.

Meski sudah melakukan perbaikan dalam penataan ruang laut, Ditjen Penataan Ruang Laut tak lekas berpuas diri. Masih banyak pekerjaan dan tantangan yang perlu diselesaikan.

Kartika mengatakan pihaknya akan terus berupaya semaksimal mungkin membangun dan mengedepankan penataan ruang laut secara inklusif.

“Inklusif ini artinya ke depan kami ingin narasi-narasi yang dibangun di ruang pembangunan pesisir dan laut itu, harus mempengaruhi kepentingan masyarakat. Kepentingan masyarakat harus menjadi prioritas. Jadi tidak hanya kepentingan-kepentingan secara eksklusif, tapi juga harus akomodir kebutuhan masyarakat,” katanya.

Selain itu, pihaknya juga akan berupaya untuk menjaga keberlanjutan pemanfaatan laut dengan secara tegas menjaga pengendalian penggunaannya.

Keberlanjutan dan ketegasan itu akan dilakukan dengan terus memantau secara ketat penggunaan izin pemanfaatan ruang laut yang sudah dikeluarkan.

“Izin-izin yang kita keluarkan itu harus kita pantau, tidak boleh mengganggu biodiversity, ekosistem pesisir maupun laut,” katanya.

Bersama sejumlah pemangku kepentingan, Kartika akan mendorong kolaborasi secara intensif untuk mengatasi degradasi laut yang sudah terjadi.

“Selain inklusivitas, sustainabilitas yang pasti kolaborasi, itu akan kita kembangkan. Jadi kita tidak berdiri sendiri, tetapi kita akan kolaborasi dengan seluruh stakeholder, penta helix ya paling tidak. Jadi pemerintah harus bekerja sama dengan private, kemudian harus juga mengedepankan sains, teknologi dengan universitas. Kita juga melibatkan lembaga-lembaga nonpemerintah dan juga kita tentunya harus mendukung dan juga melibatkan masyarakat untuk terlibat dalam konteks penataan ruang laut menjadi perencanaan sampai pada pemanfaatan,” tutupnya.

Read Entire Article
Perekonomian | Teknologi | Alam | Otomotif | Edukasi | Lifestyle |