PLTS 100 GW Dinilai Bisa Jadi Kuda Hitam Transisi Energi Indonesia

7 hours ago 2

Jakarta, CNN Indonesia --

Pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) berkapasitas 100 gigawatt (GW) dinilai bisa menjadi "kuda hitam" dalam mempercepat transisi energi Indonesia menuju target Indonesia Emas 2045.

Hal ini mengemuka dalam forum Indonesia Energy Transition Dialogue (IETD) 2025, yang diselenggarakan oleh Institute for Essential Services Reform (IESR) dan Indonesia Clean Energy Forum (ICEF) di Jakarta.

Anggota ICEF Sripeni Inten Cahyani mengatakan, Indonesia menghadapi tiga tantangan besar dalam mewujudkan transisi energi yang adil dan berkelanjutan.
Pertama, meningkatnya ketegangan geopolitik dan melemahnya kerja sama global.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Ia mengutip pandangan Presiden ke-6 Republik Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono, yang menilai para pemimpin dunia kini cenderung lebih fokus pada kepentingan nasional, sehingga kerja sama global dalam isu energi dan iklim menjadi semakin sulit terwujud.

"Padahal, kita semua hidup di satu bumi yang sama dan harus bersama menjaga komitmen terhadap Persetujuan Paris," ujar Sripeni.

Tantangan kedua, lanjutnya, subsidi energi yang belum tepat sasaran. Saat ini, sebagian besar subsidi masih dialirkan untuk energi fosil, sementara energi terbarukan belum mendapat dukungan optimal agar bisa lebih kompetitif dan terjangkau.

Selanjutnya, rantai pasok industri energi bersih nasional yang masih lemah. Penguatan rantai pasok dapat menjadi mesin pertumbuhan ekonomi baru yang sejalan dengan visi pemerintah mencapai Indonesia Emas 2045 dan keluar dari middle-income trap.

Untuk menyelesaikan hambatan ini, ICEF dan Institute for Essential Services Reform (IESR) merekomendasikan tiga strategi utama yang dapat dicapai dalam dua tahun ini.

Pertama, pelaksanaan program PLTS Desa 100 GW. Program ini dapat menjadi kuda hitam atau game changer bagi transisi energi Indonesia. Adapun syarat yang dibutuhkan di antaranya terdapat dasar hukum yang mengikat, kejelasan lembaga pelaksana, serta mekanisme pelaksanaan yang transparan, termasuk peran Koperasi Merah Putih.

Kedua, penambahan kuota PLTS atap. Meningkatnya minat masyarakat terhadap PLTS atap perlu diimbangi dengan evaluasi sistem kelistrikan PLN agar keandalan jaringan tetap terjaga. Selain itu, diperlukan mekanisme pembagian risiko (risk sharing) antara pemerintah, PLN, dan pelaku usaha.

Ketiga, mendorong proyek percontohan untuk mekanisme penukaran energi (swap) atau Penggunaan Bersama Jaringan Transmisi (PBJT) yang telah diatur dalam PP No. 40/2025 dan Permen ESDM No. 11/2021.

Inisiatif ini ditujukan bagi industri yang ingin menggunakan energi bersih untuk meningkatkan daya saing di pasar global.

Untuk mendukung strategi utama tersebut, ICEF dan IESR merekomendasikan enam faktor pendukung yang perlu dibangun dalam empat tahun ke depan.

Pertama, edukasi dan partisipasi publik agar masyarakat memahami dan menerima transisi energi. Kedua, dukungan regulasi yang membuat proyek energi terbarukan layak dan bankable. Insentif dan subsidi perlu dialihkan dari energi fosil menuju energi terbarukan agar menarik investasi.

Ketiga, penyelarasan instrumen keuangan dan pasar karbon. Integrasi antara kebijakan keuangan dan kebijakan teknis diperlukan untuk membuat proyek energi terbarukan lebih menarik secara ekonomi.

Keempat, penguatan sistem kelistrikan dan penyesuaian kontrak pembelian listrik (Purchase Power Agreement, PPA) diperlukan untuk memastikan keandalan, termasuk penerapan teknologi smart grid.

Kelima, pengembangan kompetensi hijau seperti pendidikan dan pelatihan untuk mempersiapkan SDM menghadapi kebutuhan teknologi baru dan pekerjaan hijau.

Keenam, penciptaan ekosistem hidrogen hijau dengan memperhatikan tiga faktor penentu keberhasilan, yakni harga energi yang kompetitif, efisiensi teknologi, dan kesiapan infrastruktur rantai pasok.

Sripeni menegaskan agar transisi energi memberi dampak positif bagi masyarakat maka diperlukan kepemimpinan nasional yang memiliki komitmen, konsistensi, dan kontinuitas kebijakan.

Chief Executive Officer (CEO) IESR, Fabby Tumiwa meyakini bahwa transisi energi dapat menjadi mesin pertumbuhan ekonomi baru, asalkan diiringi dengan tindakan konkret dan koordinasi lintas sektor yang kuat.

"Masih ada pekerjaan rumah (PR) besar. Yang pertama adalah target yang belum sinkron antara satu perangkat kebijakan dengan perangkat kebijakan lainnya. Masing-masing kementerian, lembaga, dan sektor masih memiliki target tersendiri," ungkap Fabby.

Ia juga menekankan pentingnya memperjelas kelembagaan yang mengawal arah transisi energi nasional secara terintegrasi agar kebijakan berjalan lebih efektif.

Sejak pertama kali digelar pada 2018, IETD menjadi forum tahunan yang membahas isu strategis transisi energi nasional.

Tahun ini, IETD 2025 berlangsung pada 6-8 Oktober 2025, diselenggarakan oleh Institute for Essential Services Reform (IESR) dan Indonesia Clean Energy Forum (ICEF) dengan dukungan British Embassy Jakarta melalui proyek Green Energy Transition Indonesia (GETI).

(ory/ory)

[Gambas:Video CNN]

Read Entire Article
Perekonomian | Teknologi | Alam | Otomotif | Edukasi | Lifestyle |