salsa
Gaya Hidup | 2025-12-09 17:08:25
Ilustrasi hustle culture. Foto: www.pinterest.com
Saat ini, produktivitas sering dijadikan ukuran utama nilai diri. Apalagi di media sosial saat ini dengan adanya budaya yang menuntut seseorang untuk terus bekerja dan menunjukkan diri selalu punya aktivitas. Tren tersebut semakin kuat, terutama bagi Gen Z yang tumbuh bersama ruang digital dan tekanan untuk selalu terlihat “on”.
Bagi Gen Z yang tumbuh di tengah dunia digital dan tuntutan untuk selalu hadir, aktivitas yang ditampilkan di media sosial membuat batas antara pekerjaan dan kehidupan pribadi membuat banyak anak muda terjebak dalam pola hidup yang melelahkan. Akibatnya, hustle culture tidak lagi sekedar gaya hidup, tetapi menjadi faktor nyata yang mendorong munculnya burnout dan ketidakseimbangan hidup pada Gen Z saat ini.
Ilustrasi hustle culture. Foto: www.pinterest.com
Tekanan seperti itulah yang akhirnya membuat banyak Gen Z terjebak dalam pola hidup yang serba buru-buru dan melelahkan. Akhirnya, banyak Gen z yang memaksa diri untuk terus sibuk, meski sebenarnya mereka sudah kelelahan, baik secara fisik maupun mental. Mereka mengejar standar produktivitas yang tidak ada habisnya sehingga hidup terasa seperti lomba yang tidak pernah selesai. Namun apa gunanya jika pada akhirnya justru yang hilang adalah kesehatan mereka sendiri?
Produktivitas dalam Hustle Culture
Justru di sinilah akar masalah hustle culture terlihat jelas, standar produktivitas yang dipaksakan membuat banyak anak muda kehilangan kendali atas hidupnya sendiri. Ketika pencapaian dijadikan ukuran utama nilai diri, istirahat dianggap sebagai hambatan, bukan kebutuhan. Akibatnya, Gen Z semakin jauh dari kehidupan yang seimbang dan malah terjebak dalam siklus lelah, cemas, dan merasa selalu kurang meski mereka sudah berusaha sekuat mungkin. Bahkan bisa menyebabkan burnout.
Bahkan dari beberapa penelitian juga mengakui bahwa ketidakseimbangan antara pekerjaan dan kehidupan pribadi bisa mengakibatkan stres, kelelahan, dan bahkan burnout. Jika kondisi seperti ini terus dibiarkan, produktivitas yang tadinya ingin dicapai justru menurun, kesehatan mental ikut terganggu, dan seseorang jadi kehilangan semangat untuk bekerja.
Hal ini terutama dirasakan oleh Gen Z yang setiap hari harus menghadapi tekanan untuk selalu terlihat “wah” di mata orang lain, seolah hidup mereka harus terus penuh pencapaian agar dianggap berhasil. Padahal, standar seperti itu tidak hanya melelahkan, tetapi juga menciptakan tekanan baru yang membuat mereka semakin dekat dengan risiko burnout dan kehilangan keseimbangan hidup.
Ilustrasi Produktivitas dalam hustle culture. Foto: www.pinterest.com
Studi kasus dari media sosial
Tekanan ini juga semakin kuat ketika media sosial menampilkan konten gaya hidup “super produktif” sebagai sesuatu yang ideal. Melalui video-video seperti “daily routine mulai jam 5 pagi” atau “cara biar hidupmu selalu produktif”, banyak kreator tanpa sadar membangun standar yang sulit dicapai oleh sebagian besar anak muda. Gen Z yang menonton merasa harus mengikuti ritme serupa agar tidak tertinggal. Mereka membandingkan hidupnya dengan highlight orang lain, padahal apa yang terlihat dikonten tersebut hanyalah potongan terbaik dari kehidupan seseorang.
Perspektif Sosiologi Kesehatan
Jika dilihat dari sudut pandang sosiologi kesehatan, kondisi ini menunjukkan bahwa kesehatan kita bukan cuma dipengaruhi oleh hal-hal fisik, tapi juga oleh tekanan sosial yang muncul dari budaya digital. Dorongan untuk selalu produktif yang banyak terlihat di media sosial membuat lingkungan yang bisa memicu stres bersama, terutama bagi Gen Z yang sedang mencari jati diri dan pengakuan. Tekanan sosial seperti ini akhirnya berdampak pada kondisi mental mereka. Jadi, hustle culture di media sosial bukan sekadar tren, tapi faktor sosial yang bisa mengganggu kesehatan anak muda.
Pada akhirnya, fenomena hustle culture menunjukkan bahwa dorongan untuk terus produktif tidak selalu sejalan dengan kesehatan dan kesejahteraan. Gen Z yang hidup dekat dengan dunia digital sering kali terjebak dalam standar yang tidak realistis dan penuh tekanan. Karena itu, penting bagi kita semua, baik individu, komunitas, maupun platform digital untuk lebih sadar dan bijak dalam membangun budaya yang memberi ruang bagi istirahat, keseimbangan, dan kesehatan mental. Dengan memahami batas diri dan memprioritaskan kesehatan, generasi muda dapat menciptakan pola hidup yang lebih sehat tanpa harus kehilangan makna atau pencapaian.
Referensi
PENGARUH WORK-LIFE BALANCE DAN KEPUASAN KERJA TERHADAP KINERJA KARYAWAN GEN Z. (2024). Jurnal Media Akademik (JMA), 2(12). https://doi.org/10.62281/v2i12.1346
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

1 hour ago
1
















































