Jakarta, CNN Indonesia --
Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa mengaku masih berhitung matang sebelum memutuskan untuk menurunkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari level 11 persen yang berlaku saat ini.
Meski wacana penurunan sempat muncul dari sejumlah pihak, Purbaya menilai langkah tersebut harus dilandasi perhitungan fiskal yang sangat hati-hati, terutama terkait potensi hilangnya penerimaan negara.
"Jadi gini, kan kemarin diusulkan naik 12 persen, akhirnya cuma naiknya ke 11 persen. Orang usulin lagi, jangan ke 11 (persen) lah, coba turunin ke 9 atau 8 persen. Waktu di luar, saya enaknya juga ngomong gitu, 'ya turunin ke 8 persen'," kata Purbaya dalam acara Sarasehan 100 Ekonom Indonesia di Menara Bank Mega, Jakarta Selatan, Selasa (28/10).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Namun setelah menjabat sebagai Bendahara Negara, Purbaya menyadari bahwa keputusan menurunkan tarif pajak bukanlah perkara sederhana.
Setiap penurunan tarif sekecil apa pun, kata dia, memiliki konsekuensi langsung terhadap penerimaan negara. Berdasarkan hitungannya, setiap penurunan 1 persen tarif PPN bisa membuat negara kehilangan pendapatan sekitar Rp70 triliun dalam setahun.
Menurutnya, angka sebesar itu tentu tidak bisa diabaikan begitu saja, karena akan memengaruhi ruang fiskal pemerintah dalam membiayai program prioritas. Oleh sebab itu, Purbaya menegaskan perlu waktu untuk menghitung secara cermat dampak fiskal maupun potensi pertumbuhan ekonomi jika tarif PPN benar-benar diturunkan.
"Jadi kita pikir-pikir. Gini deh, saya hitung dulu sebetulnya kemampuan kita yang mengumpulkan tax sama cukai seperti apa sih kalau sistemnya diperbaiki. Saya akan perbaiki sekarang sampai dua triwulan ke depan, mungkin akhir triwulan pertama saya sudah lihat. Dari situ saya bisa ukur sebetulnya potensi saya berapa yang real, nanti kalau saya turunkan, kurangnya berapa, dampak pertumbuhan ekonominya berapa," ujarnya.
Purbaya menambahkan evaluasi terhadap sistem perpajakan sedang berjalan, dan ia baru akan mengambil keputusan setelah memiliki gambaran yang utuh mengenai efektivitas pengumpulan pajak nasional.
Ia juga tak ingin langkah penyesuaian tarif justru memperlebar defisit anggaran di atas 3 persen dari PDB, yang bisa berdampak pada stabilitas fiskal.
"Tapi itu sudah di atas kertas, sudah direncanakan, tapi saya harus hati-hati karena saya belum tahu, saya kan baru sebulan ya, dua bulan juga belum (menjabat). Sampai akhir tahun berapa sih kemampuan tax collection kita yang betul dengan perbaikan sistem. Nanti saya hitung semuanya," tutur dia.
"Jadi walaupun saya sembarangan kayak koboi, enggak, saya pelit dan hati-hati. Kalau jeblok nanti di atas 3 persen defisit saya," ujarnya sambil berkelakar.
Purbaya menutup penjelasannya dengan nada ringan, menepis anggapan bahwa dirinya sering bersikap spontan dalam membuat kebijakan.
"Nanti lu ledekin saya lagi, 'enggak hati-hati', padahal sudah kita hitung. Jadi walaupun saya katanya konyol, enggak konyol-konyol amat," katanya.
Sebelumnya, tarif PPN sempat direncanakan naik menjadi 12 persen pada 2025 sesuai Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP).
Namun, Presiden Prabowo Subianto membatalkan kenaikan tersebut dan memutuskan hanya memberlakukan tarif 12 persen untuk barang-barang mewah, sedangkan tarif umum tetap di 11 persen.
Kebijakan tersebut kini diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 11 Tahun 2025 yang menetapkan dasar pengenaan pajak (DPP) sebesar 11/12, sementara ketentuan PPN 12 persen untuk barang mewah diatur dalam PMK Nomor 131 Tahun 2024 yang berlaku mulai 1 Januari 2025.
(del/agt)

4 hours ago
1

















































