Jakarta, CNBC Indonesia - Di tengah perhatian global yang sedang terpusat pada konflik Iran-Israel, Presiden Rusia Vladimir Putin diam-diam memanfaatkan celah geopolitik ini untuk memperkuat cengkeramannya atas Ukraina.
Laporan medan perang menunjukkan Rusia telah merebut wilayah baru di Ukraina tengah dan meningkatkan konsentrasi pasukan di dekat Sumy, timur laut Ukraina.
Menurut analisis AFP yang mengutip data Institut Studi Perang, pasukan Rusia merebut lebih banyak wilayah sepanjang Juni dibanding bulan-bulan sebelumnya sejak November lalu. Di saat bersamaan, Ukraina menghadapi salah satu serangan udara terbesar sejak awal invasi pada Februari 2022.
"Putin mungkin melihat perhatian AS yang teralihkan ke Timur Tengah sebagai peluang untuk memperkuat posisi tawar," ujar Amos Fox, pensiunan kolonel Angkatan Darat AS dan peneliti di Arizona State University, seperti dikutip dari Newsweek, Jumat (4/7/2025).
"Ia bisa jadi sedang mengamankan wilayah-wilayah strategis untuk dijadikan alat tawar dalam negosiasi damai mendatang," katanya.
Meski kemajuan Rusia terkesan lambat, namun konsisten. Rencana damai Kremlin yang diumumkan tahun lalu masih belum berubah: Ukraina diminta menyerahkan wilayah-wilayah yang telah dianeksasi seperti Donetsk, Kherson, Luhansk, Zaporizhzhia, serta Krimea.
Selain itu, Kyiv juga diharuskan membatalkan ambisi bergabung dengan NATO.
Juru bicara Kremlin Dmitry Peskov menegaskan bahwa Moskow tetap berkomitmen terhadap tujuan tersebut. "Kami terbuka untuk solusi diplomatik, tapi tidak akan mengubah target inti kami," kata Peskov dalam pernyataan tertulis.
Analis menduga, dengan adanya usulan dari Presiden AS Donald Trump untuk membekukan garis depan sebagai dasar negosiasi, Moskow sedang mencoba memperluas kendali sebelum kesepakatan damai diraih.
"Putin tampaknya ingin menambah wilayah yang nanti bisa dia tukar atau pertahankan dalam perundingan," tambah Fox.
Menurut Frederick Kagan dari American Enterprise Institute, kendati Rusia terus bergerak maju, kapasitasnya sangat terbatas.
"Mereka bergerak hanya beberapa mil per minggu karena kekurangan kendaraan lapis baja dan serangan drone Ukraina," ujarnya. "Dengan kecepatan seperti itu, butuh seabad bagi Rusia untuk menaklukkan seluruh Ukraina."
Namun Kagan juga memperingatkan bahwa Putin memiliki strategi jangka panjang, yakni mempertahankan tekanan sampai dukungan Barat terhadap Ukraina melemah.
"Jika Ukraina runtuh secara perlahan, maka dia akan menang, tidak peduli berapa lama itu memakan waktu," katanya.
Sementara itu, koneksi antara konflik di Ukraina dan Timur Tengah makin nyata. Rusia memperkuat aliansinya dengan Iran, mitra utama dalam hal drone kamikaze Shahed yang digunakan dalam serangan terhadap Ukraina.
Ketegangan di Iran pun berdampak langsung pada bantuan militer ke Ukraina. Pentagon bahkan mengalihkan sebagian sistem anti-drone dari Ukraina ke Timur Tengah untuk mengantisipasi eskalasi.
"Kami mengutamakan kepentingan strategis AS secara menyeluruh," ujar juru bicara Gedung Putih Anna Kelly kepada The Associated Press. "Kekuatan militer AS tetap tidak tertandingi, tanyakan saja pada Iran."
(luc/luc)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Putin Menang Lagi di Ukraina, Zelensky Ngamuk Bom Minyak Rusia