Gubernur Jawa Barat (Jabar) Dedi Mulyadi.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) memprotes Gubernur Jawa Barat Kang Dedi Mulyadi (KDM) yang menerbitkan peraturan mengenai Pencegahan Anak Putus Sekolah. Salah satu isi aturan itu menyebutkan satu kelas dapat diisi oleh 50 siswa.
Kepala Bidang Advokasi P2G, Iman Zanatul Haeri menegaskan, tidak semua anak putus sekolah disebabkan karena tidak tertampung di sekolah negeri. Iman meminta KDM memperhatikan anak-anak putus sekolah yang memang punya pilihan lain seperti pernikahan dini, anak berkonflik dengan hukum, menjadi pekerja anak, faktor kemiskinan, dan lainnya.
"P2G kasih usul konkret, agar KDM mempertimbangkan anak putus sekolah untuk dimasukkan ke madrasah negeri dan swasta, ke pendidikan non formal atau sekolah rakyat, yang semuanya juga full dibiayai negara," kata Iman kepada Republika, Rabu (16/7/2025).
Iman mencontohkan, jika anak putus sekolah itu termasuk miskin ekstrem desil 1 dan desil 2, bisa dipertimbangkan agar anak tersebut masuk sekolah rakyat yang dikelola oleh Kementerian Sosial. Dengan demikian ada kesinambungan antara program pemerintah pusat dan pemerintah daerah.
Kemudian, Iman meminta KDM mengharmonisasikan kebijakannya dengan kebijakan pendidikan pemerintah pusat. "Sangat disayangkan jika kedua program dengan tujuan mulia, berjalan sendiri-sendiri, atau malah tumpang tindih," ujar Iman.
Iman menilai, selama beberapa bulan menjabat banyak kebijakan KDM yang tidak bersinergi dengan Kemendikdasmen, seperti mengirim anak nakal ke barak tentara. Ini diperparah dengan menampung 50 murid dalam satu kelas di SMA/SMK. "Ini yang jelas-jelas melawan Permendikbudristek Standar Pengelolaan," ujar Iman.
Oleh karena itu, Iman mendorong KDM menambah ruang kelas atau rombongan belajar di SMA/SMK ketimbang menambah siswa dalam satu kelas. "Pemprov bisa juga membangun Unit Sekolah Baru (USB), namun dengan syarat mutlak yaitu tetap mempertimbangkan eksistensi, sebaran, dan keberlanjutan sekolah swasta di sekitar," ujar Iman.