
Oleh : AGUS YASIN, Alumni dan Dosen Universitas Darussalam Gontor
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Seratus tahun bukanlah sekadar deretan angka. Ia adalah rentang doa yang tak pernah putus mengalun, ikhtiar tanpa lelah yang diwariskan lintas generasi, dan perjalanan ilmu yang tak pernah berhenti bergerak.
Ketika kita menyebut satu abad Pondok Modern Darussalam Gontor, kita tidak sedang mengenang bangunan fisik atau gedung megah, melainkan sebuah peradaban hidup. Peradaban ini tumbuh dari kesunyian desa yang jauh dari hiruk-pikuk kota, namun justru berhasil menyinari dunia pendidikan Islam di seluruh Nusantara, bahkan global.
Gontor yang sempat 'berhenti' karena ditinggal wafat KH Santoso Anom Besari, kemudian diaktifkan kembali oleh Trimurti: KH Ahmad Sahal, KH Zainuddin Fananie, dan KH Imam Zarkasyi. Mereka teguh meyakini satu hal: umat harus bangkit melalui pendidikan yang berkualitas. Berbekal gagasan modern, sistem disiplin yang ketat, penguasaan bahasa internasional sebagai strategi kultural, dan model kemandirian melalui wakaf produktif, Gontor menjadi bukti nyata.
Pesantren ini menunjukkan bahwa lembaga pendidikan Islam tak harus selalu berkubang pada romantisme masa lalu, tetapi justru dapat menjadi lokomotif perubahan zaman.
Sebagai alumni dan bagian dari keluarga besar Universitas Darussalam (UNIDA) Gontor, saya meyakini bahwa Gontor tidak dilahirkan sekadar untuk menjadi sebuah institusi pendidikan biasa. Ia lahir untuk menjadi sebuah ide. Ide tentang kemerdekaan berpikir, keikhlasan dalam berjuang tanpa pamrih, dan kemandirian dalam menjalani hidup yang penuh tantangan.
Jejak Peradaban: Kilas Balik Seratus Tahun Perjalanan
Perjalanan panjang Gontor dalam satu abad dapat kita lihat dan pahami melalui tiga fase utama yang saling terjalin dan menguatkan:
Fase Perintisan: Mencetak Umat Berkarakter
Pada masa awal abad ke-20, ketika pendidikan Islam di banyak tempat masih berjalan dalam pola pengajaran tradisional yang statis, Gontor melakukan sebuah lompatan visi yang berani. Di tangan dingin Trimurti, pesantren ini membangun atmosfer baru dalam pendidikan Islam.
Disiplin dijadikan fondasi utama pembentukan jiwa dan karakter santri. Sistem kelas diterapkan sebagai metode transfer ilmu yang terukur dan efektif. Kurikulum dirancang sedemikian rupa agar lulusannya menjadi manusia yang berdaya guna bagi umat dan bangsa.
Penguasaan dua bahasa penting: Arab dan Inggris, bukan hanya dipandang sebagai kemampuan komunikatif belaka, tetapi sebagai strategi kultural agar umat Islam mampu berdiri sejajar dengan bangsa-bangsa lain dalam percaturan global. Pada fase inilah, motto keramat Pondok Gontor: berbudi tinggi, berbadan sehat, berpengetahuan luas, dan berpikiran bebas, serta Panca Jiwa, keikhlasan, kesederhanaan, berdikari, ukhuwwah islamiah, dan kebebasan, mulai menemukan bentuknya yang nyata dalam kehidupan pesantren sehari-hari.
Nilai-nilai itu tidak berhenti sebagai semboyan di dinding, tetapi menjelma menjadi etos pendidikan yang membentuk karakter santri dari bangun pagi hingga tidur kembali. Pesantren yang berdiri di atas tanah wakaf ini membuktikan bahwa keterbatasan sumber daya bukanlah alasan untuk miskin gagasan; justru dari kesederhanaan itulah lahir keberanian untuk merumuskan sistem pendidikan Islam yang modern, mandiri, dan kontributif bagi bangsa.
Fase Ekspansi Keilmuan dan Kaderisasi
Memasuki paruh akhir abad ke-20, Gontor mulai melampaui batas geografisnya yang semula hanya di Ponorogo. Ia tidak lagi dikenal sebagai pesantren lokal, melainkan sebagai pusat kaderisasi nasional yang strategis. Para santri datang dari berbagai daerah di Nusantara, bahkan dari luar negeri, membawa keberagaman latar budaya yang kemudian dibentuk dalam satu visi tunggal: pengabdian total kepada umat melalui ilmu pengetahuan dan kepemimpinan.
Di fase ini, Gontor berhasil melahirkan tokoh-tokoh bangsa—akademisi, diplomat, ulama, organisatoris ulung, pelopor lembaga pendidikan baru, hingga pemimpin masyarakat di berbagai lini.
Pola pengkaderan tidak hanya terjadi di dalam kelas formal, tetapi meresap dalam setiap aktivitas harian: latihan berpidato di podium, kepemimpinan organisasi santri, disiplin berjamaah lima waktu, hingga budaya membaca dan menulis yang kuat. Gontor membuktikan bahwa pesantren tidak hanya mencetak ahli ibadah semata, tetapi juga arsitek peradaban.
Alumni mereka hadir di ruang-ruang strategis umat: kementerian, kampus Islam, sekolah tinggi bahasa Arab, lembaga zakat, lembaga fatwa, hingga forum dialog antaragama, membawa etos Gontor ke mana pun mereka melangkah.

2 hours ago
1
















































