Tumpukan uang hasil penyitaan tindak pidana korupsi dalam pemberian fasilitas crude palm oil (CPO) dan turunannya diperlihatkan saat konferensi pers di Gedung Bundar Jampidus Kejaksaaan Agung, Jakarta, Rabu (2/7/2025). Kejagung menyita Rp1,37 triliun lebih yang merupakan penyerahan dari dua terdakwa korporasi yaitu Musim Mas Group dan Permata Hijau Group terkait kasus korupsi ekspor CPO.
Oleh : DR Otong Sulaeman, Ketua/Rektor STAI Sadra periode 2024-2028,
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA- Dalam salah satu pidatonya yang belakangan viral, Presiden Prabowo Subianto menciptakan istilah baru yang langsung menggelitik ruang publik: serakahnomics.
Dia menyindir secara tajam praktik ekonomi segelintir elite kaya yang terus menumpuk kekayaan meski sudah berkelimpahan, dan menyebut bahwa keserakahan ini adalah musuh baru bangsa.
Presiden mengajak agar ekonomi nasional kembali berpihak kepada rakyat kecil, bukan dikuasai segelintir orang yang tak pernah kenyang. Pidato tersebut menjadi semacam seruan moral di tengah suasana keprihatinan akan ketimpangan ekonomi yang kian melebar.
Namun menarik untuk mencermati bahwa ucapan tersebut bukan hanya statemen moral sesaat, melainkan menggugah kembali satu perdebatan lama tentang sistem ekonomi macam apa yang ingin kita bangun?
Apakah ekonomi yang didasarkan pada prinsip keserakahan yang dilegalkan—seperti homo economicus dalam tradisi liberalisme—atau ekonomi yang bertumpu pada keadilan sosial sebagaimana diperjuangkan oleh tokoh-tokoh sosialis Indonesia pada era awal Republik?
Model homo economicus adalah warisan pemikiran ekonomi Barat yang menggambarkan manusia sebagai makhluk rasional yang bertindak untuk memaksimalkan keuntungan pribadinya.
Segala sesuatu yang dilakukan manusia diasumsikan sebagai hasil perhitungan untung-rugi secara individual. Etika, tanggung jawab sosial, bahkan spiritualitas, dipinggirkan dari kalkulasi ini.
Dalam sistem kapitalisme modern, pandangan ini menjadi fondasi yang membenarkan praktik akumulasi kekayaan tanpa batas.
BACA JUGA: Presiden Pezeshkian Blak-blakan: Iran Siap Serang Israel, Penghentian Nuklir Ilusi Belaka
Tak heran jika kita menyaksikan fenomena rakus yang dilembagakan. Banyak pengusaha Indonesia menguasai berbagai sektor strategis, dari tambang, lahan, hingga distribusi pangan, sembari tetap menghindari pajak dan membayar pekerja dengan upah minimum.
Mereka disebut sukses bukan karena memberi manfaat, tapi karena berhasil menumpuk lebih banyak daripada pesaing. Inilah wajah dari apa yang Prabowo sebut sebagai serakahnomics.