Jakarta, CNBC Indonesia - Petani di negeri Paman Sam pada sepanjang paruh pertama tahun ini mengalami masa yang sulit. Banyak diantaranya yang sampai bangkrut, bahkan jumlahnya hampir menyentuh level pandemi Covid-19 pada 2020 silam.
Tekanan demi tekanan datang dari berbagai sisi, mulai dari suku bunga yang tinggi, utang yang menumpuk, hingga merosotnya permintaan dari pasar ekspor utama seperti Tiongkok.
Data resmi dari pengadilan federal menunjukkan bahwa terdapat 173 kasus kebangkrutan petani kecil di Amerika Serikat (AS) selama semester I/2025. Ini merupakan angka tertinggi sejak lima tahun terakhir, bahkan melonjak 147% dibandingkan periode yang sama tahun lalu, atau bertambah sebanyak 103 kasus.
Foto: Epiq Bankruptcy Analytics
Data kebangkrutan small farm di AS
Lonjakan ini menggambarkan bagaimana kondisi ekonomi mikro, khususnya di sektor pertanian kecil, tengah berada dalam tekanan berat meski ekonomi makro AS masih tumbuh moderat.
Salah satu faktor terbesar penyebab krisis ini adalah tingginya suku bunga pinjaman. Untuk menekan inflasi, The Fed mempertahankan suku bunga acuan di level tinggi, yang secara langsung berdampak pada beban bunga yang harus ditanggung petani.
Sebagai catatan saja, sepanjang tahun ini the Fed sama sekali belum menurunkan suku bunga. Beda arah, dengan berbagai bank sentral negara lain, termasuk Indonesia yang sudah menurunkan suku bunga acuan dua sampai tiga kali.
Kebanyakan petani kecil di AS sangat bergantung pada pinjaman untuk menjalankan operasional, mulai dari pembelian benih, pupuk, alat berat, hingga upah tenaga kerja musiman. Ketika bunga pinjaman melonjak dan hasil panen tidak mampu menutupi biaya, maka opsi terakhir yang terpaksa diambil adalah mengajukan kebangkrutan.
Tekanan tidak berhenti di situ. Eksposur terhadap pasar global, terutama Tiongkok, juga menjadi titik lemah bagi petani Amerika. Produk seperti kedelai, jagung, dan daging babi selama ini menjadi komoditas ekspor utama ke Negeri Tirai Bambu.
Namun dalam beberapa waktu terakhir, China mengalihkan pembelian ke Brasil dan negara-negara Amerika Latin lainnya, sebagian karena ketegangan dagang yang belum pulih, dan sebagian lagi karena strategi diversifikasi pasokan.
Kondisi ini membuat pasar domestik dibanjiri pasokan yang tak terserap, sehingga harga jual anjlok dan margin keuntungan menyempit. Petani kecil yang tidak memiliki kontrak jangka panjang dengan pembeli besar berada di posisi yang paling rentan. Mereka tidak hanya kalah bersaing dalam harga, tapi juga dalam skala produksi dan akses logistik.
Sementara itu, Departemen Pertanian AS (USDA) memperkirakan bahwa utang sektor pertanian akan menembus angka US$561,8 miliar pada tahun ini, sebuah rekor baru yang mencerminkan ketergantungan tinggi terhadap pembiayaan eksternal. Dalam kondisi pasar yang menurun dan bunga yang tinggi, pembayaran kembali atas utang tersebut menjadi makin sulit dijalankan.
Kondisi ini menunjukkan bahwa petani kecil di Amerika saat ini berada dalam "resesi senyap", yang tidak selalu terlihat dari data pertumbuhan ekonomi nasional, tapi terasa nyata di komunitas pedesaan.
Jika tidak ada intervensi kebijakan, seperti program restrukturisasi kredit, subsidi darurat, atau pembukaan akses pasar baru, maka gelombang kebangkrutan ini bisa terus berlanjut hingga akhir tahun, bahkan berisiko merusak struktur ketahanan pangan nasional AS.
Lebih luas lagi, krisis ini mencerminkan pergeseran kekuatan dalam perdagangan pertanian global. Ketika Brasil, Argentina, dan negara-negara Amerika Selatan makin agresif memperluas pangsa pasar dan menjalin kerja sama strategis dengan pembeli besar seperti Tiongkok, dominasi pertanian Amerika mulai goyah.
CNBC INDONESIA RESEARCH
(tsn/tsn)