REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) memprotes terjadinya dugaan perundungan hingga menyebabkan seorang siswa SMPN 19 Tangerang Selatan meninggal. JPPI mengkritik keras pihak sekolah yang gagal mencegah perundungan.
JPPI mendapati informasi korban diduga menjadi sasaran perundungan berat oleh teman-temannya sendiri. Korban sempat dirawat akibat luka serius, namun nyawanya tidak tertolong.
"Peristiwa ini bukan hanya menyayat hati, tetapi juga menjadi penanda bahwa sekolah-sekolah kita sedang berada dalam kondisi darurat kekerasan," kata Koordinator Nasional JPPI Ubaid Matraji kepada Republika, Senin (17/11/2025).
Ubaid menyayangkan kekerasan yang mematikan ini terjadi di lingkungan sekolah. Padahal sekolah seharusnya menjadi tempat paling aman bagi anak.
"Ini menunjukkan kegagalan sistemik negara dalam melindungi peserta didik," ujar Ubaid.
Ubaid mengamati tindakan kekerasan ini ternyata bukan kejadian baru. Informasi yang muncul mengindikasikan praktik perundungan telah berlangsung sejak Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah (MPLS) pada bulan Juli. Kemudian tidak ada intervensi nyata dari sekolah maupun satgas pencegahan kekerasan.
"Sekarang sudah bulan November, artinya ada pembiaran selama berbulan-bulan sebelum akhirnya anak tersebut kehilangan nyawanya. Ini bukan sekadar kelalaian, tetapi bentuk nyata kegagalan negara memastikan sekolah aman. Anak kehilangan nyawa, dan itu terjadi setelah berbulan-bulan pembiaran,” ujar Ubaid.
Oleh karena itu, JPPI mendesak Kemendikdasmen dan Pemda mengevaluasi Satgas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota. Menurutnya, satgas yang dibentuk pemerintah itu tidak menjalankan mandatnya dengan baik.
“Selama ini kinerja Satgas tidak jelas. Anggotanya menerima fasilitas dan anggaran, tetapi hasil kerjanya tidak terlihat. Kasus-kasus kekerasan justru meningkat. JPPI meminta agar tidak ada lagi pejabat yang makan gaji buta dalam isu yang menyangkut keselamatan anak,” ujar Ubaid.
Selain satgas daerah, JPPI menyoroti lemahnya kinerja Tim Pencegahan dan Penanggulangan Kekerasan (TPPK) di sekolah. TPPK dinilai hanya dibentuk untuk memenuhi persyaratan administratif, tetapi tidak bekerja efektif. Ubaid mengamati banyak kasus yang tidak ditangani dengan serius, pelapor tidak didampingi, dan korban tidak mendapatkan perlindungan.
“Jika TPPK bekerja sebagaimana mestinya, tidak mungkin kita terus melihat korban berjatuhan seperti sekarang. Ini kejadian tidak hanya terjadi di Tangsel, tapi banyak terjadi di berbagai daerah. Jadi jangan sampai tambah banyak korban berjatuhan,” ujar Ubaid.

3 hours ago
1
















































