REPUBLIKA.CO.ID, TEL AVIV – Perang tak berkesudahan di Gaza yang dititahkan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu tak kunjung memusnahkan perlawanan Palestina. Sementara kian banyak tentara dan jenderal pasukan penjajahan Israel (IDF) yang membangkang, menolak melanjutkan perang di Jalur Gaza.
The Telegraph melaporkan pada Ahad, penolakan atas dasar politik eksplisit jarang terjadi di IDF namun semakin meningkat belakangan. Ini tecermin dalam semakin banyaknya surat publik yang ditandatangani oleh pasukan cadangan yang mengecam perilaku perang Netanyahu, serta teguran dan pemecatan yang terjadi setelahnya.
Banyak laporan bermunculan mengenai petugas yang dengan panik menghubungi tentara cadangan di media sosial, memohon mereka untuk hadir, karena jumlah mereka sudah sangat berkurang.
Jenderal Assaf Orion, mantan kepala perencanaan strategis di IDF, mengatakan meskipun terdapat tujuan strategis yang jelas dalam kampanye Israel melawan Iran dan Hizbullah di Lebanon, tidak ada lagi keharusan melanjutkan operasi militer di Gaza.
“Di Gaza, saya curiga bahwa tujuan, cara dan sarana strategis telah dibajak oleh motif tersembunyi. Saya pikir alasan utama terjadinya perang berkepanjangan di Gaza adalah kepentingan politik,” dia mengatakan kepada The Telegraph.
Eran Etzion, mantan wakil kepala dewan keamanan nasional Israel, bahkan lebih blak-blakan. “Saat ini sudah jelas bagi sebagian besar warga Israel bahwa alasan utama kampanye di Gaza tetap berjalan adalah karena kepentingan politik, pribadi, dan hukum Netanyahu. Dia membutuhkan perang untuk mempertahankan dan bahkan meningkatkan cengkeramannya pada kekuasaan.”
Banyak yang percaya Netanyahu khawatir pemerintahannya akan runtuh jika perang berakhir karena partai-partai ultranasionalis dalam koalisinya akan meninggalkannya. "Itulah alasan utamanya. Ini tidak ada hubungannya dengan Hamas dan ini semua tentang Netanyahu."
Merujuk bocoran soal dinamika di kabinet keamanan Israel, skeptisisme tidak hanya terjadi pada pensiunan jenderal saja. Letjen Eyal Zamir, kepala staf IDF, dikatakan berargumentasi bahwa hanya sedikit manfaat yang dapat diperoleh dengan melanjutkan serangan. Hal itu akan mempertaruhkan nyawa sekitar 20 sandera yang masih hidup.
Meski terdegradasi menjadi serangkaian unit gerilya independen, Hamas terus berjuang di tengah reruntuhan, mengirimkan aliran kantong jenazah IDF kembali ke Israel.