Jakarta, CNBC Indonesia - Vietnam tengah berada di tengah perombakan dramatis aparatur negaranya. Hal ini terjadi saat Negeri Paman Ho itu berupaya menghapuskan 100 ribu posisi pemerintahan karena Hanoi berupaya untuk merampingkan birokrasi dan meningkatkan perekonomian.
Pada tanggal 30 Juni, 80.000 jabatan dipangkas karena sebagian besar provinsi dan kota digabung. Pemerintah mengatakan mereka yang terlibat dalam perombakan akan diberhentikan atau ditawari pensiun dini.
Reorganisasi besar-besaran yang diawasi oleh pemimpin tertinggi Vietnam, To Lam, menggemakan langkah-langkah yang diambil oleh Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump dan pemimpin Argentina Javier Milei untuk memangkas pengeluaran pemerintah menuju "efisiensi".
Meski beralasan efisiensi, perasaan campur aduk muncul di kalangan pejabat yang baru saja menganggur. Salah satunya adalah mantan pejabat partai komunis Nguyen Van Cuong. Ia sempat bertugas di provinsi Bac Giang di luar Hanoi. Namun pekerjaannya hilang setelah provinsi itu digabung ke dalam administrasi provinsi tetangga.
Cuong mengatakan bahwa dia bisa saja tetap menduduki jabatannya, atau bahkan dipromosikan. Namun ia memilih menerima gaji sebesar US$75.000 (Rp 1,2 miliar) untuk sisa enam tahun jabatannya setelah 30 tahun berkarir di negara bagian.
"Sungguh sia-sia untuk kehilangan orang seperti saya. Namun saya tetap senang meski tidak memiliki pekerjaan," ungkap Cuong, yang berusia 56 tahun, dikutip Straits Times, Minggu (6/7/2025).
Perasaan lain juga diungkapkan mantan sekretaris tingkat distrik, Nguyen Thi Thu. Ia mengaku gelisah di rumah setelah meninggalkan pekerjaan publik yang dulunya dianggap sebagai pekerjaan seumur hidup.
Wanita berusia 50 tahun itu merasa tidak punya pilihan selain mengundurkan diri ketika kantornya dipindahkan ke provinsi delta Mekong, An Giang, lebih dari 70 km dari rumahnya.
"Saya mengundurkan diri, bukan karena saya ingin berhenti dari pekerjaan saya," tuturnya. "Lebih baik mengundurkan diri daripada menunggu perintah pemecatan."
Kebingungan Masa Depan
Vietnam, pusat manufaktur global, mencatat pertumbuhan ekonomi sebesar 7,1% pada tahun 2024. Negara Komunis Asia Tenggara ini menargetkan pertumbuhan sebesar 8% pada tahun 2025 karena negara ini bersaing untuk mendapatkan status negara berpendapatan menengah pada tahun 2030.
Namun, negara ini menghadapi hambatan dari AS mitra dagang utamanya. Presiden AS Donald Trump mengancam tarif sebesar 46% sebelum memutuskan tarif sebesar 20 persen dalam kesepakatan yang diumumkan pada tanggal 2 Juli, tarif yang lima kali lipat lebih tinggi dari tarif sebelum ia menjabat untuk kedua kalinya.
Wakil menteri keuangan Vietnam mengatakan struktur administratif baru akan membawa "skala yang kuat untuk menghubungkan bisnis yang kuat dan infrastruktur ekonomi" dan menciptakan "pembangunan sosial-ekonomi yang lebih besar".
Sekretaris Jenderal Partai Komunis, To Lam, mengatakan pada tanggal 30 Juni keputusan untuk membentuk kembali negara ini merupakan tonggak sejarah dengan makna strategis.
"Hal ini bertujuan untuk melanjutkan jalan kita menuju negara sosialis. Demi kebahagiaan rakyat," ujarnya.
Namun bagi Thu, jalan ke depannya kini tidak jelas. Ia mengaku bingung terkait apa yang mungkin bisa dilakukan untuk masa depan.
"Saya tidak tahu apa yang harus saya lakukan selanjutnya," katanya.
Cuong, di sisi yang berbeda, mengatakan bahwa ia tidak menyesali sedikit pun atas PHK sukarela yang dilakukannya. Ia merasa masih bisa berkontribusi bagi negara.
"Saya masih dapat memberikan kontribusi lebih banyak kepada sektor negara," pungkasnya.
(tps/tps)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Resmi Dilantik Sri Mulyani, Ini Daftar Dirjen Kemenkeu Terbaru