5 Ancaman di Balik Melemahnya Rupiah

3 hours ago 1

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah tengah mengalami pelemahan terhadap dolar Amerika Serikat (AS). Pelemahan ini membawa konsekuensi besar terhadap perekonomian nasional.

Melemahnya kurs rupiah mendorong kenaikan biaya impor untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, sehingga harga barang-barang berpotensi semakin mahal. Alhasil, masyarakat pun harus merogoh kocek lebih dalam untuk mendapatkan barang konsumsi maupun kebutuhan pokok.

Melansir data Refinitiv, rupiah telah menembus level psikologis Rp16.700/US$ dan ditutup posisi Rp 16.725/US$1 pada hari ini, Jumat (26/9/2025). Meski menguat 0,06% pada hari ini tetapi mata uang Garuda ada di level terlemahnya sejak April 2025.

Tekanan pada rupiah mulai terlihat sejak Bank Indonesia (BI) memangkas suku bunga acuan sebesar 25 basis poin pada 20 Agustus 2025. Kala itu, rupiah melemah dari level Rp16.190/US$ menuju Rp16.500/US$. Pelemahan berlanjut semakin dalam seiring langkah pemangkasan lanjutan oleh BI di bulan September, yang bertepatan dengan kebijakan The Federal Reserve (The Fed) yang juga menurunkan suku bunganya.

Berikut adalah dampak bagi perekonomian akibat dari melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS. 

1. Biaya Impor Membengkak

Menguatnya dolar AS menjadi ancaman yang serius bagi kondisi dalam negeri, terutama dari sisi impor. Karena, sebagian besar transaksi impor kita masih menggunakan dolar AS sebagai mata uang pembayaran.

Ketika rupiah terdepresiasi hingga menembus Rp16.700/US$, maka biaya impor secara otomatis akan meningkat dibandingkan ketika kurs nya berada di bawah level tersebut.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), di sepanjang 2024 nilai impor Indonesia mencapai US$235,2 miliar atau naik dibandingkan tahun sebelumnya yang sebesar US$221,9 miliar. Kenaikan ini bisa menunjukkan betapa besarnya ketergantungan Indonesia terhadap barang dari luar negeri.

Secara, beberapa komoditas utama penyumbang impor Indonesia tidak bisa digantika oleh produksi domestik.

Salah satu nya adalah gandum, dengan nilai impor mencapai US$3,9 miliar atau sekitar 10,9 juta ton sepanjang 2024. Indonesia memang tidak memproduksi gandung, sehingga kebutuhan pangan seperti mie instan, roti, dan produk olahan gandung seluruhnya bergantung pada impor.

Jika rupiah terus melemah, maka harga produk olahan seperti gandum berpotensi melonjak sehingga masyarakat harus merogoh kocek lebih banyak untuk membeli produk-produk tersebut.

Selain gandum, komoditas lain yang tak kalah penting adalah kedelai. BPS mencatat impor kedelai 2024 mencapai 2,67 juta ton dengan nilai US$1,40 miliar. Pelemahan rupiah akan membuat harga produk turunan kedelai seperti tahu dan tempe ikut naik. Seperti kita ketuhui, tahu dan tempe telah menjadi makanan pokok bagi masyarakat Indonesia, sehingga dampak kenaikan harga tersebut akan sangat besar bagi masyarakat. 

2. Perusahaan Yang Mengandalkan Impor Tertekan

Pelemahan rupiah juga akan menekan perusahaan yang mengandalkan bahan baku impor. Industri makanan dan minuman, misalnya, sangat bergantung pada gandum, kedelai, dan gula impor. Ketika biaya impor naik, margin keuntungan perusahaan semakin terhimpit karena biaya produksi melonjak. Jika perusahaan berusaha mempertahankan harga agar tidak kehilangan konsumen, keuntungan mereka otomatis menyusut.

Tidak hanya di sektor pangan, industri manufaktur lain seperti otomotif dan elektronik juga menghadapi tekanan. Banyak komponen penting masih diimpor dari luar negeri, sehingga depresiasi rupiah akan membuat biaya produksi lebih tinggi.

Kondisi ini berisiko mengurangi daya saing produk dalam negeri, karena harga jual menjadi tidak kompetitif dibandingkan produk luar yang sudah jadi.

Perusahaan energi dan transportasi pun akan merasakan hal serupa.Dengan porsi impor BBM dan LPG yang tinggi, perusahaan harus menanggung biaya tambahan yang besar. Jika biaya tersebut dialihkan ke konsumen, harga tiket transportasi akan melonjak, tetapi jika tidak dinaikkan, maka perusahaan harus siap menanggung kerugian.

3. Utang Perusahaan Membengkak

Pelemahan rupiah ini juga akan sangat berdampak bagi perusahaan yang memiliki utang dalan bentuk dolar AS. Setiap rupiah terdepresiasi, maka jumlah rupiah yang harus disiapkan perusahaan untuk membayar cicilan pokok maupun bunga utang dolar akan meningkat.

Kondisi ini bisa menekan arus kas, mengurangi ruang investasi, serta menurunkan profitabilitas perusahaan apalagi jiga utang dalam jumlah yang besar dalam tempo waktu yang dekat.

Beberapa perusahaan besar yang memiliki utang dalam denominasi dolar di antaranya adalah PT Indofood CBP Sukses Makmur Tbk (ICBP), PT Indofood Sukses Makmur Tbk (INDF), PT Modernland Realty Tbk (MDLN), serta PT Alam Sutera Realty Tbk (ASRI).

Perusahaan-perusahaan tersebut berisiko menghadapi lonjakan beban pembayaran utang apabila tren pelemahan rupiah terus berlanjut.

4. Pertumbuhan Ekonomi Pun Juga Terancam

Jika pelemahan rupiah terus berlanjut dan biaya impor semakin tinggi, dampak akhirnya adalah tertekannya pertumbuhan ekonomi nasional. Konsumsi rumah tangga yang selama ini menjadi tulang punggung pertumbuhan bisa melemah karena daya beli tergerus. Sektor industri yang terbebani biaya bahan baku impor juga berpotensi mengurangi kapasitas produksi, bahkan menunda ekspansi.

Investasi pun bisa terpengaruh. Investor asing mungkin menahan diri karena melihat risiko nilai tukar yang tinggi, sementara investor domestik menghadapi ketidakpastian biaya produksi. Jika kondisi ini dibiarkan berlarut-larut, potensi pertumbuhan ekonomi Indonesia yang semula diproyeksikan stabil bisa terganggu.

Di sisi lain, defisit neraca perdagangan berisiko melebar jika nilai impor tetap tinggi sementara ekspor tidak tumbuh sebanding. Kombinasi pelemahan rupiah, inflasi, daya beli yang menurun, serta tekanan terhadap dunia usaha, pada akhirnya menjadi beban besar bagi perekonomian nasional.

5. Biaya Sekolah di Luar Negeri Makin Berat

Pelemahan rupiah tidak hanya berdampak pada dunia usaha, tetapi juga dirasakan langsung oleh orang tua yang menyekolahkan anaknya di luar negeri. Beban biaya pendidikan otomatis membengkak karena kurs rupiah melemah terhadap mata uang utama dunia seperti dolar AS, euro, maupun poundsterling.

Jika sebelumnya orang tua cukup mengirim Rp10 juta per bulan untuk kebutuhan anak, maka dengan kurs rupiah yang terdepresiasi, jumlah yang sama dalam mata uang asing kini membutuhkan transfer lebih besar dari Rp10 juta. Akibatnya, biaya hidup dan pendidikan di luar negeri menjadi jauh lebih mahal.

CNBC INDONESIA RESEARCH

[email protected]

(evw/evw)

Read Entire Article
Perekonomian | Teknologi | Alam | Otomotif | Edukasi | Lifestyle |