Ancaman Secondary Sanctions dalam Program Akuisisi Pertahanan

1 hour ago 1

Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com

Salah satu dampak invasi penuh Rusia terhadap Ukraina pada 24 Februari 2022 ialah pada sektor ekonomi, keuangan dan industri lewat penjatuhan sanksi unilateral oleh lebih 30 negara dan atau institusi kepada Rusia. Beragam komoditas asal Rusia terkena sanksi, begitu pula dengan ratusan firma dan individu Rusia tercantum dalam daftar sanksi unilateral yang dijatuhkan oleh Amerika Serikat, Inggris, Jepang, Uni Eropa dan lainnya.

Sanksi yang dikenakan bukan saja primary sanctions, tetapi juga secondary sanctions yang menyasar entitas dan individu bukan Rusia yang melakukan perniagaan dengan Rusia. Secondary sanctions tidak kalah kalah keras dibandingkan dengan primary sanctions, karena apabila ada entitas dan individu yang terkena sanksi tersebut, maka akses pasar dan akses keuangan yang terkait dengan negara-negara yang menerapkan sanksi kepada Rusia akan tertutup total.

Lembaga keuangan dan perbankan Rusia tidak luput dari sanksi, termasuk diputus dari sistem pembayaran SWIFT, namun dengan pengecualian pada sedikit bank Rusia dengan ketentuan yang sangat ketat. Sanksi menimpa pula sektor penerbangan komersial Rusia dengan larangan impor suku cadang pesawat penumpang niaga buatan Barat seperti Airbus A320, A321, A330, A350 dan Boeing B737, B747, B777 dan B787, sehingga keselamatan penerbangan sipil Rusia jadi perhatian khusus.

Pada sektor industri manufaktur, negara-negara Barat dan negara maju lainnya menerapkan larangan ekspor peralatan industri maju seperti mesin CNC dan produk microelectronic seperti semiconductor dan ceramic capacitors.

Upaya Rusia melakukan program subsitusi impor tidak berjalan lancar sebab terdapat sejumlah teknologi kunci yang tidak dikuasai, sehingga Rusia berupaya menyiasati sanksi lewat pembelian yang dilaksanakan oleh beberapa perusahaan yang tidak termasuk dalam daftar sanksi.

Secara resmi, sikap Indonesia ialah tidak mengakui sanksi unilateral yang dijatuhkan oleh sejumlah negara dan lembaga terhadap Rusia. Indonesia hanya mengakui sanksi yang dikeluarkan oleh Dewan Keamanan PBB, seperti sanksi terhadap Korea Utara seperti UNSCR 2375 (2017) tentang embargo minyak parsial dan larangan penyewaan kapal oleh atau untuk Korea Utara.

Meskipun Indonesia tidak mengakui sanksi unilateral terhadap Rusia, akan tetapi sikap pemerintah tidak dianut oleh entitas bisnis Indonesia yang memiliki cakupan usaha global. Sikap entitas niaga Indonesia adalah menganut pendekatan pragmatis demi kelangsungan usaha, di mana mereka tidak mau terkena secondary sanctions yang akan menodai kredibilitas mereka di hadapan mitra bisnis, termasuk lembaga keuangan dan perbankan Barat.

Perbedaan sikap antara pemerintah Indonesia dengan sektor partikelir negeri ini ialah hal yang lumrah dan tidak perlu diperdebatkan. Bagaimanapun, pemerintah Indonesia memahami bahwa ekosistem niaga global berada di dalam sistem keuangan dan perbankan yang didirikan oleh negara-negara Barat, sementara belum ada pihak lain yang mampu membangun sistem tandingan dengan cakupan global.

Tidak realistis jika pemerintah Indonesia memaksa sikap terkait sanksi unilateral agar dianut pula oleh sektor swasta, sebab sektor partikelir tidak memiliki pilihan ketika dihadapkan dengan bisnis global yang bertumpu pada sistem keuangan dan perbankan Barat. Namun masih menjadi pertanyaan apakah semua pihak di Indonesia mempunyai pemahaman yang sama terhadap secondary sanctions?

Andaikata pertanyaan demikian ditujukan ke sektor pertahanan, maka jawabannya adalah tidak semua kalangan memiliki pemahaman yang sama terhadap secondary sanctions. Masih ada pihak di sektor pertahanan, baik aktor pemerintah maupun partikelir, yang memegang idealisme bahwa Indonesia adalah negara Non-Blok yang tidak tunduk kepada siapa pun.

Yang menjadi masalah adalah dalam pasar keuangan dan perbankan internasional, tidak dikenal istilah negara Non-Blok. Sebaliknya, pasar keuangan dan perbankan internasional hanya mengenal compliance dalam menjalankan bisnis, satu di antaranya adalah kepatuhan terhadap sanksi Dewan Keamanan PBB dan sanksi unilateral.

Karena urusan kepatuhan terhadap sanksi Dewan Keamanan PBB dan sanksi unilateral, saat ini sejumlah BUMN tidak mau terlibat dalam perniagaan dengan negara-negara seperti Rusia, Iran, Belarus dan Korea Utara. BUMN-BUMN tersebut memilih mematuhi sanksi, termasuk sanksi unilateral, daripada akses mereka ke pasar keuangan dan perbankan global tertutup hanya demi berbisnis dengan entitas-entitas yang terkena sanksi.

Beberapa firma milik negara secara rutin menerbitkan obligasi global di pasar keuangan dunia guna mendapatkan dana bagi CAPEX maupun refinancing, di mana salah satu syarat yang dipenuhi adalah tidak memiliki kerja sama bisnis dengan entitas-entitas yang terkena sanksi unilateral. Sebagai contoh, tidak ada bank BUMN Indonesia yang mau menjadi lender untuk pengadaan sistem senjata oleh Kementerian Pertahanan yang berasal dari Rusia.

Tidak dapat dipungkiri Kementerian Pertahanan masih berupaya mewujudkan pembelian peralatan perang buatan Rusia seperti Su-35, di mana terlibat pula pihak swasta Indonesia. Upaya tersebut sangat potensial untuk memicu dijatuhkannya secondary sanctions oleh beberapa negara terhadap entitas dan individu Indonesia yang terlibat dalam program akuisisi.

Pemicu berlakunya secondary sanctions bukan saat Indonesia menerima sistem senjata dari Rusia, melainkan di masa Indonesia mulai melakukan transaksi pembayaran kepada Rusia. Pembayaran demikian pasti melewati sistem keuangan dan perbankan internasional, khususnya melalui kawasan Timur Tengah, dan tidak mungkin berbentuk tunai.

Entitas dan individu asal Indonesia berpotensi terkena secondary sanctions dari beberapa negara seperti Amerika Serikat dan Inggris apabila upaya mendatangkan Su-35 terus berlanjut. Memang mungkin saja beberapa negara tidak akan menjatuhkan secondary sanctions tersebut, namun hal demikian sangat tergantung pada lobi pemerintah Indonesia.

Sejak 2018 hingga kini tidak ada usaha resmi pemerintah Indonesia kepada negara-negara yang menjatuhkan sanksi unilateral kepada Rusia agar mengecualikan Indonesia dari potensi secondary sanctions. Selain itu, Kementerian Luar Negeri buta dengan program akuisisi sistem senjata oleh Kementerian Pertahanan, sebab pihak kedua tidak memberikan informasi kepada pihak pertama untuk mencegah ramifikasi yang merugikan kepentingan nasional Indonesia.

Jika kepentingan nasional Indonesia masih diutamakan, sebaiknya perdagangan pertahanan dengan Rusia ditunda sampai situasi normal kembali, termasuk pencabutan sanksi unilateral. Masih banyak pilihan di pasar internasional terkait pengganti sistem senjata buatan Rusia, di mana Indonesia dapat mengakses secara bebas tanpa ancaman sanksi unilateral sama sekali.

Andaikata ada negara yang menjatuhkan secondary sanctions kepada Indonesia terkait Su-35, pihak yang potensial terkena adalah aktor pemerintah yang bertanggungjawab atas kontrak pengadaan dan pelaku-pelaku swasta yang terlibat atau memfasilitasi kontrak tersebut. Perlu diketahui bahwa sudah ada beberapa entitas dan individu di Indonesia terkena secondary sanctions yang dijatuhkan oleh negara tertentu dalam kasus Iran.


(miq/miq)

Read Entire Article
Perekonomian | Teknologi | Alam | Otomotif | Edukasi | Lifestyle |