REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Negara-negara Asia Tenggara dinilai belum menunjukkan ambisi yang cukup dalam menghadapi krisis iklim. Institute for Essential Services Reform (IESR) menyebut, kebijakan saat ini berisiko menggagalkan target Perjanjian Paris.
Manajer Program Diplomasi Iklim dan Energi IESR Arief Rosadi mengacu pada laporan Climate Action Tracker yang menunjukkan kebijakan iklim di kawasan ASEAN masih jauh dari memadai untuk membatasi kenaikan suhu global di bawah 1,5 derajat Celsius pada 2100.
“Dari hasil analisis Climate Action Tracker, kebijakan dan aksi iklim di ASEAN saat ini masih jauh dari cukup. Jika tidak ada percepatan, kita akan gagal menjaga pemanasan global tetap di bawah 1,5 derajat Celcius, yang menjadi target utama dalam Perjanjian Paris,” kata Arief dalam media briefing hasil KTT pertama ASEAN 2025, Selasa (8/7/2025).
Ia menegaskan, kegagalan itu akan berdampak serius, tak hanya pada ekonomi tapi juga kehidupan sosial dan ekosistem regional.
“Konsekuensinya sangat luas, tidak hanya dari sisi ekonomi dengan potensi kehilangan pendapatan GDP sebesar 35 hingga 37 persen pada tahun 2048–2050, tetapi juga berdampak pada kerusakan aset fisik, terganggunya produksi pangan, serta hilangnya keanekaragaman hayati yang vital bagi keseimbangan ekosistem,” tambahnya.
Arief menekankan, di balik tantangan tersebut, terdapat peluang besar melalui transisi menuju energi bersih. Merujuk laporan International Renewable Energy Agency (IRENA) 2023, investasi di sektor energi terbarukan diperkirakan bisa meningkatkan GDP kawasan sekitar 1 persen dan menciptakan jutaan lapangan kerja hijau berkualitas.
“Laporan IRENA 2023 menunjukkan jika ASEAN berani berinvestasi dan mempercepat penggunaan energi terbarukan, kawasan ini dapat meningkatkan GDP sekitar 1 persen dan membuka jutaan lapangan kerja hijau yang berkualitas,” ujar Arief.
Asia Tenggara, menurutnya, memiliki potensi energi terbarukan sebesar 17.000 gigawatt, jauh melampaui kapasitas listrik nasional Indonesia yang saat ini hanya sekitar 94 gigawatt. Potensi ini dinilai bisa menjadi motor penggerak transformasi energi regional.
“Potensi sumber energi terbarukan di Asia Tenggara mencapai 17.000 gigawatt, jauh melebihi kapasitas listrik nasional Indonesia yang saat ini sekitar 94 gigawatt. Ini merupakan peluang emas yang harus dimanfaatkan dengan kebijakan yang mendukung dan sinergi antara negara-negara anggota,” tuturnya.
Namun, Arief menyoroti hambatan koordinasi internal ASEAN. Isu energi dan iklim masih ditangani secara terpisah oleh Pilar Ekonomi dan Pilar Sosial Budaya, sehingga seringkali menghambat kebijakan iklim yang terpadu.
“Kami juga mengingatkan pentingnya penyelarasan kebijakan internal ASEAN, karena perbedaan penanganan isu energi dan perubahan iklim di Pilar Ekonomi dan Pilar Sosial Budaya seringkali menjadi hambatan dalam implementasi aksi iklim yang terintegrasi,” ujarnya.
IESR menyambut baik rencana pengesahan ASEAN Plan of Action for Energy Cooperation (APAEC) 2021–2025 yang menargetkan 23 persen energi terbarukan dalam pasokan primer dan 35 persen kapasitas pembangkit listrik dari energi terbarukan pada 2025.
“Dalam dokumen ASEAN Plan of Action for Energy Cooperation 2021–2025, ada target ambisius 23 persen energi terbarukan dalam pasokan primer dan 35 persen kapasitas pembangkit listrik yang berasal dari energi terbarukan. Ini harus menjadi komitmen yang serius dan dilaksanakan dengan konsisten,” kata Arief.
Namun ia mengingatkan, masih adanya ruang bagi teknologi clean coal dalam kebijakan ASEAN dapat menghambat dekarbonisasi dan memperlambat mitigasi perubahan iklim di kawasan.
“Namun, kami juga menyoroti munculnya ruang untuk teknologi batu bara bersih (clean coal technology) yang masih dipertimbangkan, yang kami nilai dapat menghambat laju dekarbonisasi kawasan dan berpotensi memperlambat upaya mitigasi perubahan iklim,” tegasnya.
Menutup pernyataannya, Arief menilai visi ASEAN 2045 harus menempatkan aksi iklim sebagai pilar utama untuk menciptakan masyarakat yang berkelanjutan dan tangguh terhadap perubahan iklim.
“Mengingat ASEAN Vision 2045 menggantikan visi sebelumnya, aksi iklim harus ditempatkan sebagai pilar utama untuk mewujudkan masyarakat yang berkelanjutan dan aman dari risiko perubahan iklim. Transisi energi bukan sekedar persoalan teknologi, tapi juga integrasi kebijakan, koordinasi lintas negara, dan tekad kolektif untuk masa depan generasi mendatang,” pungkasnya.