Jakarta, CNBC Indonesia - Gelombang barang murah asal China berpotensi kembali membanjiri pasar tanah air. Fenomena ini bukanlah hal baru bagi Indonesia, namun kali ini tekanannya bisa jauh lebih besar.
BCA dalam laporannya Will another wave of China's inventory upcycle incoming? menjelaskan dinamika global yang sedang berlangsung mendorong ekspor produk China ke berbagai negara, dan Indonesia kemungkinan besar menjadi salah satu tujuan utama akibat perubahan jalur perdagangan global dan kebutuhan China untuk mencari pasar baru.
Banyak faktor yang menyebabkan China harus mencari tempat atau tujuan baru untuk menjual produk mereka, salah satu nya adalah persoalan internal ekonomi China itu sendiri yang sedang menghadapi tekanan permintaan domestik yang lemah, serta perubahan peta dagang global yang salah satu nya adalah kesepakatan terbaru antara Amerika Serikat dan Uni Eropa.
Pada Minggu (27/7/2025), Amerika Serikat (AS) dan Uni Eropa (UE) telah mencapai titik temu dalam negosiasi dagang yang telah lama berlangsung. Dalam perjanjian tersebut, AS menetapkan tarif impor sebesar 15% untuk barang-barang asal Eropa, sementara UE memberikan tarif nol persen untuk impor produk dari AS.
Tak hanya itu, Eropa juga berkomitmen untuk meningkatkan impor dari AS, khususnya untuk sektor energi dan sector pertahanan.
Meskipun kesepakatan ini tampaknya menjadi kabar baik bagi stabilitas global, namun juga membawa konsekuensi lain, kondisi seperti ini seringkali diikuti oleh efek yang disebut trade diversion, yakni pengalihan permintaan impor dari satu negara ke negara lain.
Artinya, peningkatan ekspor AS ke Eropa berpotensi untuk menggeser posisi negara lain, termasuk China yang selama ini telah menjadi pemasok utama ke pasar Uni Eropa.
Hal ini akan berdampak sangat besar pada pabrikan China, yang sebelumnya mengandalkan Eropa sebagai salah satu pasar ekspor utama namun kini harus mencari pasar alternatif untuk menyalurkan produknya. Pilihan yang lagi masuk akal jatuh kepada negara-negara berkembang di Asia termasuk Indonesia.
Indonesia Bisa Jadi "Pelabuhan" Impor Produk China
Kondisi seperti ini sebetulnya bukanlah hal baru bagi Indonesia, pada periode 2021-2023 kita pernah mengalami banjir barang dari China ketika negeri tirai bambu tersebut tengah mengalami kelebihan pasokan akibat dari pandemi Covid-19.
Barang-barang seperti elektronik, tekstil dan mesin-mesin masuk ke pasar Indonesia dengan harga yang sangat murah bahkan dijual di bawah harga produksi lokal.
Kekhawatiran akan membanjirnya barang-barang impor asal China ke Indonesia bukan tanpa alasan.
Berdasarkan data historis menunjukkan tren yang konsisten dan bahkan semakin menguat dalam beberapa waktu terakhir. proporsi impor Indonesia dari China terhadap total impor nasional memperlihatkan lonjakan tajam dalam lima bulan pertama 2025. Pada Mei 2025, porsi impor dari China tercatat mencapai 36,4% dari total impor nasional.
Sebagai perbandingan pada 2025 silam, proporsi impor dari China hanya sebesar 20,6%. Tren ini terus meningkat secara konsisten setiap tahunnya, dengan lonjakan signifikan dimulai sejak tahun 2019.
Kenaikan ini bahkan lebih mencolok jika dibandingkan dengan proporsi impor dari AS, yang relatif stagnan di kisaran 5-6% selama sepuluh tahun terakhir. Per Mei 2025, proporsi impor dari AS hanya sekitar 5,4% jauh tertinggal dari China.
Dari sisi konsumen, fenomena ini bisa dianggap sebagai "angin segar." Harga barang yang lebih terjangkau tentunya dapat membantu daya beli masyarakat, terutama di tengah pertumbuhan pendapatan yang masih terbatas. Jika tren ini berlanjut, bukan tak mungkin konsumsi rumah tangga Indonesia akan mencatat rebound yang lebih kuat di semester kedua tahun ini.
Namun cerita berbeda datang dari sisi produsen. Sektor manufaktur dalam negeri, khususnya usaha kecil dan menengah (UKM), bisa kembali tertekan.
Barang impor yang murah sulit ditandingi dari sisi harga, sehingga margin keuntungan produsen lokal akan tergerus. Jika tidak ada perlindungan, bukan tidak mungkin akan terjadi gelombang konsolidasi atau bahkan penutupan usaha.
Hal ini sudah terlihat dari penurunan PMI manufaktur RI yang tercatat terus melemah dalam beberapa bulan terakhir. Setelah sempat menyentuh level ekspansif tertinggi di 54,2 pada Maret 2024, Purchasing Managers' Index (PMI) mulai tergelincir ke bawah ambang batas 50 sejak Juli 2024 indikator bahwa sektor manufaktur mulai memasuki fase kontraksi.
Kontraksi ini berlangsung selama lima bulan berturut-turut hingga November 2024, yang mencerminkan tekanan cukup berat bagi sektor industri dalam negeri.
Meskipun sempat pulih di awal 2025 dan kembali berada di zona ekspansi, PMI kembali turun pada Maret 2025 hingga Juni 2025, dengan level terakhir di 46,9. Ini menunjukkan bahwa pelaku industri terutama di sektor manufaktur skala kecil masih menghadapi tantangan besar, termasuk dari derasnya arus barang impor murah yang menekan daya saing harga dan permintaan atas produk lokal.
Penurunan PMI ini menjadi sinyal bahwa pemulihan industri belum sepenuhnya kokoh. Jika tren limpahan barang impor dari China terus berlanjut, bukan tak mungkin sektor manufaktur Indonesia terutama yang bergantung pada pasar domestik akan kembali terpukul. Dalam jangka panjang, ini bisa berdampak pada penyerapan tenaga kerja, pendapatan rumah tangga, hingga pertumbuhan ekonomi nasional secara keseluruhan.
Data Membuktikan Indonesia Jadi Sasaran "Dumping"
Perusahaan manufaktur China yang berorientasi ekspor masih mencatat ekspansi aktivitas produksi. Namun di sisi lain, lemahnya permintaan konsumen dalam negeri terus menjadi hambatan bagi perusahaan yang berfokus pada pasar domestik.
Kondisi ini mencerminkan ketimpangan pemulihan ekonomi China yakni sektor ekspor terbantu oleh permintaan luar negeri dan subsidi pemerintah, sementara belanja rumah tangga di dalam negeri belum pulih pasca pandemi dan krisis properti.
Tekanan oversupply di China tampaknya semakin nyata dan mulai berimbas langsung ke Indonesia. Berdasarkan data dari BCA , terlihat bahwa pertumbuhan impor Indonesia dari China pada April-Mei 2025 melonjak drastis dibandingkan rata-rata tahun 2024.
Lonjakan persediaan barang di pabrik-pabrik China mendorong produsen untuk semakin agresif menjual ke pasar ekspor. Tekanan untuk mengurangi inventory yang menumpuk memperkuat urgensi ekspansi ke luar negeri dan Indonesia menjadi salah satu target utama.
Situasi ini dapat memperketat persaingan industri dalam negeri Indonesia, terutama di sektor manufaktur yang bersinggungan langsung dengan produk impor dari China seperti tekstil, elektronik, dan bahan bangunan.
Lonjakan ini terjadi pada berbagai kategori barang manufaktur, yang mengindikasikan adanya gelombang besar arus barang dari China menuju pasar Indonesia terutama sebagai akibat dari kenaikan persediaan di negara tersebut.
Sejumlah produk mencatat pertumbuhan impor yang sangat signifikan. Produk elektronik mengalami lonjakan impor hingga 23,8% dengan nilai mencapai US$289,5 juta, menjadikannya kategori terbesar dari sisi nilai.
Diikuti oleh mesin dan boiler dengan kenaikan 15,9% senilai US$230,7 juta, base metal naik 19,6% senilai US$136,8 juta, serta kendaraan bermotor yang melonjak 43,8% mencapai US$145,5 juta. Produk bahan kimia juga mencatat kenaikan impor sebesar 20,1% dengan nilai US$122 juta.
Kenaikan drastis ini ternyata selaras dengan meningkatnya level inventory sejumlah produk di China. Contohnya, sektor elektronik dan mesin listrik mengalami peningkatan inventory secara tahunan (yoy) sebesar 7,8%, mesin dan boiler naik 4,8%, produk kimia sebesar 3,5%, dan karet-plastik naik 5,1%.
Tekstil dan Furniture Mesti Waspada
Stok tekstil dan pakaian di China tercatat menurun sebesar 1,3%, yang menunjukkan adanya penurunan persediaan di gudang produsen. Hal ini bisa disebabkan oleh meningkatnya pengiriman atau penjualan, ataupun karena menurunnya kapasitas produksi.
Namun, di tengah penurunan inventori tersebut, impor Indonesia terhadap produk tekstil dan pakaian justru melonjak tajam sebesar 25,2%. Kenaikan ini mengindikasikan bahwa permintaan domestik di Indonesia terhadap produk pakaian sedang tinggi, kemungkinan dipicu oleh faktor musiman, tren konsumsi, atau pulihnya sektor fashion.
Di sisi lain, lonjakan impor ini juga bisa mencerminkan upaya importir Indonesia untuk mengamankan stok dari China sebelum pasokan semakin terbatas. Fenomena ini memperlihatkan posisi Indonesia sebagai pasar ekspor yang kuat bagi produk tekstil China, bahkan ketika pasokan global mulai mengetat.
Persediaan furnitur di China mengalami penurunan signifikan sebesar 4,9%, yang dapat disebabkan oleh tingginya permintaan ekspor atau melambatnya produksi.
Di saat yang sama, impor furnitur Indonesia naik tipis sebesar 4,3%. Kenaikan yang relatif moderat ini menunjukkan bahwa Indonesia tetap menyerap produk furnitur dari China meskipun pasokannya menurun.
Namun, kecilnya kenaikan ini bisa disebabkan oleh lemahnya permintaan dalam negeri atau tingginya harga akibat pasokan yang berkurang, sehingga importir lebih selektif dalam melakukan pembelian. Di sisi lain, hal ini juga bisa menjadi tanda adanya perubahan gaya hidup di Indonesia, seperti meningkatnya konsumsi rumah tangga pasca-pandemi, meskipun belum sepenuhnya pulih ke tingkat normal.
Beda Cerita Makanan dan Minuman
Data BCA juga menunjukkan inventori makanan di China meningkat signifikan, menandakan produksi yang melampaui permintaan. Inventori berlebih ini belum mampu diserap konsumen China.
Namun, Indonesia juga belum menyerap kelebihan pasokan tersebut. Kenaikan impor hanya 2,1%, jauh dari proporsi pertumbuhan stok.
Ketidakmampuan menyerap ini bisa jadi karena ada kebijakan proteksi pangan atau substitusi produk lokal. Faktor preferensi konsumen juga memainkan peran penting.
Sebaliknya, inventori minuman di China melonjak tajam bisa karena overproduksi atau penurunan konsumsi lokal.
Produk minuman ini diserap Indonesia dalam jumlah besar yang tercermin dari lonjakan impor.
Kenaikan impor yang sangat tinggi mungkin mengindikasikan minuman China sedang populer di Indonesia. Kenaikan permintaan mungkin karena harga bersaing, tren minuman instan/kesehatan, atau kampanye pemasaran yang masif.
Produk minuman bahkan mencatat kenaikan inventory tertinggi, sebesar 8,0%, dan meskipun nilai impornya ke Indonesia masih kecil yakni US$0,5 juta dengan pertumbuhannya mencapai 64%.
Dengan demikian, data ini menjadi peringatan bahwa lonjakan impor bukan sekadar tren dagang biasa, melainkan konsekuensi langsung dari strategi ekspor agresif China dalam merespons krisis oversupply yang mereka alami.
Pemerintah dan pelaku industri nasional perlu menyusun langkah antisipatif, baik dari sisi kebijakan tarif maupun perlindungan industri, agar Indonesia tidak menjadi tempat pembuangan barang-barang murah dari luar negeri terutama dari China.
CNBC INDONESIA RESEARCH
(evw/evw)