Jakarta, CNBC Indonesia- Konsumsi kalori harian penduduk Indonesia kembali menjadi cermin halus dari ketimpangan ruang hidup. Konsumsi masih didominasi padi-padian dan mie instan.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) dalam publikasi "Konsumsi Kalori dan Protein Penduduk Indonesia, September 2024" menunjukkan bahwa penduduk desa justru mengonsumsi lebih banyak kalori per kapita dibandingkan penduduk kota.
Rata-rata konsumsi kalori penduduk perdesaan tercatat sebesar 2.141 kkal per kapita per hari, melampaui penduduk perkotaan yang berada di angka 2.062 kkal. Jika digabungkan, angka nasional berada di 2.096 kkal.
Namun angka tersebut tidak berdiri sendiri. Di baliknya, tersimpan struktur pangan yang berbeda. Di kota, konsumsi kalori paling banyak berasal dari kelompok padi-padian, makanan jadi, dan minyak-kelapa. Sebaliknya, warga desa menambah kalori bukan hanya dari nasi dan minyak, tetapi juga umbi-umbian dan ikan laut.
Secara spesifik, konsumsi kalori tertinggi di perkotaan berasal dari padi-padian seperti beras, jagung pipil, hingga tepung terigu, yang menyumbang 768 kkal per kapita. Diikuti makanan dan minuman jadi seperti mi instan dan jajanan pasar (498 kkal), serta minyak-kelapa (282 kkal).
Sebaliknya, di desa, padi-padian menyumbang lebih besar lagi yaitu 899 kkal, dengan tambahan dari umbi-umbian seperti singkong dan ubi jalar (65 kkal), yang tidak masuk dalam 10 besar versi kota.
Perbedaan mencolok juga terlihat pada konsumsi protein hewani. Di kota, daging dan telur menjadi sumber utama. Sementara di desa, ikan laut menjadi primadona, menyumbang 59 kkal per hari lebih tinggi dibandingkan daging yang hanya 78 kkal.
Namun, baik masyarakat kota dan desa semuanya menempatkan mie instan sebagai salah satu makanan favorit sehingga konsumsi per kapitanya juga tinggi.
Selain menunjukkan keterhubungan dengan wilayah pesisir, ini juga mencerminkan preferensi serta keterjangkauan harga.
Yang menarik, kelompok makanan dan minuman jadi tetap masuk tiga besar di seluruh klasifikasi wilayah. Ini menandakan transformasi pola konsumsi ke arah makanan olahan dan praktis, baik di kota maupun desa.
Namun dominasi kalori dari makanan cepat saji ini bisa menjadi peringatan diam-diam soal kualitas gizi tinggi energi, rendah zat gizi mikro. Akses makanan tidak serta-merta menjamin kecukupan gizi yang seimbang.
Pada akhirnya, disparitas kalori mencerminkan pengalaman hidup yang berbeda. Ketika penduduk kota mengandalkan jaringan ritel dan logistik makanan, warga desa menyambung hidup lewat alam dan produksi lokal.
CNBC Indonesia Research
(emb/emb)