Cerita Sulistiyah Jadi Caregiver Bagi Suaminya yang Mengidap Alzheimer

2 hours ago 2

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Merawat orang tercinta yang mengalami demensia bukan perkara mudah, butuh perjuangan dan ketabahan. Itulah yang dijalani Sulistiyah (52 tahun), seorang ibu rumah tangga di Jakarta yang telah menjadi caregiver bagi suaminya, Arif Permana (54), sejak delapan tahun lalu.

Arif didiagnosis mengidap Alzheimer pada usia 47 tahun, usia yang tergolong muda untuk penyakit tersebut. Kala itu, ia masih aktif bekerja sebagai wartawan dan konsultan media. Gejala awal yang muncul yakni kerap lupa pada berbagai hal, mulai dari lupa akan ucapannya sendiri, lupa lokasi parkir, hingga lupa jalan pulang.

"Awalnya saya pikir itu wajar, tapi kok suami saya malah makin sering lupa. Bahkan dia pernah lupa alamat rumah dimana," kata Sulis saat diwawancara seusai acara peringatan Bulan Alzheimer Dunia yang diinisiasi Alzheimer Indonesia di Unika Atma Jaya, Rabu (17/9/2025).

la menduga, Alzheimer yang diderita suaminya dipicu oleh gaya hidup yang tidak sehat selama bertahun-tahun. Menurut Sulis, saat masih aktif bekerja, sang suami terbiasa begadang dan memiliki ritme kerja yang tidak teratur.

"Suami saya dulu sering begadang karena kerja sebagai wartawan. Tidur pagi, kerja malam. Ternyata itu memengaruhi regenerasi sel otak dia," kata Sulis.

Kini, Arif telah dalam kondisi tirah baring dan sangat bergantung pada bantuan orang lain untuk menjalani aktivitas dasar. Menurut Sulis, perjalanan penyakit suaminya terbilang cepat. "Sekarang kondisi suami saya sudah benar-benar bergantung karena sudah tirah baring. Jadi makan, mandi, semuanya harus dibantu," kata dia.

Sulis bercerita, selama beberapa tahun pertama ia berusaha merawat suaminya seorang diri. Namun menjalani peran sebagai caregiver sekaligus mengurus rumah tangga dan membesarkan tiga anak bukanlah hal yang mudah.

Puncaknya terjadi ketika Arif mengalami kondisi kritis. "Waktu itu suami lagi sendiri, terus dia enggak berhenti makan, padahal perutnya sudah kenyang, tapi otaknya nggak bisa kasih sinyal berhenti. Akhirnya sakit, sampai makanan masuk ke paru-paru. Harus dirawat di ICU dan dipasang ventilator, Saya benar-benar syok waktu itu," kata Sulis.

Sejak kejadian itu, ia mulai menyadari pentingnya bantuan profesional. Kini, ia melibatkan tenaga home care secara rutin untuk membantu perawatan harian.

"Saya harus realistis. Ada kondisi yang nggak bisa saya tangani sendiri. Sekarang, kalau ada apa-apa, saya bisa langsung hubungi perawat," katanya.

Saat Arif pertama kali didiagmosis, ketiga anak mereka masih berusia lima, tujuh, dan sebelas tahun. Menurut Sulis, perubahan mendadak suaminya sempat membuat anak-anak takut dan bingung.

"Jadi ke anak itu cuek, kayak enggak kenal. Makanya anak-anak waktu itu langsung menarik diri, ada yang marah juga. Saya sampai harus membawa mereka ke psikolog," ujar Sulis.

Seiring waktu, Sulis mencoba mengedukasi anak-anaknya bahwa perubahan sang ayah bukan karena tidak sayang, melainkan karena kondisi medis yang memengaruhi fungsi otaknya. Kini, ketiga buah hatinya telah beranjak remaja dan mulai ikut berperan dalam perawatan ayah mereka.

Bagi Sulis, anak-anaknya bukan hanya penolong dalam merawat Arif, tapi juga menjadi alasan utama ia tetap kuat menjalani hidup hingga hari ini. "Kalau bukan karena anak-anak, saya mungkin sudah menyerah dari dulu. Mereka alasan saya kuat. Saya harus kuat karena mereka butuh saya," kata Sulis.

Selain dukungan keluarga, Sulis juga aktif di komunitas Alzheimer's Indonesia (ALZI), yang menurutnya sangat membantu secara emosional. Di sana, ia bertemu dengan banyak caregiver lain yang menghadapi situasi serupa.

"Waktu pertama ikut, saya lihat mereka juga punya cerita masing-masing. Tapi mereka kuat-kuat banget. Dari situ saya merasa nggak sendirian. Saya juga belajar banyak soal cara merawat, cara jaga kesehatan mental," kata dia.

Read Entire Article
Perekonomian | Teknologi | Alam | Otomotif | Edukasi | Lifestyle |