Gak Pesta! Produksi Teh RI Lesu Saat Bubble Tea Jadi Mesin Uang Baru

2 hours ago 1

Jakarta, CNBC Indonesia - Produksi teh Indonesia terpantau stagnan selama tiga tahun terakhir. Pada pencatatan terakhir di April 2025, produksi teh Indonesia mencapai 5,41 ribu ton.

Melansir dari data Badan Pusat Statistik (BPS), Indonesia sebenarnya sempat memproduksi hingga 6,9 ribu ton pada Januari 2024, namun terus mengalami fluktuasi hingga akhirnya menurun sebanyak 21,6% pada angka terbaru di April 2025.

Produksi Dunia Naik, Harga Dunia Turun

Laporan Food and Agriculture Organization (FAO) memperlihatkan produksi teh dunia pada 2022 mencapai 6,7 juta ton, tumbuh 3,2% per tahun selama satu dekade terakhir. Tiongkok mendominasi dengan hampir setengah dari total produksi dunia (3,34 juta ton), disusul India (1,37 juta ton), Kenya (542.561 ton), dan Sri Lanka (255.973 ton).

Pada 2024, China menyumbang produksi global sebanyak 53%, sekaligus mencatat pertumbuhan produksi 12% dibanding tahun sebelumnya. India menempati posisi kedua dengan pangsa 18,2%, meskipun produksinya mencatatkan penurunan 6,%.

Kenya melengkapi tiga besar produsen dengan 8,5% dari total produksi dunia. Secara keseluruhan, ketiga negara ini menyumbang 80 % produksi teh global pada 2024.

Negara produsen besar lainnya mengalami penurunan. Produksi Bangladesh turun 9,6 %, dipengaruhi kerusuhan sipil dan penggulingan pemerintah. Sebaliknya, Argentina sebagai pemasok utama teh hitam untuk pasar AS mengalami pemulihan dengan kenaikan produksi 19,1 %.

Diketahui bahwa produksi teh menghadapi tantangan struktural seperti iklim ekstrem, volatilitas harga, biaya produksi yang meningkat, dan rendahnya produktivitas.

Negara seperti Sri Lanka bahkan mengalami penurunan produksi hingga 15,6% akibat pelarangan pupuk dan krisis ekonomi domestik.

Indonesia masih menghadapi stagnasi produktivitas, dengan produksi teh hijau diprediksi naik hanya 0,1% per tahun, sementara ekspor teh Indonesia masih bertahan di angka 6.244 ton hingga 2032, jauh di bawah Vietnam, Jepang, dan tentu saja China. Teh juga menjadi penyumbang devisa utama bagi banyak negara berkembang.

Angka produksi Indonesia sejalan dengan menurunnya harga teh global tengah berada dalam tren menurun.

Melansir Trading Economics, harga teh dunia per 6 September 2025 turun ke INR 199,68 /Kgs, melemah 3,16% selama sebulan terakhir dan turun 19,05% secara yoy.

Penurunan harga ini menunjukkan tekanan nyata pada pasar teh, komoditas klasik yang selama berabad-abad jadi bagian dari budaya Asia.

Kebangkitan Tren Minum Teh di Era Modern

Sejatinya, minum teh adalah ritual harian bagi setengah populasi dunia. Dari asalnya di Tiongkok, teh telah menyebar melalui jalur perdagangan selama berabad-abad, menjadi salah satu komoditas global utama dan memberikan mata pencaharian bagi jutaan petani kecil. Teh juga merupakan minuman yang memberikan banyak manfaat kesehatan dan dibudidayakan di lebih dari 60 negara, terutama di Asia, Afrika, Amerika Selatan, dan sebagian Eropa Timur.

China memproduksi 47% dari total teh dunia, disusul oleh India, Kenya, dan Sri Lanka.

Pasar minuman berbasis teh justru sedang mengalami "renaissance" versi modern lewat fenomena bubble tea alias teh boba.

CNBC International mencatat, industri bubble tea global diperkirakan tumbuh dari US$2,83 miliar pada 2025 menjadi hampir US$4,78 miliar pada 2032.

China menjadi episentrum tren ini. Tiga nama besar Mixue Group, Guming Holdings, dan Auntea Jenny bahkan berhasil mengantongi lebih dari US$700 juta lewat IPO di Hong Kong tahun ini, mencerminkan keyakinan investor pada daya tahan selera konsumen muda.

Mixue menjadi wajah paling mencolok dari fenomena ini. Dengan lebih dari 46.000 gerai di seluruh dunia per akhir 2024, Mixue telah melampaui McDonald's, Starbucks, bahkan Subway dari sisi jumlah outlet.

Model bisnisnya sederhana: harga super murah, ekspansi super cepat, dan franchise yang didorong secara agresif. Hanya dalam setahun, pertumbuhan gerai mencapai 22%, angka yang sulit ditandingi oleh jaringan F&B mana pun.

Biarpun pertumbuhannya pesat, ada sisi rapuh yang tak bisa diabaikan. Franchise masif membuat kontrol kualitas jadi tantangan besar. Tingkat penutupan gerai diperkirakan mencapai 20%, dan persaingan harga di pasar domestik semakin sengit.

Harga teh yang sedang turun memang bisa sedikit meredakan tekanan biaya bahan baku, tetapi itu tidak serta-merta menyembuhkan masalah margin tipis yang dihadapi pelaku industri.

Investor memandang sektor ini relatif aman dibanding industri lain yang lebih sensitif terhadap guncangan eksternal, seperti tarif Amerika Serikat.

Bubble tea dilihat sebagai cerminan konsumsi domestik yang lebih stabil, digerakkan oleh generasi muda urban yang menjadikan minuman ini bagian dari gaya hidup. Namun, seiring pasar China makin jenuh, ekspansi ke luar negeri bukan perkara mudah.

Perbedaan selera konsumen, kompleksitas rantai pasok, hingga adaptasi resep lokal membuat ekspansi global ternyata penuh risiko.

Di titik ini, turunnya harga teh bisa dilihat sebagai paradoks. Di satu sisi, ia membuka peluang efisiensi biaya produksi bagi para raksasa bubble tea. Tetapi di sisi lain, harga teh yang lesu juga mencerminkan permintaan global yang melemah, tanda industri minuman berbasis teh klasik mungkin tak sekuat dulu.

Bubble tea seolah hadir sebagai wajah baru konsumsi teh, tapi masih perlu membuktikan dirinya bukan sekadar tren musiman.

Peluangnya terbuka lebar. Badan Pangan Dunia (FAO) menyebut bahwa premiumisasi, diversifikasi, dan inovasi seperti teh organik, teh khusus (specialty), dan varian teh kesehatan adalah kunci memperluas pasar. Negara produsen seperti Indonesia perlu memperkuat posisi di pasar global, tidak hanya sebagai pemasok bahan mentah, tapi juga pemain utama dalam pasar teh bernilai tambah tinggi.

CNBC INDONESIA RESEARCH

[email protected]

(mae)

Read Entire Article
Perekonomian | Teknologi | Alam | Otomotif | Edukasi | Lifestyle |