Jakarta, CNBC Indonesia - Negara kaya seperti Korea Selatan (Korsel) ternyata masih percaya dukun. Bahkan situasi dalam negeri tegang karena jumlaah dukun yang ada di negara itu.
Ini bermula saat klaim bahwa Korsel memiliki sekitar 800.000 dukun ramai beredar di dunia maya. Namun para ahli menegaskan angka tersebut tidak akurat dan tidak memiliki dasar data resmi.
"(Angka) 800.000 itu berlebihan. Kami memperkirakan jumlahnya sekitar 300.000," ujar seorang pejabat Asosiasi Gyeongshin Korea, organisasi dukun terbesar di negeri itu, yang meminta identitasnya dirahasiakan, seperti dikutip Korea Times, Kamis (27/11/2025).
Ia menyebut estimasi tersebut mengacu pada catatan sejak 1970-an. Pendaftaran kasus saja hanya mencapai rata-rata mencapai 30 kasus per bulan.
Pendapat lebih keras datang dari akademisi. Cho Sung-je, profesor studi perdukunan di Universitas Budaya Dongbang. Ia bahkan menilai angka realistis jauh lebih kecil.
"Saya yakin jumlahnya mendekati 100.000, dan itu pun berarti hampir satu dari setiap 500 orang adalah dukun. Apa pun yang jauh lebih tinggi dari itu sungguh tidak masuk akal," tegasnya.
Sebenarnya data pemerintah melalui Kementerian Data dan Statistik hanya mencatat ada 10.512 orang bekerja di industri "ramalan dan jasa terkait". Data ini diambil tahun 2023, dengan 9.895 usaha terdaftar.
Angka ini mencakup berbagai layanan seperti pembacaan saju dan tarot. Sehingga jumlah dukun sebenarnya diperkirakan lebih kecil.
Meski tidak ada statistik komprehensif, pemerintah Korsel memang mengakui 12 ritual perdukunan sebagai warisan budaya. Minimnya regulasi membuat sektor ini kerap disorot, terutama setelah sejumlah kasus kriminal yang melibatkan dukun.
Sementara itu, bulan lalu, seorang dukun berusia 70-an dijatuhi hukuman penjara seumur hidup setelah membunuh keponakannya dalam ritual pengusiran roh. Pada Juni, dukun lain dihukum percobaan setelah memeras 79 juta won dari sebuah keluarga.
Menurut pejabat Asosiasi Gyeongshin, industri ini membutuhkan sistem kualifikasi yang setara dengan profesi keagamaan lain. Ia bahkan mengusulkan pendirian "universitas perdukunan" serta sistem kredensial untuk menyaring pelaku yang tidak kredibel.
"Tidak seperti pendeta Katolik atau biksu Buddha yang disertifikasi secara formal, dukun saat ini tidak menghadapi sistem pengawasan yang sebanding," ujarnya.
Prof. Cho sepakat perlunya regulasi diri. Ia menilai asosiasi resmi berbadan hukum, mirip Ordo Jogye dalam tradisi Buddha Korea, dapat meningkatkan akuntabilitas.
"Seharusnya ada pelatihan etika sebelum seseorang menjadi dukun, tetapi proses seperti itu tidak ada," katanya, menekankan bahwa praktik ritual tak perlu demi keuntungan masih banyak terjadi.
(sef/sef)
[Gambas:Video CNBC]

3 hours ago
3














































