Genjot Produksi, PHE Pacu Reaktivasi Sumur Minyak Tak Aktif

20 hours ago 2

loading...

Vice President Operational & Project PHE Benny Sidik di webinar Migas Sebagai Pilar Swasembada Energi: Tantangan dan Solusi Peningkatan Lifting di Jakarta, Selasa (4/2/2025). FOTO/M Faizal

JAKARTA - PT Pertamina Hulu Energi (PHE) menargetkan untuk mereaktivasi sebanyak 798 sumur minyak yang menganggur (idle wells) sepanjang 2025. Reaktivasi sumur-sumur yang tidak aktif tersebut merupakan salah satu upaya subholding upstream Pertamina itu untuk meningkatkan produksi minyak yang pada 2024 mencapai 400.000 barrel oil per day (bopd).

Reaktivasi sumur tak aktif telah dilakukan PHE sejak 2021 yang saat itu jumlahnya mencapai 585 sumur. Reaktivasi juga berlanjut pada tahun 2024 di mana tercatat sebanyak 962 sumur yang direaktivasi.Vice President Operational & Project PHE Benny Sidik mengatakan, untuk reaktivasi sumur-sumur menganggur tersebut, pihaknya akan menggandeng mitra.

"Ada 100 mitra yang ikut sosialisasi. Harapannya, kami bisa mendapat mitra yang solid, baik secara teknologi, kompetensi, dan keuangan," ujar Benny saat menjadi pembicara di webinar bertajuk "Migas Sebagai Pilar Swasembada Energi: Tantangan dan Solusi Peningkatan Lifting"di Jakarta, Selasa (4/2/2024).

Baca Juga

Bahlil Optimistis Intervensi Teknologi Mampu Dongkrak Produksi Migas Nasional

Benny menambahkan, selain reaktivasi sumur iddle, upaya lain yang dilakukan PHE untuk meningkatkan produksi adalah dengan menerapkan enhanced oil recovery (EOR). Hingga saat ini, kata dia, PHE telah menjalankan sebanyak 72 proyek EOR. Benny mengatakan, fokus utama PHE pada 2025 di antaranya memulai Proyek Minas A dengan target start injection pada Desember 2025. Kemudian, implementasi steam flood di NDD stage 1-2 di Duri, program Minas D, dan pilot EOR Rama.

Pengembangan proyek EOR PHE tersebut menurut dia mendapat dukungan dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) melalui Kelompok Kerja (Pokja) EOR. Saat ini, kata dia, sudah ada surat perintah terkait percepatan implementasi EOR.
Terkait relatif tingginya biaya untuk implementasi EOR, Benny berharap pemerintah bisa memberikan tambahan insentif untuk proyek EOR yang akan dijalankan.

Terkait dengan itu, Sekretaris Satuan Kerja Khusus Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) Luky Yusgiantoro mengatakan, pihaknya tengah berdiskusi dengan Kementerian ESDM mengenaidukungan insentif fiskal EOR. Dia menegaskan bahwa SKK Migas mendukung insentif fiskal untuk proyek EOR. "Komersialnya tidak hanya pilot project, tapi berapa banyak kebutuhan surfaktan dan sebagainya. Ini yang sedang dikaji, dipantau tidak hanya Kementerian ESDM, tapi pokja-pokja,"jelasnya.

Baca Juga

Prabowo Panggil Bahlil ke Istana, Bahas Polemik Gas LPG 3 Kg?

Benny mengatakan, saat ini PHE mengelola wilayah kerja migas yang sebagian besar telah berusia di atas 30 tahun atau biasa disebut lapangan tua (mature). Untuk memproduksikan potensi minyak dari lapangan-lapangan tua ini dibutuhkan investasi yang cukup besar, antara lain untuk meningkatkan fasilitas yang sudah uzur. "Perlu investasi sangat besar untuk upgrade aging facilities sehingga dapat mengembalikan produksi menjadi lebih optimal,"jelasnya.

Kondisi lapangan yang tidak ekonomis tersebut mendorong PHE mengusulkan ke pemerintah untuk dilakukannya perbaikan fiskal sehingga pihaknya dapat memaksimalkan potensi lapangan-lapangan minyak tersebut. Perbaikan fiskal itu berupa skema bagi hasil yang lebih baik, sehingga operator dalam hal ini PHE bisa mempertahankan produksi dan menggali sumber daya lainnya yang berpotensi memperkuat ketahanan energi nasional.

Persoalan lapangan migas Indonesia yang rata-rata telah berusia tua itu dibenarkan oleh Direktur Eksekutif Reforminer Institute Komaidi Notonegoro. Dia mengatakan, sebanyak 52% dari 75 wilayah kerja migas produksi yang aktif tergolong dalam lapangan tua alias mature field. "Lima tahun terakhir 40-45% produksi minyak nasional diproduksi oleh lapangan yang sudah berproduksi selama 50 tahun,"tuturnya.

Untuk mengaktifkan kembali lapangan migas yang sudah tua itu diakuinya membutuhkan biaya cukup besar sehingga aspek keekonomian menjadi faktor utama dalam pengambilan keputusan. "Hal ini berkaitan dengan model bisnis dan skema kerja sama dengan mitra, yang sering kali memiliki sudut pandang berbeda. Apakah investasi ini cukup layak? Itulah tantangan utama yang dihadapi," tuturnya.

(fjo)

Read Entire Article
Perekonomian | Teknologi | Alam | Otomotif | Edukasi | Lifestyle |