Oleh : Ani W Soetjipto, Guru Besar HAM dan Gender di Departemen HI FISIP UI
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kurang dari satu bulan lagi Indonesia akan memasuki usianya yang ke-80. Namun, perayaan ini tidak dilaksanakan di IKN, melainkan kembali ke Jakarta. Hal ini memunculkan opini terkait kesiapan IKN menyandang status ibu kota yang baru.
Di samping itu, memang IKN masih menyimpan permasalahan. Antara lain, pengakuan atas ruang hidup masyarakat adat makin terdesak. Tak hanya persoalan budaya, air sebagai tonggak kehidupan pun sulit untuk didapatkan. Untuk itu, kami melakukan eksplorasi lebih jauh mengenai masyarakat adat Balik Sepaku sebagai masyarakat adat yang tak kunjung mendapatkan pengakuan.
Masyarakat Balik Sepaku adalah masyarakat yang mendiami Kecamatan Sepaku, Kabupaten Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur yang masuk dalam lingkup kawasan pembangunan IKN. Dalam narasi yang dominan, masyarakat adat Balik Sepaku secara hukum dan politik tidak dianggap eksis. Padahal faktanya, secara antropologis masyarakat adat Balik Sepaku memiliki identitas kultural berupa, bahasa, artefak, hingga ritual.
Selama berada di Sepaku pada minggu ketiga lalu di bulan Juli 2025, kami berusaha menelusuri resiliensi masyarakat adat Balik Sepaku terhadap krisis eksistensial yang mereka alami. Lewat pendekatan etnografis yang melibatkan pengamatan langsung dengan tokoh adat, kelompok perempuan, generasi muda, dan elemen pemerintahan yang paling dekat dengan masyarakat kami tidak hanya mencatat perubahan lanskap atau akses terhadap sumber daya, tetapi juga mencoba menangkap rasa kehilangan, ketegangan identitas, dan upaya bertahan.
Setiap kunjungan ke rumah dan kebun, cerita masa kecil yang dilalui anak-anak hari ini menunjukkan bahwa yang sedang dilawan bukan hanya perubahan, tetapi penghapusan identitas secara sistematis. Masyarakat adat Balik Sepaku kehilangan artefak , tradisi leluhur hingga situs situs sejarah makam leluhur akibat megaproyek pembangunan IKN.
Masyarakat adat Balik Sepaku menyikapi situasi ini dengan membentuk jaringan perlawanan bersama kelompok advokasi di luar mereka. Entah sudah berapa kali mereka melakukan unjuk rasa untuk memerjuangkan hak-hak mereka.
Persoalan yang menimpa masyarakat adat Balik Sipaku sesungguhnya juga telah disoroti berbagai Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), media, dan akademisi seperti kami. Buku karangan Bambang Susantono, mantan ketua Otorita Ibu Kota Nusantara (2022- 2024), “Nusantara Ver 1.0, the Untold Story", secara khusus juga menyoroti situasi masyarakat adat Sipaku yang terdampak dengan pembangunan IKN.
Upaya resiliensi juga dilakukan dengan pendampingan dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), untuk melakukan pengarsipan sejarah kultural mereka yang meliputi hal materiil dan ideasional. Tidak sedikit media dan akademisi meliput ke lapangan dan hadir di wilayah Sipaku untuk merekam dan menyuarakan kondisi mereka.
Hingga saat ini tampaknya belum ada respon positif dari tuntutan yang mereka perjuangkan. Mereka tentu tidak menyerah dan terus mencoba berbagai cara.
Di tengah peliknya marginalisasi yang dilakukan oleh korporasi dan juga negara terhadap masyarakat adat Balik Sepaku, timbul suatu pertanyaan besar mengenai keberlangsungan eksistensi mereka. Apakah mereka akan hanya dijadikan sebagai simbol tanpa memperhatikan keberlangsungan hidup mereka atau mereka hilang seutuhnya? Masyarakat adat Balik Sipaku tidak menolak perubahan ataupun pembangunan, yang ditolak adalah ketidakadilan.