Ini Cara Biar Indonesia Tidak Asik Sendiri Asal Kirim Film ke Oscar

3 hours ago 4

Jakarta, CNN Indonesia --

Indonesia sudah rutin mengirim film sejak 1987 untuk seleksi masuk kategori Best International Feature Film Academy Awards alias Piala Oscar. Namun, langkah setiap delegasi itu tak pernah lebih jauh dari tahap pertama.

Tahun ini, untuk kali ke-27, Komite Seleksi Oscar Indonesia (IOSC) mengirim satu film lagi ke Piala Oscar. Sore: Istri dari Masa Depan terpilih dan diharapkan bisa bicara banyak di Amerika Serikat sana.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Jika melihat ke dalam, memilih Sore tentu masuk akal. Film ini menandai capaian baru perfilman Indonesia berkat kualitas produksi hingga cerita yang menyentuh hati.

Karya terbaru Yandy Laurens itu juga menjadi primadona penonton saat tayang di bioskop. Torehan tiga juta penonton menjadi bukti nyata, bersama dengan reaksi hangat yang membanjiri media sosial.

Namun, berkaca dari tahun-tahun sebelumnya, euforia dalam negeri saja tidaklah cukup untuk membawa film Indonesia melangkah jauh di Oscar.

Ia membutuhkan usaha yang lebih keras, strategi yang lebih jitu, dan persiapan yang lebih matang. Dan semua itu, seharusnya, merupakan tanggung jawab komite seleksi.

"Panitia itu sering asik sendiri. Milih sendiri, enggak ada strategi nasional untuk filmnya. Enggak ada strategi kebudayaannya," ujar peneliti film Hikmat Darmawan kepada CNNIndonesia.com, beberapa waktu lalu.

 Istri dari Masa Depan (2025). (Cerita Films)Foto: (Cerita Films)
Film SORE: Istri dari Masa Depan (2025). (Cerita Films)

"Jadi, dia memandang Oscar itu ya sudah, pilih, didaftarkan, terus kita pengumuman di sini," lanjutnya.

Hikmat menilai kecenderungan 'asik sendiri' dan hanya sibuk dengan urusan dalam negeri perlu dihindari untuk memperbaiki capaian Indonesia dalam Oscar.

Sebab, film-film pesaing Indonesia dari negara lainnya mengerahkan usaha dan strategi ekstra untuk memperjuangkan delegasi mereka.

Semua usaha itu juga tidak bisa dilakukan instan. Menurut Hikmat, butuh program berjangka 5-10 tahun untuk menentukan arah dan target yang ingin dicapai Indonesia di Piala Oscar.

"Harus serius memprogram dalam jangka 5 tahun, 10 tahun itu apa yang bisa membuat film kita itu diperhatikan di ajang Oscar," ungkapnya.

Proyeksi jangka panjang itu lalu dapat diturunkan menjadi program tahunan yang diinisiasi komite serta didukung pemerintah. Eksekusinya juga perlu dilakukan sedini mungkin.

Bahkan, bagi Hikmat, pencarian kandidat delegasi Indonesia itu bisa dimulai ketika proyek tersebut masih tahap awal pengembangan. Proyek-proyek itu dapat ditemui di berbagai forum dan sesi film market.

Beberapa proyek incaran kemudian bisa dipantau perkembangannya hingga akhirnya tayang atau berkelana di festival film internasional.

"Movie scouting-nya itu bukan pas tahun film itu beredar, tapi sudah tahu mana yang akan diproduksi dan diproyeksikan kira-kira bisa kiprah di internasional. Jadi, lebih strategis," ujarnya.

"Misalnya film ini kayaknya potensial. Dia baru jadi dua tahun lagi dan dia akan premier di [festival] internasional. Itu dipantau," lanjut Hikmat.

Kematangan rencana dan strategi juga dibutuhkan setelah delegasi terpilih. Pada bagian ini, 'perang' sesungguhnya dimulai karena film yang dikirim akan bersaing dengan jagoan-jagoan dari negara lainnya.

Indonesia sebenarnya dapat 'mencontek' Korea Selatan yang mencetak sejarah lewat Parasite (2019), atau How to Make Millions Before Grandma Dies (2024) yang membawa Thailand selangkah lebih maju saat mampu masuk daftar pendek.

Jika capaian Parasite terasa terlalu jauh digapai, tengok saja strategi Thailand ketika membawa How to Make Millions Before Grandma Dies masuk daftar pendek kategori Best International Feature Film di Piala Oscar 2025.

Film garapan Pat Boonnitipat itu menerapkan strategi yang mirip Parasite, tetapi dalam skala lebih kecil. Perjalanan Grandma dibuka dengan torehan box office fenomenal di Thailand serta Asia Tenggara.

GDH 559, studio produksi film Grandma, lantas menggandeng Well Go USA Entertainment jadi distributor AS dan menggaet Shelter PR sebagai agensi yang mengurus kampanye.

Kampanye itu beriringan dengan keputusan komite seleksi memilih How to Make Millions Before Grandma Dies sebagai wakil Thailand di Piala Oscar.

Lewat kerja sama itu, mereka melakukan banyak strategi, seperti pemutaran spesial, mengundang pemeran untuk meet and greet dengan penonton, hingga memasang iklan di media Hollywood.

Film itu juga mengerahkan 'word of mouth' di media sosial dengan mengoptimalkan berbagai testimoni netizen yang membuat Grandma viral.

Bahkan, menurut pimpinan GDH 559 Yanisa Hankansujarit, netizen Indonesia ikut berperan dalam memuluskan jalan How to Make Millions Before Grandma Dies di panggung Oscar.

"Minggu pertama perilisan kami di Thailand, film ini sangat sukses. Lalu, negara berikutnya yang kami kunjungi adalah Indonesia," ujarnya pada Desember 2024.

"Orang Indonesia sangat suka menonton film di bioskop, dan ketika mereka sangat suka filmnya, mereka sangat intens di media sosial," lanjut Hankansujarit.

Strategi Thailand untuk How to Make Millions Before Grandma Dies itu rasanya masih cukup realistis untuk diadopsi di Indonesia. Terlebih, militansi pencinta film Indonesia tentu bakal berlipat jika dikerahkan untuk mendukung delegasi Indonesia.

Namun, kemauan untuk berjuang lebih keras dan tidak asik sendiri itu sayangnya masih menjadi tanda tanya yang harus dijawab komite seleksi hingga pemerintah.

(frl/end)

Read Entire Article
Perekonomian | Teknologi | Alam | Otomotif | Edukasi | Lifestyle |