Jakarta, CNBC Indonesia - Asia Tenggara, terutama Indonesia, menjadi sasaran produk China yang "dibuang" dari Amerika Serikat (AS). Hal ini tercermin dari melemahnya ekspor China ke AS tetapi sebaliknya kiriman barang ke Asia Tenggara melonjak tajam.
Data Bea dan Cukai China mencatat
Pertumbuhan ekspor China tidak memenuhi ekspektasi pada bulan Mei, terseret oleh penurunan tajam dalam pengiriman ke AS, dimana para analis mengatakan dampak gencatan senjata perdagangan Beijing-Washington akan terlihat pada data bulan Juni.
Ekspor China ke AS anjlok 34,5% dari tahun lalu, menandai penurunan paling tajam sejak Februari 2020, menurut Wind Information, ketika pandemi Covid-19 mengganggu perdagangan. Impor dari AS turun lebih dari 18%, dan surplus perdagangan China dengan Amerika menyusut 41,55% tahun ke tahun menjadi US$18 miliar.
Ekspor secara keseluruhan naik 4,8% bulan lalu dalam dolar AS dari tahun sebelumnya, data bea cukai menunjukkan pada hari Senin, kurang dari perkiraan jajak pendapat Reuters sebesar 5%.
Penurunan ekstrim ekspor ke AS mencerminkan tekanan akibat tarif tinggi dari kebijakan Presiden AS, Donald Trump, yang berlaku sejak April.
Penurunan impor menunjukkan lemahnya permintaan domestik di China, memperparah kondisi ekonomi di tengah pelemahan properti dan konsumsi.
Kendati tarif sebagian ditangguhkan setelah gencatan senjata selama 90 hari, pemulihan penuh masih terganggu ketidakpastian terkait tarif dan negosiasi lanjutan.
Bukti penurunan ekspor China ke AS pun terlihat dari data yang disajikan oleh General Administration of Customs of the People's Republic of China yang terus mengalami penurunan baik secara bulanan (month on month/mom) maupun dua bulan terakhir.
Ekspor China ke AS secara bulanan (April-Mei 2025) terjadi penurunan sebesar 12,73% yakni dari US$33.024 menjadi US$28.819. Sedangkan jika ditarik lebih jauh (Maret-Mei 2025), ekspor China ke AS juga terdepresiasi sebesar 28,06%.
Disaat yang bersamaan, ekspor China ke Indonesia pada periode Maret-Mei 2025 terjadi kenaikan sebesar 14,34% yakni dari US$6.202 ke US$7.092.
Begitu pula dengan ekspor China ke ASEAN dan Indonesia secara tahunan (Mei 2024 dengan Mei 2025) masing-masing mengalami kenaikan yakni sebesar 14,84% dan 11%.
RI Mulai Banjir Barang Impor China
Pengumuman kebijakan pengenaan tarif resiprokal yang tinggi oleh Presiden Trump ke negara-negara mitra dagangnya utamanya pada 2 April 2025, telah memberikan efek terhadap perekonomian Indonesia, salah satunya banjirnya barang impor dari China.
Defisit neraca perdagangan antara Indonesia dengan China bahkan memburuk hingga April 2025, Ditandai dengan melebarnya defisit neraca ekspor-impor periode Januari-April 2025 yang minus US$ 6,28 miliar, jauh lebih dalam dibandingkan dengan periode Januari-April 2024 yang sebesar US$ 3,02 miliar.
Ekonom yang juga merupakan Guru Besar bidang Ekonomi Pembangunan Universitas Andalas, Syafruddin Karimi mengatakan, fenomena melejitnya impor dari China merupakan imbas tidak langsung dari kebijakan tarif Presiden Donald Trump terhadap produk-produk China.
"Dalam konteks perang dagang yang terus bereskalasi, eksportir China mulai mengalihkan sebagian besar produk ekspornya ke negara-negara Asia Tenggara, termasuk Indonesia, untuk menghindari tarif tinggi dari Amerika Serikat," kata Syafruddin kepada CNBC Indonesia, dikutip Rabu (4/6/2025).
Ekonom yang juga merupakan Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia Telisa Aulia Falianty menyatakan hal serupa. Ia mengatakan, sebagai negara dengan jumlah penduduk lebih sari 280 juta jiwa dan status negara yang terus berkembang, tentu Indonesia menjadi negara pasar yang menarik bagi negara lain, khususnya China sebagai negara dengan kapasitas ekonomi terbesar kedua setelah AS.
Ketika AS memproteksi diri dengan mengenakan tarif dagang sampai 245% terhadap China. Tentu para eksportir negara-negara itu akan mengalirkan barang-barangnya ke negara dengan potensi pasar yang besar.
"Sudah ada dampak kenaikan tarif Trump, jadi kan China pasti kan mencari pasar baru, sehingga kenaikan impor ini bisa disebabkan itu," ungkpanya.
Direktur Eksekutif Center of Reform on Economic (CORE) Mohammad Faisal menambahkan, efek terus meningkatnya volume banjir impor barang-barang dari China sebetulnya juga bisa disebabkan rendahnya hambatan perdagangan Indonesia terhadap barang dari negara-negara itu.
Akibatnya, barang dari China mudah mengalir ke Indonesia, ketika pasar utamanya di AS ditutup jalurnya dengan pengenaan tarif tinggi.
BCA Laporkan Kemungkinan Dumping dari China
Bank Central Asia (BCA) pada 2 Juni 2025 mengeluarkan laporan dengan judul "Sinking through the fog" menunjukkan bahwa Impor Indonesia melonjak secara signifikan pada April 2025, terutama dari China dan Singapura. Impor dari China tumbuh +53,71% yoy dibandingkan tahun sebelumnya, jauh melampaui rata-rata.
Lonjakan tajam ini menimbulkan kekhawatiran bahwa barang-barang ini bukan hanya permintaan riil dari industri dalam negeri, tetapi kemungkinan merupakan dumping atau penyaluran kelebihan stok.
Laporan ini menyatakan secara eksplisit bahwa data perdagangan menunjukkan kemungkinan besar dumping atau kegiatan transshipment:
- Dumping: China mungkin membuang (dumping) barang berlebihnya ke pasar Indonesia karena tidak bisa masuk ke AS akibat tarif tinggi dari Trump.
- Transshipment: Barang dari China bisa jadi dialihkan sementara melalui Indonesia untuk menghindari tarif AS, lalu diekspor kembali.
Jika dumping benar terjadi, dampaknya bisa menguntungkan konsumen dalam jangka pendek karena harga barang impor yang lebih murah dapat menekan inflasi. Namun, efek jangka panjangnya negatif bagi industri lokal, karena:
1. Produsen lokal kalah saing dari barang impor murah.
2. PHK dan kontraksi sektor manufaktur: PMI manufaktur Indonesia sudah dua bulan berturut-turut berada di bawah 50 (kontraksi), menandakan tekanan di sektor industri.
CNBC INDONESIA RESEARCH
(rev/rev)