CNN Indonesia
Jumat, 27 Jun 2025 10:23 WIB

Jakarta, CNN Indonesia --
Jepang kembali mengeksekusi seorang narapidana yang dijatuhi hukum mati.
Stasiun televisi NHK melaporkan ini adalah eksekusi hukuman mati pertama yang dilakukan Jepang sejak 2022.
Kementerian Kehakiman Jepang menolak mengonfirmasi eksekusi tersebut kepada AFP. Namun, NHK, mengutip sumber dari pemerintah, menyebutkan bahwa narapidana itu adalah seorang pria yang telah membunuh sembilan orang.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Melansir Channel News Asia, narapidana tersebut adalah akahiro Shiraishi, pria berusia 34 tahun yang membunuh sembilan orang pada 2017.
Shiraishi yang dijuluki "pembunuh Twitter" dijatuhi hukuman mati karena membunuh dan memotong-motong tubuh sembilan orang yang ia temui melalui platform media sosial Twitter alias X.
Sebagian besar korbannya perempuan berusia 15 hingga 26 tahun. Ia membawa korban ke apartemennya di dekat Tokyo lalu membunuh mereka dan memotong-motong tubuh mereka.
Ia mengakui telah membunuh kesembilan korban, setelah sebelumnya menjalin kontak dengan para korban yang memiliki kecenderungan bunuh diri melalui Twitter dan menawarkan bantuan untuk mengakhiri hidup mereka.
Jepang merupakan salah satu negara G7 yang masih mempertahankan hukuman mati. Survei pemerintah Jepang pada 2024 terhadap 1.800 responden menunjukkan bahwa 83 persen menganggap hukuman mati sebagai sesuatu yang "tidak bisa dihindari".
Sebelumnya, eksekusi hukuman mati dijatuhkan pada Tomohiro Kato pada 2022. Tomohiro Kato adalah pelaku penyerangan massal di Tokyo pada 2008.
Saat itu, ia menabrakkan truk sewaan seberat dua ton ke kerumunan orang di distrik Akihabara, Tokyo, lalu keluar dan melakukan penusukan secara membabi buta hingga menewaskan tujuh orang.
Kementerian Kehakiman mencatat per Desember 2023, sekitar 107 narapidana masih menunggu eksekusi hukuman mati mereka. Hukuman tersebut selalu dilakukan dengan cara digantung.
Undang-undang menyatakan bahwa eksekusi harus dilakukan dalam waktu enam bulan setelah putusan akhir dijatuhkan dan semua proses banding telah selesai.
Namun dalam prakteknya, sebagian besar narapidana dibiarkan dalam ketidakpastian di sel isolasi selama bertahun-tahun bahkan terkadang berdekade-dekade hingga menyebabkan dampak serius terhadap kesehatan mental mereka.
(fby/mik)