Gelson Kurniawan, CNBC Indonesia
29 December 2025 11:35
Jakarta, CNBC Indonesia - Euforia libur panjang Natal dan Tahun Baru (Nataru) 2025 ternyata tidak serta-merta membawa angin segar bagi seluruh emiten perhotelan di pasar modal Indonesia.
Di tengah kabar lonjakan tingkat hunian kamar di berbagai destinasi wisata unggulan, kinerja saham sektor ini justru memperlihatkan anomali yang cukup mencolok.
Berdasarkan data perdagangan Bursa Efek Indonesia (BEI) periode 15 hingga 29 Desember 2025, mayoritas saham emiten hotel justru terperosok ke zona merah. Jika mengacu pada rata-rata kinerja sektor-dengan mengecualikan saham yang tidak aktif-tercatat terjadi koreksi sebesar 1,70%.
Angka ini memberikan sinyal keras bahwa sentimen musiman tidak mampu menahan gelombang aksi profit taking yang dilakukan oleh para pelaku pasar atau memang saham tersebut tidak cukup likuiditas untuk mendongkrak naik kinerjanya.
Polarisasi Kinerja Emiten Perhotelan
Pasar memperlihatkan divergensi yang tajam antara saham yang digerakkan oleh fundamental dengan saham yang murni bergerak karena spekulasi.
Di kubu positif, PT Menteng Heritage Realty Tbk (HRME) memimpin dengan lonjakan fantastis sebesar +25,00%. Kenaikan ini dinilai sebagai anomali pasar, mengingat pergerakannya yang sangat agresif dibandingkan rekan sejenisnya.
Apabila dilihat, kenaikan ini lebih didominasi oleh aktivitas transaksi jangka pendek atau musiman ketimbang cerminan langsung dari kinerja operasional hotel semata.
Sementara itu, apresiasi yang lebih rasional ditunjukkan oleh PT Eastparc Hotel Tbk (EAST) yang menguat +9,57%. Berbasis di Yogyakarta, emiten ini menjadi satu-satunya yang berhasil mengonversi sentimen positif "full booked" liburan Nataru menjadi kenaikan harga saham yang solid.
Konsistensi pembagian dividen dan lokasi strategis di pusat wisata budaya menjadikan EAST sebagai "safe haven" bagi investor yang mencari kepastian di tengah volatilitas.
Adapun PT Arthavest Tbk (ARTA) dan PT Hotel Sahid Jaya Tbk (SHID) bergerak moderat di zona hijau dengan kenaikan di bawah 1%, mencerminkan sikap wait and see dari para pemegang sahamnya.
Foto: Hotel di Senggigi, Lombok (CNBC Indonesia/Tri Susilo)
Runtuhnya Saham Lapis Kedua dan Ketiga
Kontras dengan kemeriahan di dunia nyata, koreksi justru terjadi pada saham-saham hotel lapis kedua dan ketiga. Fenomena klasik buy on rumor, sell on news memakan banyak korban di segmen ini.
PT Hotel Fitra Tbk (FITT) menjadi emiten dengan kinerja terburuk, tergerus hingga -18,32%. Penurunan ini disusul oleh PT Red Planet Indonesia Tbk (PSKT) yang anjlok -13,33%. Kedua saham ini disinyalir telah mengalami kenaikan harga spekulatif sebelum bulan Desember.
Ketika berita liburan ramai muncul di media massa, para smart money justru memanfaatkan momen tersebut untuk melakukan distribusi atau jualan, meninggalkan investor ritel yang terlambat masuk.
Tekanan juga dialami oleh emiten-emiten besar yang memiliki eksposur di lokasi non-wisata utama atau memiliki beban korporasi. PT Jakarta International Hotels & Development Tbk (JIHD) terkoreksi -5,17%, akibat karakteristik hotel bisnis di Jakarta yang cenderung sepi saat ditinggal mudik warganya.
Sementara itu, PT Bukit Uluwatu Villa Tbk (BUVA) melemah -4,06%, di mana isu fundamental terkait utang perseroan tampaknya masih menjadi pemberat utama meski memiliki aset premium di Bali.
Pelajaran Penting Window Dressing 2025
Rapor kinerja akhir tahun ini memberikan satu benang merah penting bagi para investor: Kepadatan lobi hotel tidak selalu berbanding lurus dengan portofolio hijau.
Momentum Nataru 2025 membuktikan bahwa pasar saham jauh lebih kompleks daripada sekadar data okupansi. Investor yang hanya mengandalkan sentimen berita tanpa melihat likuiditas dan tren harga sebelumnya berisiko terjebak di pucuk harga.
Strategi stock picking yang selektif memilih emiten dengan cashflow sehat seperti EAST atau momentum teknikal kuat seperti HRME terbukti jauh lebih unggul dibandingkan sekadar membeli saham hotel secara acak karena alasan liburan.
-
Sanggahan: Artikel ini adalah produk jurnalistik berupa pandangan CNBC Indonesia Research. Analisis ini tidak bertujuan mengajak pembaca untuk membeli, menahan, atau menjual produk atau sektor investasi terkait. Keputusan sepenuhnya ada pada diri pembaca, sehingga kami tidak bertanggung jawab terhadap segala kerugian maupun keuntungan yang timbul dari keputusan tersebut.
CNBC INDONESIA RESEARCH
(gls/gls)

2 hours ago
1
















































