Karma Digital dan Dosa Turunan di Era Smartphone

6 hours ago 1

Oleh: Rusydi Umar*) 

Di era digital yang serba canggih ini, kita sering membayangkan bahwa identitas online sepenuhnya bisa kita kontrol: keluar dari akun, log out, atau menghapus aplikasi. Namun, kenyataannya tidak sesederhana itu. Salah satu contoh nyata datang dari sebuah aplikasi popular, TikTok. 

Beberapa pengguna melaporkan keluhan saat menggunakan akun baru di ponsel yang sebelumnya pernah dipakai akun TikTok lain. Ternyata, fitur reward tidak bisa diaktifkan. 

Pesan yang muncul pun tegas, “Silakan gunakan akun pertama yang terdaftar di perangkat ini.” Meski aplikasi sudah dihapus dan di-install ulang atau data sudah dibersihkan, sistem TikTok tetap mengenali bahwa perangkat ini pernah terhubung dengan akun sebelumnya. 

Fenomena ini menimbulkan pertanyaan. Apakah kita sedang menghadapi bentuk baru dari “karma digital”? Dalam arti, reputasi digital kini menempel pada perangkat keras, bukan hanya akun pribadi. 

Melekat pada perangkat 

TikTok, seperti banyak aplikasi lain, mengembangkan sistem deteksi dan mengantisipasi kecurangan (anti-fraud). Ia juga mencegah pengguna membuat banyak akun demi memanfaatkan fitur reward

Salah satu caranya adalah melacak perangkat. Meskipun TikTok tidak secara gamblang menyebut parameter teknis yang dipakai, kemungkinan besar sistem mereka mencatat kombinasi informasi, seperti IMEI, alamat MAC, sidik jari perangkat (device fingerprinting), dan pola perilaku pengguna.

Dalam praktiknya, ini berarti sistem tetap mengingat “sejarah” dari perangkat yang kita pakai meskipun kita telah membuat akun baru. Ibarat seseorang yang membeli rumah bekas, tetapi rumah itu ternyata pernah digunakan untuk kejahatan. Maka, penghuni baru akan tetap diawasi lebih ketat. Begitulah kira-kira ilustrasi sederhana dari reputasi digital yang menempel pada ponsel (smartphone). 

Behaviour first vs identity first

Menariknya, pendekatan TikTok berbeda daripada media-media sosial lain, seperti Instagram. TikTok lebih mementingkan behaviour first, yakni perilaku pengguna di perangkat tertentu, sebelum mempertimbangkan identitas akun. Sementara, Instagram cenderung menerapkan identity first, yakni verifikasi identitas seperti nomor telepon, e-mail, dan autentikasi dua langkah sebagai pintu utama. 

Ini menjelaskan mengapa TikTok bisa memberikan sanksi atau pembatasan fitur reward hanya karena perangkat “pernah digunakan” untuk akun lain. Bahkan, jika pengguna saat ini tidak tahu-menahu soal itu. 

Di sisi lain, Instagram bisa memindahkan identitas pengguna dari satu perangkat ke perangkat lain tanpa mengaitkan reputasi buruk dari perangkat sebelumnya. 

Etika dan keadilan dalam dunia digital 

Persoalan ini membuka ruang diskusi tentang etika dan keadilan digital. Apakah adil jika seseorang yang membeli smartphone bekas harus menanggung “dosa digital” pemilik sebelumnya? Bagaimana jika anak menggunakan ponsel orang tua (atau sebaliknya), lalu akses terhadap fitur tertentu ditolak karena reputasi masa lalu? 

Dalam Islam, prinsip keadilan sangat dijunjung tinggi. Setiap orang bertanggung jawab atas amalnya sendiri. 

"Dan seseorang tidak akan memikul beban dosa orang lain" (QS al-An’am: 164). 

Prinsip ini seharusnya juga tercermin dalam teknologi digital yang kita kembangkan. Tidak semestinya sistem menghukum pengguna baru atas perbuatan pengguna lama hanya karena memakai alat yang sama. 

Namun, tentu saja dari sisi pengembang, pendekatan ini merupakan bentuk kehati-hatian agar sistem tidak dieksploitasi. Sistem reward bisa dimanipulasi dengan membuat banyak akun di satu perangkat sehingga pelacakan perangkat menjadi “jalan tengah” antara keamanan dan kemudahan. 

Belajar dari kasus TikTok 

Kasus TikTok ini memberi kita pelajaran penting tentang bagaimana data dan sistem bekerja di balik layar. Smartphone bukan lagi benda netral; ia menyimpan sejarah, jejak digital, bahkan 'reputasi' yang bisa memengaruhi pengalaman digital penggunanya. 

Dalam konteks ini, terjadi pergeseran. Yang dinilai bukan hanya siapa kita, tapi dari mana kita mengakses. 

Apakah ini berarti kita harus selalu membeli smartphone baru agar bebas dari karma digital? Tentu tidak. 

Namun, penting bagi pengguna untuk sadar bahwa rekam jejak digital bisa melekat bukan hanya pada akun, tetapi juga perangkat. Di sisi lain, pengembang aplikasi juga perlu terus meninjau pendekatan yang digunakan agar tetap adil dan transparan. 

Penutup

“Karma digital dan dosa turunan” mungkin terdengar seperti istilah hiperbolik. Namun, fenomena ini nyata dan makin relevan seiring berkembangnya algoritma dan teknologi pelacakan. 

Kita sedang hidup di zaman ketika jejak perilaku digital lebih berbicara daripada sekadar nama atau identitas akun. 

Maka, penting bagi kita semua—baik pengguna, pengembang, maupun pembuat kebijakan—untuk memikirkan kembali, bagaimana keadilan dan etika diterapkan di dunia digital. 

Sebab, di era algoritma, siapa yang dinilai dan apa yang dihakimi bukan lagi soal hitam-putih, melainkan jejak yang tertinggal meski sudah berganti tangan.

*) Rusydi Umar PhD adalah dosen Program Studi S3 Informatika Universitas Ahmad Dahlan (UAD) Yogyakarta

Read Entire Article
Perekonomian | Teknologi | Alam | Otomotif | Edukasi | Lifestyle |