Kebijakan Dolar, apa yang Tertinggal?

3 hours ago 3

Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com

Beberapa hari terakhir muncul wacana menaikkan bunga deposito valas di bank-bank Himbara untuk menarik arus modal masuk. Ide ini sederhana: buat simpanan dolar di dalam negeri lebih atraktif, maka dana asing akan mengalir. Tetapi justru di sinilah letak menariknya dilema moneter, seringkali selalu ada unintended consequence yang mengharuskan kebijakan dilakukan secara persisi.

Ketika bunga deposito USD naik, apa yang terjadi pertama kali bukan inflow asing, tapi shifting domestik: deposan dalam negeri mengalihkan rupiah menjadi dolar. Bank dapat tambahan funding dalam USD, tetapi dari mana? Dari penukaran rupiah yang terjadi di dalam sistem. Terjadi penambahan permintaan akan dollar. Dana dolar yang terkumpul ini hanya menambah sisi kewajiban bank, tanpa aset baru yang menopang.

Kita menambah "liabilitas dolar," tapi tidak menciptakan kapasitas produktif atau cadangan devisa riil. Apakah kebijakan ini bisa dibilang kurang tepat? Nanti dulu, karena kebijakan apapun kita, kita harus melihat secara utuh dari proses, filosofi dan apa yang hendak dicapai.

Sebenarnya, kebijakan ini tidak harus menjadi hal yang menyebabkan terjadinya pelemahan rupiah, kalau begitu ada ekspektasi kenaikan bunga deposito dolar di dalam negeri, ini diiringi dengan kenaikan permintaan akan pinjaman dolar. Alasannya gampang, pasar mata uang begitu mendapatkan likuiditas dollar baru langsung paham nanti ini akan dibayar kembali lewat apa?

Ini juga menjadi alasan bertahun-tahun kenapa tingkat deposito dolar di Indonesia ini rendah, karena memang jumlah permintaan untuk pinjaman dolar juga turun, seiring dengan berhasilnya kewajiban penggunaan rupiah yang muncul di tahun 2014.

Kalau seandainya, secara langsung setelah ini, kita mendapatkan prospek kredit dalam USD yang sebanding dengan inflow yang akan masuk, mungkin dari perusahaan Indonesia yang berorientasi ekspor atau ada kebutuhan pembayaran dolar yang clear dari Pertamina atau PLN, maka ada prospek inflow dollar baru akan terlihat, dan tidak akan ada pelemahan rupiah.

Ketiadaan prospek dari aliran kredit dolar setelah penambahan likuiditas dolar (Liabilities dolar perbankan), maka secara natural akan meningkatkan permintaan dolar di masa depan, paling tidak sebesar tingkat suku bunga yang dibayarkan. Kami menyebut ini, sebagai masalah kelangkaan aset dollar.

Bukan likuiditas-nya yang kurang, LDR non Rupiah kita sudah di bawah 80%, tapi untuk mempertahankan putaran dolar di dalam negeri, kita juga harus punya aset dolar, baik itu pinjaman dolar, obligasi dolar, yang tentunya punya pembayaran dolar. Hal ini nantinya yang akan membuat kita memiliki ketersediaan dolar yang cukup di masa depan.

Dana dolar yang terkumpul ini hanya menambah sisi kewajiban bank, tanpa aset baru yang menopang. Kita menambah "liabilitas dolar," tapi tidak menciptakan kapasitas produktif atau cadangan devisa riil.

Bayangkan, kalau semakin banyak dolar masuk ke Indonesia, tetapi tidak back-to-back langsung dengan adanya aktivitas yang secara natural menerima dolar, maka kita akan menghadapi situasi dimana pembayaran bunga dolar semakin besar di masa yang akan datang, tanpa adanya prospek income dolar baru. Di sisi lain, juga ada migrasi dari simpanan rupiah kepada simpanan dolar.

Ini mungkin menjelaskan sebagian kenapa Rupiah melemah ke level 16,700. Akan ada inflow dolar baru yang cukup besar, yang akan menjadi kewajiban perbankan dengan tingkat suku bunga yang kompetitif, tapi belum diketahui, apakah akan ada pinjaman atau obligasi dolar yang menyerap likuiditas tersebut, sehingga perekonomian kita akan butuh mencari dollar yang lebih besar lagi di masa depan. Sebelum asset dollar baru muncul, akan sulit untuk menerka arah nilai tukar rupiah.

Sisi Asset Tertinggal, Mari Kita Kejar, Atau Terpaksa Melambat Lagi
Untuk menyeimbangkan prospek dolar, kebijakan harus diambil secara koheren, antara menarik dollar dari luar negeri, bersamaan dengan pendalaman pasar FX dalam negeri dan penerbitan asset dollar di dalam negeri untuk menyerap likuiditas baru yang muncul tadi. Berbagai instrumen pinjaman atau hedging harus ada di dalam negeri, untuk menjadi counterpart dari likuiditas baru yang masuk.

Kondisi menarik di dalam negeri, yang terpantau beberapa tahun terakhir adalah kondisi di mana perusahaan-perusahaan yang biasa mencari pembiayaan dalam dolar, mulai berpindah menjadi issuer obligasi rupiah, yang dikarenakan karena terlalu murahnya biaya swap dari rupiah ke dolar. Ini membuat kita juga kehilangan sisi aset dolar. Tapi memang kita harus aware, saat ini status safe haven dolar sudah turun, sehingga tidak terlalu menarik dan murah lagi untuk issue obligasi dalam dolar.

Hal ini harus dipikirkan oleh pemerintah, dan pemangku kebijakan sektor keuangan, kalau seandainya kita akan mendapatkan inflow dolar yang besar. Dalam situasi hari ini, kalau memang, sektor swasta domestik tidak bisa menyediakan asset produktif untuk tempat penempatan dolar, maka BUMN dan pemerintah harus masuk menyediakan aset produktif.

Dalam hal ini, obligasi dolar Pertamina, obligasi dolar PLN, obligasi pemerintah berdenominasi dolar, ataupun BUMN yang berbasis ekspor bisa menjadi hal yang harus di keluarkan ke pasar secepatnya. Atau dalam hal lain, pemerintah dan Danantara bisa lebih kreatif, dengan memberi arahan untuk bank-bank Himbara untuk ekspansi pembiayaan ekspor atau membuka cabang di luar negeri untuk menyalurkan dana Dollar yang telah mereka dapatkan.

Akan lebih baik memang, kalau pembiayaan-pembiayaan dollar tadi dilakukan lewat sistem perbankan dalam negeri, namun kita tetap harus melakukan smoothing untuk balance of payment Indonesia lewat tambahan likuiditas dari pasar global.

Kalau seandainya excess liquidity dollar yang akan kita dapatkan dari masuknya inflow baru bisa cocok dengan penerbitan instrumen baru atau pun loan baru ini, maka ketakutan akan nilai tukar rupiah yang melemah akan selesai dan rupiah bisa berubah jadi menguat tajam, kembali ke level Rp 16.000 atau lebih kuat karena dari aktifitas dan adanya aset dalam dolar yang kalau bisa dimiliki oleh entitas dalam negeri, bisa menjadi mesin penerimaan devisa baru bagi negara.

Inilah yang harus kita tuju dalam kebijakan dollar, peningkatan sisi aset, bukan hanya liabilitas.

Pada akhirnya, kebijakan dolar bukan sekadar soal suku bunga atau selisih yield. Ia adalah cermin dari kemampuan kita menyediakan aset produktif dalam mata uang yang paling diperebutkan dunia. Tanpa itu, setiap tambahan likuiditas dolar hanya akan berubah menjadi beban bunga, bukan peluang pertumbuhan.

Karena itu, tantangan kita bukan hanya menarik dolar masuk, melainkan memastikan dolar itu punya rumah, punya proyek, dan punya imbal hasil yang nyata di tanah air. Jika kita berhasil, maka setiap inflow tidak lagi sekadar liability, tetapi menjadi mesin kedaulatan ekonomi. Dan di titik itulah, rupiah tak sekadar bertahan, ia bisa berdiri lebih tegak.


(miq/miq)

Read Entire Article
Perekonomian | Teknologi | Alam | Otomotif | Edukasi | Lifestyle |