
Oleh : Fahmi Salim, Ketua Umum Forum Dai dan Mubaligh Azhari Indonesia (FORDAMAI)
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Di tengah dunia yang semakin sibuk mengejar materi, jabatan, dan pengakuan sosial, muncul pertanyaan mendasar yang sering terlupakan: apa sebenarnya sumber kebahagiaan hidup yang sejati?
Jawabannya, jika kita menelusuri berbagai penelitian psikologi dan ajaran spiritual, ternyata terletak bukan pada hal-hal di luar diri, melainkan pada kekuatan batin yang disebut kekuatan spiritual — spiritual strength.
Makna dan Sumber
Kekuatan spiritual bukan sekadar rutinitas ritual keagamaan atau dogma, tetapi daya batin yang memberi makna, arah, dan keseimbangan pada kehidupan. Ia muncul dari kesadaran terdalam bahwa hidup ini memiliki tujuan yang lebih tinggi dari sekadar mengejar kesenangan.
Dalam tradisi Islam, hal ini dikenal sebagai quwwah rūḥiyyah — kekuatan ruhani yang tumbuh dari iman, doa, sabar, dan syukur.
Ketika hati terhubung dengan Tuhan, manusia tidak lagi menjadi budak dari keadaan. Ia bisa bahagia dalam keterbatasan, dan tenang di tengah badai. “Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram.” (QS. Ar-Ra’d [13]: 28)
Kebahagiaan yang Tak Mudah Goyah
Psikologi modern membedakan antara dua bentuk kebahagiaan:
• hedonic happiness — kebahagiaan dari kesenangan sesaat, dan
• eudaimonic happiness — kebahagiaan dari hidup yang bermakna.
Kekuatan spiritual menuntun manusia ke bentuk kebahagiaan kedua. Ia membuat seseorang tetap tenang meski dunia luar bergejolak.
Orang yang bersyukur kepada Allah, yang memahami makna dari setiap ujian, tidak mudah runtuh oleh kehilangan. Ia menemukan ketenangan di dalam hati, bukan di luar dirinya.
“Sungguh menakjubkan urusan orang mukmin. Semua urusannya baik baginya. Jika mendapat kesenangan, ia bersyukur maka itu baik baginya; jika ditimpa kesusahan, ia bersabar maka itu juga baik baginya.” (HR. Muslim)
Kekuatan Spiritual Sebagai Kompas dan Perisai
Dalam menghadapi krisis hidup, kekuatan spiritual berperan sebagai kompas moral dan perisai mental. Ia memberi arah saat kita tersesat, dan daya tahan ketika hidup terasa berat.
Orang yang kuat secara spiritual melihat penderitaan bukan sebagai hukuman, melainkan sebagai ruang pembelajaran.
“Dan sungguh Kami akan menguji kamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan berikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar.” (QS. Al-Baqarah [2]: 155)
Konsep ini dikenal dalam psikologi modern sebagai spiritual resiliensi — ketangguhan jiwa yang bersumber dari iman.
Orang yang memiliki kekuatan spiritual tidak kehilangan harapan meski situasi tampak gelap. Sebaliknya, ia memaknai setiap ujian sebagai jalan untuk naik kelas secara ruhani.
Kebahagiaan yang Menular: Dari Hati ke Sesama
Kekuatan spiritual sejati selalu menampakkan dirinya dalam tindakan sosial. Seseorang yang dekat dengan Tuhan akan memiliki empati, kasih sayang, dan kepedulian terhadap sesama.
“Tidak beriman seseorang hingga ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri.” (HR. Bukhari & Muslim)
Artinya, kebahagiaan spiritual bukan hanya tentang damainya hati, tetapi juga tentang bagaimana seseorang membawa damai itu ke dalam masyarakat: dengan memberi, menolong, dan memaafkan.
Dari sinilah muncul kebahagiaan yang paling dalam — the joy of giving. “Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa.” (QS. Al-Mā’idah [5]: 2)
Pelajaran dari Gaza: Bahagia di Tengah Reruntuhan
Jika ingin melihat bagaimana kekuatan spiritual bekerja nyata, lihatlah rakyat Gaza. Selama belasan tahun mereka hidup di bawah blokade, kehilangan rumah, keluarga, dan pekerjaan.
Namun di balik puing dan gelapnya malam tanpa listrik, masih terdengar tawa anak-anak, lantunan azan dan tilawah imam nan sahdu dari masjid yang setengah roboh, dan doa khusyuk para ibu yang memasak dengan air mata.
Apa yang membuat mereka bertahan?
Jawabannya adalah iman dan makna hidup. Mereka tahu bahwa penderitaan mereka tidak sia-sia, melainkan bagian dari perjuangan mempertahankan martabat dan keyakinan.
“Janganlah kamu merasa lemah dan janganlah bersedih hati, kamu paling tinggi derajatnya jika kamu orang-orang yang beriman.” (QS. Āli ‘Imrān [3]: 139)
Bagi mereka, hidup bukan soal kenyamanan, tapi soal kebermaknaan.
Kebahagiaan tidak datang dari banyaknya harta, tapi dari keyakinan bahwa Allah selalu bersama mereka.
Inilah kekuatan spiritual dalam bentuk paling murni: ketika manusia tersenyum bukan karena situasi membahagiakan, tapi karena hatinya yakin kepada Tuhan.
Sosiolog dan teolog sering menyebut Gaza sebagai “sekolah keteguhan spiritual dunia modern”.
Anak-anak dan pemuda mungkin banyak yang putus sekolah. Tapi dari merekalah kita belajar keteguhan spiritual yang indah dan agung. Di tempat di mana semua hal materi dirampas, yang tersisa hanyalah ruh — dan dari ruh itulah lahir keteguhan, harapan, dan bahkan kebahagiaan.
Menemukan Keseimbangan Dunia dan Akhirat
Kekuatan spiritual bukan berarti menjauh dari dunia. Justru ia membuat manusia lebih produktif, disiplin, dan bermoral karena hidupnya memiliki arah.
Islam mengajarkan prinsip tawazun — keseimbangan: bekerja keras untuk dunia tanpa melupakan akhirat.
“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu kebahagiaan negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bagianmu di dunia.” (QS. Al-Qashash [28]: 77)
Keseimbangan inilah yang membuat seseorang bisa mengejar cita-cita duniawi tanpa kehilangan ketenangan batin.
Ia berjuang, tetapi tetap tawakal. Ia berusaha maksimal, tetapi tahu bahwa hasil akhir adalah urusan Tuhan.
Kebahagiaan sebagai Perjalanan, Bukan Tujuan
Dalam perspektif spiritual, kebahagiaan bukan tujuan akhir, melainkan perjalanan menuju Tuhan. Kita bahagia bukan karena sudah sampai, tetapi karena setiap langkah memiliki makna ibadah.
Ketika bekerja menjadi ladang amal saleh, membantu orang lain menjadi bentuk zikir sosial, dan sabar menjadi bukti cinta kepada Sang Pencipta — maka hidup sepenuhnya menjadi ibadah.
“Katakanlah: Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam.” (QS. Al-An‘ām [6]: 162)
Kesimpulan
Kekuatan spiritual adalah pusat gravitasi kebahagiaan manusia.
Ia memberi makna pada penderitaan, arah pada kesuksesan, dan ketenangan di tengah kekacauan.
Tanpa kekuatan spiritual, kebahagiaan mudah rapuh — bergantung pada nasib dan keadaan.
Dengan spiritualitas yang hidup, hidup menjadi perjalanan penuh makna, dan kebahagiaan menjadi buah alami dari hati yang bersyukur.
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum hingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.” (QS. Ar-Ra‘d [13]: 11)
Dari kekuatan spiritual itulah lahir ketenangan yang tidak bisa dibeli, kebahagiaan yang tidak bisa dirampas, dan harapan yang tidak akan pernah padam.
Jakarta, 24 Oktober 2025
Renungan sufistik ini kami sampaikan dalam khutbah Jum’at pada hari ini di Masjid Agung Al-Azhar, Kebayoran Baru Jaksel.

4 hours ago
1













































