Kenaikan Anggaran Polri dan Memastikan Agenda Reformasi Institusional

5 hours ago 2

Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com

Baru kemarin, tepatnya pada 1 Juli 2025, kita memperingati Hari Ulang Tahun Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) yang ke-79 atau yang dikenal sebagai Hari Bhayangkara. Peringatan ini bukan sekadar rutinitas tahunan, melainkan refleksi atas perjalanan panjang institusi yang lahir dari Peraturan Presiden Nomor 11 Tahun 1946.

Tahun ini, tema yang diusung adalah "Polri untuk Masyarakat", sebuah frasa yang jika ditelaah lebih dalam, mengandung pesan kuat bahwa Polri berasal dari rakyat, bekerja untuk rakyat, dan seharusnya mengabdi kepada bangsa dan negara, bukan malah menjadi alat kekuasaan atau tempat berlindung para oknum pelanggar hukum.

Namun, cita-cita luhur tersebut tampaknya masih jauh panggang dari api. Di tengah upaya menegaskan transformasi institusional, mendekatkan diri secara emosional kepada publik, dan membangun pelayanan berbasis kebutuhan masyarakat, realitas di lapangan menunjukkan begitu banyak paradoks.

Belum selesai publik melupakan tragedi penembakan sesama aparat, pelecehan seksual, kekerasan terhadap warga sipil, dan perilaku amoral sejumlah oknum polisi, kita kembali diguncang dengan kabar kematian Brigadir Nurhadi di Gili Trawangan yang diduga melibatkan pesta, minuman keras, dan praktik amoral lainnya. Seakan belum cukup, sebanyak 7 (tujuh) orang polisi termasuk Kasat Narkoba Polres Nunukan juga ditangkap karena terlibat jaringan narkoba.

Publik sudah sangat muak. Percayalah, bukan hanya satu, dua, atau tiga kali kesalahan itu terjadi. Deretan kasus yang mencoreng nama institusi kepolisian sudah menjadi tontonan sehari-hari. Media sosial membuktikan bahwa krisis kepercayaan terhadap Polri makin menguat.

Maka, pertanyaannya: Sudahkah agenda reformasi institusional Polri benar-benar dilakukan secara serius? Ataukah masih sebatas jargon seremonial yang dikemas dengan baliho dan pidato?

Kenaikan Anggaran?
Dalam suasana kebatinan semacam ini, permintaan tambahan anggaran Polri untuk tahun 2026 sebesar Rp63,7 triliun, sehingga total anggaran mencapai Rp173,3 triliun, patut dipertanyakan secara teknokratik dan moral. Perinciannya memang terlihat meyakinkan: belanja pegawai (Rp4,8 triliun), belanja barang (Rp13,8 triliun), hingga belanja modal (Rp45,1 triliun).

Namun, tanpa transparansi yang memadai, tanpa peta jalan reformasi yang jelas, dan tanpa indikator keberhasilan yang dapat diaudit publik, maka kenaikan anggaran ini lebih tampak sebagai penguatan status quo, bukan transformasi.

Anggaran untuk pembelian kendaraan listrik, pembangunan rumah dinas, hingga kapal cepat pemburu memang penting. Tapi, apa gunanya infrastruktur megah jika mental aparat masih bobrok? Apa maknanya peningkatan tunjangan jika publik masih harus "bayar, bayar, dan bayar..." untuk mengurus SIM, STNK, hingga laporan kehilangan barang?

Lirik lagu dari Sukatani yang berjudul "Bayar, Bayar, Bayar" menjadi gambaran paling telak atas distorsi pelayanan publik oleh institusi kepolisian: "Mau korupsi, bayar polisi. Mau gusur rumah, bayar polisi. Mau babat hutan, bayar polisi. Mau jadi polisi, bayar polisi."

Apakah ini yang dimaksud dengan "Polri untuk masyarakat"? Apakah ini hasil dari transformasi institusi? Bukankah publik pantas bertanya: apakah anggaran sebesar itu benar-benar digunakan untuk meningkatkan keadilan, pelayanan, dan akuntabilitas, atau justru menambah ruang untuk menyemai rente dan patronase.

Tepat Sasaran
Dalam rapat kerja bersama Komisi III DPR, usulan kenaikan anggaran Polri menjadi yang terbesar dibandingkan institusi lainnya. Namun ini ironis, karena pada hari yang sama, Menteri Keuangan Sri Mulyani menyampaikan proyeksi defisit APBN 2025 sebesar Rp662 triliun (2,78 persen dari PDB), artinya melampaui target awal.

Pendapatan negara di semester pertama 2025 pun hanya mencapai 40 persen dari target, lebih rendah daripada saat pandemi tahun 2020. Artinya, kondisi fiskal kita sedang tidak baik-baik saja.

Lalu, apakah Komisi III DPR telah mempertimbangkan urgensi kondisi keuangan negara dalam menyetujui usulan anggaran sebesar itu? Sudahkah ada kajian teknokratik, transparan, dan dapat dipertanggungjawabkan secara publik?

Jangan sampai, kenaikan anggaran ini hanya menambah jumlah proyek pengadaan yang ujungnya rawan korupsi. Maka, DPR seharusnya bukan berada dalam posisi 'cap stempel,' atau bernada 'setuju tanpa pertimbangan,' namun seharusnya kritis mengawal pengelolaan APBN.

Sebagaimana saya ulas dalam opini saya di Kompas.com, 3 Juni 2025, berjudul: "Korupsi Proyek Digitalisasi Pendidikan Rp 9,9 Triliun," bahwa praktik korupsi modern kini tidak lagi bersifat konvensional. Korupsi telah dilembagakan, dimulai dari price setting yang telah dinegosiasikan secara tertutup sebelum proses pengadaan dimulai.

Dalam banyak kasus, ini bukan sekadar fraud dan maladministrasi, melainkan bagian dari state capture corruption, di mana institusi negara dijadikan alat untuk mendistribusikan rente bagi segelintir elite. Hal yang sama bisa terjadi dalam proyek-proyek pengadaan Polri jika tidak ada pengawasan dan pembenahan sistem anggaran secara menyeluruh.

Seperti yang saya tulis juga dalam opini saya di Rakyat Merdeka, 6 Juli 2025, berjudul "Tugas Ganda Birokrasi: Menghemat Anggaran, Memulihkan Ekonomi Rakyat," efisiensi bukan soal memangkas belanja sembarangan, melainkan bagaimana setiap rupiah memberi dampak maksimal bagi masyarakat.

Reformasi Polri seharusnya menjadi bagian dari agenda efisiensi birokrasi dan pemulihan ekonomi rakyat. Kenaikan anggaran yang tidak disertai reformasi institusional akan memperlebar ketimpangan, memperkuat distrust, dan memperlemah kredibilitas negara.

Reformasi
Reformasi Kepolisian harus dimulai dari pembenahan Sumber Daya Manusia (SDM) secara menyeluruh. Tidak cukup dengan ganti Kapolri atau program rebranding citra. Pengawasan internal seperti Itwasum dan eksternal seperti Kompolnas, Ombudsman, serta masyarakat sipil harus diperkuat. Tidak boleh ada lagi budaya impunitas. Setiap pelanggaran harus ditindak tegas dan dibuka ke publik. Polri harus menjadi teladan, bukan ancaman.

Di sisi teknokrasi, perencanaan anggaran Polri sudah saatnya dirombak secara fundamental. Blueprint reformasi kelembagaan Polri tidak boleh lagi menjadi dokumen internal yang eksklusif, tetapi harus dirancang secara terbuka dan akuntabel kepada publik.

Fokus belanja tidak lagi semata diarahkan pada pembangunan infrastruktur fisik atau peningkatan tunjangan, melainkan harus bertransformasi menuju investasi jangka panjang dalam capacity building, ethics training, dan rekonstruksi kepercayaan publik sebagai aset sosial yang paling krusial bagi legitimasi kepolisian.

Penganggaran Strategis
Perencanaan anggaran Polri tidak boleh lagi berhenti pada program-program populis atau proyek berumur pendek. Yang dibutuhkan adalah kebijakan penganggaran yang strategis, dengan orientasi jangka panjang seperti pengentasan kemiskinan struktural melalui pendekatan keadilan restoratif, reformasi sistemik dalam penegakan hukum, serta memperkuat kehadiran Polri secara emosional dan eksistensial dalam menyelesaikan persoalan-persoalan sosial yang dihadapi masyarakat sehari-hari.

Sudah waktunya kita mengembalikan makna Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sebagai instrumen yang 'mulia'-bahwa setiap rupiah yang dikumpulkan dari rakyat, dari keringat dan jerih payah mereka, harus dikembalikan dalam bentuk pelayanan publik yang adil, humanis, dan berpihak. Bukan sebaliknya: menjadi sumber kenikmatan bagi segelintir elite, memperbesar jurang ketidakadilan, dan menjauhkan Polri dari panggilan utamanya sebagai pelindung dan pengayom masyarakat.

Institusi kepolisian sedang 'tidak baik-baik saja.' Dan di tengah kondisi seperti ini, justru reformasi harus menjadi syarat mutlak, bukan opsi. Kalau tidak, maka kita akan terus hidup dalam sinisme, dan kembali mengingat kalimat legendaris dari Gus Dur: "Di Indonesia, hanya ada tiga polisi yang jujur: polisi tidur, patung polisi, dan Hoegeng."

Jika Polri benar-benar ingin mengabdi kepada masyarakat dan bangsa, maka reformasi tidak bisa ditunda. Tidak cukup hanya menaikkan anggaran. Yang harus dinaikkan adalah kejujuran, integritas, dan keberpihakan kepada rakyat. Sebab tanpa itu semua, uang sebesar apa pun tidak akan mampu membeli kembali kepercayaan yang sudah lama hilang.


(miq/miq)

Read Entire Article
Perekonomian | Teknologi | Alam | Otomotif | Edukasi | Lifestyle |