Batu Bara, Iklim dan Janji Prabowo di G20 Brasil

6 hours ago 1

Agung Budiono

Agung Budiono

icon-email

Agung Budiono, Direktur Eksekutif CERAH.

Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi

CNNIndonesia.com

Jakarta, CNN Indonesia --

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) telah merilis Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PLN 2025-2034 pada akhir Mei 2025.

RUPTL PLN-sebagai panduan resmi pembangunan dan pengoperasian pembangkit listrik on grid nasional-tentunya memiliki korelasi terhadap rencana dan target komitmen iklim dan transisi energi di Indonesia.

RUPTL PLN pertama pada pemerintahan Presiden Prabowo Subianto ini menargetkan porsi energi baru terbarukan (EBT) mencapai 34,3 persen pada 2034-persentase yang tampak lebih maju dibandingkan bauran EBT saat ini masih di bawah 15 persen.

Namun, apabila kita lihat lebih dalam, target tersebut membuka ruang cukup besar bagi perpanjangan umur pembangkit energi fosil-baik batu bara maupun gas-yang masing-masing bertambah 6,3 gigawatt (GW) dan 10,3 GW. Penambahan kapasitas berbasis fosil pada skala ini tentunya akan mempengaruhi pemenuhan target iklim maupun transisi energi Indonesia

RUPTL PLN yang dirancang untuk menjadi panduan pengembangan sistem ketenagalistrikan selama 10 tahun mendatang, membagi rencana penambahan pembangkitnya dalam dua periode.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Pada lima tahun pertama, pembangkit fosil direncanakan bertambah 45 persen atau 12,7 GW; sementara EBT 44 persen atau 12,2 GW. Sedangkan dalam lima tahun kedua, pembangkit fosil akan bertambah 10% atau 3,9 GW; sementara EBT 73 persen atau 30,4 GW.

Sementara itu, dalam Enhanced Nationally Determined Contribution (ENDC) yang terbit 2022, Indonesia berkomitmen menurunkan emisi 31,89 persen secara mandiri (unconditional) dan 43,20 persen dengan dukungan internasional (conditional) pada 2030.

Komitmen ini dipertegas Presiden Prabowo saat menyampaikan pernyataan di KTT G20 di Brasil bahwa Indonesia akan melakukan pensiun dini PLTU batu bara dalam 15 tahun atau 2040 dan membangun 75 GW pembangkit energi terbarukan.

Jika kita berfokus pada penurunan emisi secara mandiri (unconditional) melalui sektor energi, apa saja yang sudah dilakukan pemerintah Indonesia?

Apakah pengesahan RUPTL baru dapat mendukung upaya mandiri yang dimaksud? Mengingat dokumen tersebut sama sekali tidak menyertakan agenda pensiun dini PLTU existing, bukankah berarti bahwa pemerintah tidak punya rencana terukur untuk menurunkan emisi dengan upaya sendiri?

Enhanced NDC menargetkan penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) dari sektor energi sebesar 358 juta ton CO₂-eq secara mandiri pada 2030. Namun, tidak ada dokumen yang secara jelas menyebutkan apakah pengurangan tersebut dilakukan dengan skenario unconditional atau conditional.

Di sisi lain, menurut perhitungan CERAH, dengan rencana penambahan 6,3 GW PLTU baru dan tanpa agenda pensiun dini PLTU existing, emisi sektor ketenagalistrikan pada paruh pertama dekade ini diperkirakan meningkat 16,5 juta ton CO₂ akibat penambahan 3,4 GW PLTU.

Sementara pada paruh kedua-dengan tambahan kapasitas 2,8 GW PLTU batu bara yang direncanakan beroperasi-emisi sektor energi diperkirakan meningkat 13,6 juta ton CO₂. Perhitungan emisi tersebut menggunakan asumsi capacity factor (CF) 70% dan emisi faktor 0,795 tCO₂/MWh.

Ilustrasi pembangkit listrik batu baraIlustrasi pembangkit listrik batu bara.(Foto: iStock/rmitsch)

Tanpa langkah korektif, sektor energi hampir pasti akan melewati batas emisi 1.311 MtCO₂ yang ditetapkan dalam skenario unconditional tahun 2030, dan memperlemah upaya transisi menuju sistem energi rendah karbon.

Dengan kenaikan total emisi sebesar 30 juta ton CO₂ per tahun dari seluruh penambahan 6,3 GW PLTU, tidak hanya berpotensi membebani anggaran subsidi dan menekan ruang fiskal, namun juga melemahkan kredibilitas Indonesia dalam komitmen iklim internasional.

Hal ini sekaligus menciptakan risiko stranded asset akibat perubahan arah pembiayaan global yang semakin ketat terhadap proyek batu bara.

Berdasarkan kajian IESR, untuk menjaga agar kenaikan suhu bumi tidak melebihi 1,5°C, sebanyak 72 unit PLTU batu bara dengan total kapasitas 43,4 GW perlu dipensiunkan secara bertahap pada periode 2022-2045.

Artinya, target dekarbonisasi hanya dapat dicapai jika ada komitmen konkret untuk menghentikan operasional PLTU jauh sebelum usia teknisnya berakhir.


Sulit Tarik Investor di EBT?


Untuk mencapai target mitigasi iklim 2030, pemerintah memproyeksikan kebutuhan pendanaan mencapai USD281,23 miliar (Rp4.002,44 triliun).

Namun, hanya sekitar Rp96,78 triliun atau 4,1% per tahun yang akan dialokasikan dari total APBN. Sisanya diharapkan berasal dari pembiayaan swasta dan internasional.

Dari total total kebutuhan tersebut, sektor energi dan transportasi menyerap porsi terbesar, yakni Rp3.500 triliun (87,4 persen), yang dalam ENDC, aksi mitigasinya berupa penambahan pembangkit terbarukan yang mengacu pada RUPTL, pengembangan PLTS atap, dan melakukan efisiensi energi.

Namun, minimnya kontribusi APBN dalam pencapaian target mitigasi iklim menjadi sangat bergantung pada masuknya investasi sektor swasta.

Padahal, sektor-sektor kunci seperti energi terbarukan, transportasi rendah karbon, dan efisiensi energi masih menghadapi berbagai hambatan struktural-mulai dari risiko kebijakan, kerangka insentif yang lemah, hingga keterbatasan proyek yang secara pembiayaan layak dan menarik investor (bankable).

Selain itu, alokasi untuk program penghentian PLTU-yang seharusnya menjadi motor utama penurunan emisi sektor energi-tidak tampak dalam APBN. Skema pendanaan internasional seperti Just Energy Transition Partnership (JETP) pun masih belum tampak terhubung langsung dengan target dan jadwal penutupan PLTU di RUPTL.

Karena paruh pertama RUPTL tetap mempertahankan pembangkit batu bara dan bahkan penambahannya sedikit lebih besar dibanding penambahan pembangkit terbarukan, maka sinyal kebijakan yang diterima pasar menjadi tidak konsisten.

Akibatnya, para investor energi terbarukan berpotensi mengarahkan investasinya pada negara-negara dengan kebijakan progresif dan pasti. Padahal kita tahu bahwa investasi swasta atau sumber pendanaan lainnya pada energi terbarukan sangat krusial mendorong percepatan transisi energi.

RUPTL 2025-2034 yang tidak mendahulukan energi terbarukan pada fase awal justru menjadi disinsentif bagi investor yang ingin menginvestasikan uangnya di produk-produk berkelanjutan.

Apalagi, 72 persen dari target pembangkit energi terbarukan direncanakan dibangun pada paruh kedua yang strateginya sangat bergantung pada pertumbuhan ekonomi 8 persen. Jika asumsi pertumbuhan ekonomi tidak tercapai, akan memunculkan implikasi bagi batalnya rencana penambahan kapasitas energi terbarukan.

Akibatnya, target penurunan emisi menjadi kabur. Dengan proyeksi RUPTL yang tetap bertumpu pada batu bara dan gas hingga 2034, Indonesia berpotensi gagal menurunkan emisi secara signifikan sebelum 2030.

Di sisi lain, negara-negara tetangga seperti Vietnam telah membuktikan bahwa bauran EBT bisa melonjak cepat melalui kebijakan Feed-in Tariff (FiT) dan dukungan insentif fiskal yang jelas untuk energi surya dan angin.

Jika kondisi ini terus berlanjut, maka tujuan besar untuk mencapai net zero emission pada 2060 atau lebih cepat, hanya akan menjadi slogan di forum internasional.

Terlebih lagi, Presiden Prabowo tanpa ragu mengatakan bahwa Indonesia dapat mencapai 100% energi terbarukan dalam 10 tahun mendatang atau 2035, saat jumpa pers bersama Presiden Brasil, Lula Da Silva di Brasilia pada 9 Juli lalu.

Selain janji itu, janji Presiden Prabowo di panggung G20 pun berpotensi tergerus oleh kontradiksi kebijakan di tingkat nasional, yang terlihat nyata dalam RUPTL.

(asa)

[Gambas:Video CNN]

Read Entire Article
Perekonomian | Teknologi | Alam | Otomotif | Edukasi | Lifestyle |