KTT Sharm El-Sheikh dan Harapan Baru untuk Palestina

2 hours ago 1

Presiden RI Jenderal (Purn) Prabowo Subianto Tiba di Bandara Internasional Sharm El-Sheikh, Mesir, Senin (13/10/2025) sekitar pukul 07.00 WIB.

Oleh : Fahmi Salim, Direktur Baitul Maqdis Institute – Majelis Tabligh PP Muhammadiyah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketika berita mengenai rencana Konferensi Tingkat Tinggi Perdamaian Gaza yang diketuai bersama oleh Presiden AS Donald Trump dan Presiden Mesir Abdel Fatah El-Sisi di kota resort Sharm el-Sheikh, Mesir pada Senin, 13/10/2025 mulai beredar, banyak pihak di dunia Arab dan Islam menyambutnya dengan hati-hati. Ada yang melihat peluang strategis untuk mengembalikan perhatian dunia pada isu Palestina, tetapi ada juga yang khawatir konferensi itu hanya akan menjadi panggung politik baru bagi kepentingan Amerika Serikat dan Israel, sekutu utamanya di Timur Tengah.

Namun di balik pro dan kontra itu, tersimpan satu pertanyaan penting: dapatkah Mesir memanfaatkan momentum ini untuk memulihkan posisi Palestina di pusat percaturan politik internasional?

Jawabannya sangat bergantung pada bagaimana otoritas Mesir membingkai narasi-narasi utama KTT Perdamaian Gaza. Sebagaimana diusulkan dalam analisis geopolitik yang banyak dibicarakan di kalangan diplomat Arab, ada tiga pendekatan utama yang bisa menjadi fondasi strategis bagi KTT Sharm el-Sheikh: keadilan dan hukum internasional, pendekatan kemanusiaan, dan koalisi stabilitas regional.

1. Keadilan dan Hukum Internasional

Sejak awal abad ke-20, isu Palestina selalu terjebak dalam narasi politik dan agama tertentu (terutama klaim-klaim Taurat-Judaisme), bukan narasi hukum. Padahal, dasar perjuangan rakyat Palestina bukanlah perebutan wilayah semata, melainkan hak atas kemerdekaan dan kedaulatan sebagaimana dijamin oleh Piagam PBB dan hukum internasional.

Dengan demikian, bila KTT Sharm el-Sheikh hendak memberi dampak nyata, Mesir dapat mengarahkan segenap kekuatan diplomasinya untuk fokus pembahasan pada kerangka hukum internasional—mulai dari Resolusi PBB No. 242 dan 338 hingga Konvensi Jenewa yang melarang pendudukan dan pemindahan paksa penduduk.

Pendekatan ini menegaskan bahwa Palestina bukan “isu politik” tetapi “kewajiban moral dan hukum internasional”.

Ketika bahasa diplomasi bergeser dari “konflik” menuju “keadilan”, dukungan internasional menjadi lebih luas dan inklusif. Inilah yang terbukti dalam berbagai gerakan global: mulai dari anti-apartheid di Afrika Selatan, perang Vietnam hingga perjuangan kemerdekaan Timor Timur—semuanya berhasil karena dunia menilai perjuangan itu sah secara moral dan legal.

Read Entire Article
Perekonomian | Teknologi | Alam | Otomotif | Edukasi | Lifestyle |